Nasi Pandan
“Kau tak boleh dikubur dulu sebelum mencicipi nasi pandanku!" Dan dengan kebat, dia menyorongkan sepiring nasi pandan. Nasi pandan yang punel. Yang ketika aku sendok, mengingatkan pada gumpal-gumpal cahaya yang begitu menggiurkan. Barangkali, gumpal- gumpal cahaya itu adalah daging jantungnya. Yang telah diiris segi empat. Ketika pintu diketuk. Dan kilat yang mengambang masuk. Lalu berbisik: “Wanita yang telah menjadi istri orang, memang mengiris jantung sendiri setiap membuat nasi pandan."
Dan beribu angsa menetas dari biji matanya. Beribu angsa yang pernah mengangkatku jauh melampaui akal. Sampai si jejadian yang bertanduk dan berekor itu mengernyit. Lalu teringat betapa bebalnya dirinya ketika menegak. Dan menyangka, jika penyamarannya dalam wujud ular telah mendulang aman. Lalu si jejadian pun mengibaskan sayapnya yang hangus. Dan melompat ke jendela: “Aku teringat, betapa mudahnya dulu dia aku kibuli. Betapa mudahnya!"
Dan di meja yang berpelitur dop, aku menelan nasi pandannya. Seperti kelokan umbian yang merambat, nasi pandan itu mencari arah rambatnya. Ke jantung, ke usus, ke lambung dan kembali lagi ke leher. Bolak-balik seperti menentukan arah keluar. Sedang, di luar tubuhku, hujan yang telah lama mengancam, hilir mudik seperti menanti sesuatu. Teriaknya: “Keluarkan gumpal-gumpal cahaya itu!" sambil menangis. Sambil mengharap akan ada gempa di tubuhku. Dan akan ada lubang mendadak yang akan mengeluarkan yang dinantinya.
Bukit Onik
Dia, seperti yang aku kenal belasan tahun dulu, memang masih terlihat cantik dan enak digarap. Dan langkahnya yang berjingkat pelan, seperti menabuhi lantai. Membuat tirai bergoyang. Padahal, di antara pedang samurai yang pernah aku hunus, dia cuma menjawil. Lalu berseloroh tentang pertempuran yang tak pernah dilakukan. Tetapi selalu saja dirampungkan. “Kau, lelakiku, memang milik Adam. Selalu kisruh dan selalu merasa paling unggul," sambil terus berbalik dan hilang di hutan bambu yang penuh warna.
Dan di hutan bambu itu, aku melihat matahari turun dan terbelah sama persis. Yang satu mirip kuldi. Satunya lagi tak pernah aku kenal. Apa itu jamu atau tuba? Dan ketika menjilatnya, mendadak aku menjelma sekuntum teratai. Teratai merah menyala. Teratai yang di hari-hari ganjil mewarnai bibirnya. Dan membuat senyumnya begitu indah. Senyum yang kini telah menjadi milik bukit onik. Bukit onik yang goyang karena tertakik. Tertakik oleh sebaris taklimat: “Percayalah, dia selalu menampik setiap tulang-rusuk-lelaki yang tak cermat."
“Ya, ya, dia, istriku, memang adalah Hawa. Adalah yang akan terpisah dariku. Terpisah paksa atau pasrah!" Dan aku pun jadi tahu, jika jarakku dan jaraknya telah saling melambai. Aku di seberang. Dia di jauh yang tak terukur. Dan kami, seperti sudah-sudah, kembali saling bertualang sendirian. Saling merindu. Dan saling mencoba untuk menghapus setiap amanat. Yang membuat kami pernah melahirkan pembunuh pertama. Yang akan selalu kalian kenang. Seperti mengenang kebun dan ternak di pulau. “Akh, sudah ada yang menulis namaku di kubur itu!"
(Gresik, 2007)
Telunjuk
Setelah menikam serigala dia menulis pesan di tebing padaku. Ditulis dengan tombak dan diolesi darah yang mengalir dari telunjuknya yang telah diiris sendiri. Aku ingin geraham serigala ini untukmu. Tapi kau di mana? Begitulah kira-kira pesannya. Di bawah sekali dia memarafkan namanya. Sayang dua hurufnya rusak. Kata peziarah yang pernah melewati tebing itu, namanya ditulis dengan huruf yang besar dan dalam. Seperti kedalaman keinginannya yang mencintaiku. Tapi, apa pesan di tebing itu sampai padaku? Barangkali ksatria monyet yang tahu. Sebab saat dibebaskannya aku dari pulau itu, ksatria monyet hanya membebaskan bayangan. Aku sendiri tak ada. Atau lebih tepatnya hanya diadakan oleh si perajin. Saat dia memahat 1000 patung. 1000 patung yang akan dipasang di taman utama. 1000 patung yang demikian menggetarkan. Sampai-sampai membuat si perajin sendiri ingin mengawini semuanya. Dan meminta: Tambatan, tambatan, tambatan, hiduplah! Tapi apa benar patung bisa hidup? Jika bisa, siapa yang sanggup menghidupkan? Si perajin pun jadi kecewa dan menamai dirinya Adam. Yang artinya: Yang pertama tertambat. Yang pertama kecewa. Dan ketika takdir memberinya pasangan, maka itu dinamainya Hawa. Yang artinya: Tambatan lain yang tak terlupa. Tambatan lain yang menggetarkan. Dan yang membuat siapa saja ingin menikam serigala. Lalu mengirimkan bagian tubuh serigala yang terindah padanya. Seperti mengirimkannya padaku!
(Gresik, 2008)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 24 Agustus 2008
Kamis, 21 Agustus 2008
Sajak-Sajak Javed Paul Syatha
BIARKAN
... untukmu agamamu
dan untukku, agamaku
/1/
biarkan lilin itu tetap menyala di jiwa
bukan nu bukan md bukan pula ahmadiyah
biarkan salam itu tetap terucap
bukan amarah
biarkan lautan menampung gerimis
bukan celah mengulur kemarau
/2/
adakah senyap pada pergeseran musim
menyasatkan keyakinan demi keyakinan
dalam setiap doa seorang hamba
adakah kitab suci belum menepikan arti
adakah agama kan kau akhiri di sisi sangsi
sedang tuhan kita masih menjadi
sebuah rahasia bagi para nabi
nabi palsu.
Lamongan, 2008
LANGIT BERMATA SENJA
Tawassulku
ular pemangsa perih
jasad dan mimpi purbaku
syurga nan senyap
tuhanlah yang kucari;
o
kutuk
aku
lebih
dari
keheningan
iblis
lebih
dari
api
hingga adam masa silam
wahai langit bermata senja
kuraih bianglala tubuhmu
kujelmakan
doa sepanjang ular.
Lamongan, 2006-2007
MENGGAMBAR JEJAK PASIR
menatap laut bersama kelam
di samudra batin yang sirna
aku selalu setia pada kedalaman laut
yang selalu mengajariku tentang kesabaran
sampai
ujung
mata
nelayan menjaring hujan dan badai
angin yang menghasut kesunyian
aku tak bernafas
sesaat
berjabat ombak
matahari
begitu sunyi
pagi
di tengah biru
air laut
mengantar nelayan
menjadi pasir
bagi hatiku
aku nelayan itu
bukan nabi
yang menggambar jejak
pasir putih.
Lamongan, 2006-2007
BENING LANGIT HENING
menggodog matahari ke dasar laut
menggarami langit dalam kepak cahaya
aku bening
langit hening
maka remuklah burung terbang
dihisap angin yang menyiksa
maka benarlah
jejak kita semakin panjang
kita mainkan
antara asin laut dan hampa langit
kau lukai hariku
dan aku mengepungmu dalam diam
maka adakah
ini masih saja sebuah rahasia
yang kau sublimkan
musti pada akhirnya tubuhku akan sirna tak teraba
bersama kilau doadoa yang memancar matahari
bersama kering laut
tubuhmu
tubuh kita
berlabuh.
Lamongan, 2006-2007
MIMPI PURBANI
menjilati lumut kesunyian
mimpiku
kesementaraan
kematian
yang tak pernah nyata
hanya mimpi
mengekalkan suntuk doa dalam gelap
yang abadi
hanya ada dalam mimpi
karena kesepian lebih purba
dari keabadian
mimpilah sirna
dari angin yang lebih sesat
dari jejak kelahiran
di beranda mimpi
tubuhku kuminta kembali
karena langit
bukan tempatku
berdiam.
Lamongan, 2006-2007
... untukmu agamamu
dan untukku, agamaku
/1/
biarkan lilin itu tetap menyala di jiwa
bukan nu bukan md bukan pula ahmadiyah
biarkan salam itu tetap terucap
bukan amarah
biarkan lautan menampung gerimis
bukan celah mengulur kemarau
/2/
adakah senyap pada pergeseran musim
menyasatkan keyakinan demi keyakinan
dalam setiap doa seorang hamba
adakah kitab suci belum menepikan arti
adakah agama kan kau akhiri di sisi sangsi
sedang tuhan kita masih menjadi
sebuah rahasia bagi para nabi
nabi palsu.
Lamongan, 2008
LANGIT BERMATA SENJA
Tawassulku
ular pemangsa perih
jasad dan mimpi purbaku
syurga nan senyap
tuhanlah yang kucari;
o
kutuk
aku
lebih
dari
keheningan
iblis
lebih
dari
api
hingga adam masa silam
wahai langit bermata senja
kuraih bianglala tubuhmu
kujelmakan
doa sepanjang ular.
Lamongan, 2006-2007
MENGGAMBAR JEJAK PASIR
menatap laut bersama kelam
di samudra batin yang sirna
aku selalu setia pada kedalaman laut
yang selalu mengajariku tentang kesabaran
sampai
ujung
mata
nelayan menjaring hujan dan badai
angin yang menghasut kesunyian
aku tak bernafas
sesaat
berjabat ombak
matahari
begitu sunyi
pagi
di tengah biru
air laut
mengantar nelayan
menjadi pasir
bagi hatiku
aku nelayan itu
bukan nabi
yang menggambar jejak
pasir putih.
Lamongan, 2006-2007
BENING LANGIT HENING
menggodog matahari ke dasar laut
menggarami langit dalam kepak cahaya
aku bening
langit hening
maka remuklah burung terbang
dihisap angin yang menyiksa
maka benarlah
jejak kita semakin panjang
kita mainkan
antara asin laut dan hampa langit
kau lukai hariku
dan aku mengepungmu dalam diam
maka adakah
ini masih saja sebuah rahasia
yang kau sublimkan
musti pada akhirnya tubuhku akan sirna tak teraba
bersama kilau doadoa yang memancar matahari
bersama kering laut
tubuhmu
tubuh kita
berlabuh.
Lamongan, 2006-2007
MIMPI PURBANI
menjilati lumut kesunyian
mimpiku
kesementaraan
kematian
yang tak pernah nyata
hanya mimpi
mengekalkan suntuk doa dalam gelap
yang abadi
hanya ada dalam mimpi
karena kesepian lebih purba
dari keabadian
mimpilah sirna
dari angin yang lebih sesat
dari jejak kelahiran
di beranda mimpi
tubuhku kuminta kembali
karena langit
bukan tempatku
berdiam.
Lamongan, 2006-2007
Rabu, 06 Agustus 2008
Sajak-Sajak Saiful Bakri
SANDAL JEPIT
:untuk abdul malik
Mengembara engkau bersama waktu
jelajahi musim demi musim
tanpa rasa sesal
malam ini kita dipertemukan
oleh secangkir kopi
seperti duabelas tahun yang lalu
sandal jepitmu mulai tipis dimakan aspal
dan jejaknya entah sampai dimana
Pada musim bunga itu
kau lemparkan senyum tanpa keluh
dan berlarian kupu-kupu serta kumbang
tanpa sempat mengucap atau melambai padamu
Kaupun membisu seperti malam penuh rahasia
mengalir di setiap genangan waktu
menabur benih pada tanah kering
dan basah kala fajar pecah di cakrawala
hingga musim berganti
Duabelas tahun kau menjelajahi sepi
bersama hujan mencipta nyanyian
sampai pada persimpangan
beku kenyataan
mengajakmu berjalan kembali
telusuri lorong sepi
yang telah memakan separuh sandal jepitmu
dan senyummu melambai
di sela tumpukan puisiku
SURAT DARI PABRIK
Debu mulai nakal
Menusuk hidung ke paru paru
Dimana angin tak mampu lagi membawa pergi
Anak anak pabrik
Yang tiap hari bersetubuh dengan mesin
Tetap bernyanyi
Dengan irama ketakutan yang berbeda
Untuk menuntut haknya sebagai buruh
Diam dan nrimo
Itulah bahasa yang paling aman
Untuk melanjutkan mimpi
Yang tak jelas
Meski hati ingin menangis
Ingin bertanya
Dan ingin bersuara merdu
Namun……..
Ketakutan tanpa tindakan
Tak pernah ketemu
Sebuah jawaban
Dan penyelesaian
1997
PARMI
Suaranya di lipat
Di tekuk tekuk
Lalu dimasukkan dalam saku
Dan tak mungkin lagi dikeluarkan
Setiap hari Parmi berangkat dari rumah ke pabrik
Untuk disedot sisunya
Lalu pulang kembali
Tapi Parmi bukanlah sapi perah
Yang tak bisa ngomong
Atau bersuara merdu
Bila jatah makannya tak ada
Bila gajinya kadang kurang
Bila cuti haidnya kadang dipersulit
Bila keperawanannya direnggut
Parmi adalah Parmi
Gadis desa tamatan SD
Yang menjual kemerdekaannya
Pada cukong cukong
Juni 1997
:untuk abdul malik
Mengembara engkau bersama waktu
jelajahi musim demi musim
tanpa rasa sesal
malam ini kita dipertemukan
oleh secangkir kopi
seperti duabelas tahun yang lalu
sandal jepitmu mulai tipis dimakan aspal
dan jejaknya entah sampai dimana
Pada musim bunga itu
kau lemparkan senyum tanpa keluh
dan berlarian kupu-kupu serta kumbang
tanpa sempat mengucap atau melambai padamu
Kaupun membisu seperti malam penuh rahasia
mengalir di setiap genangan waktu
menabur benih pada tanah kering
dan basah kala fajar pecah di cakrawala
hingga musim berganti
Duabelas tahun kau menjelajahi sepi
bersama hujan mencipta nyanyian
sampai pada persimpangan
beku kenyataan
mengajakmu berjalan kembali
telusuri lorong sepi
yang telah memakan separuh sandal jepitmu
dan senyummu melambai
di sela tumpukan puisiku
SURAT DARI PABRIK
Debu mulai nakal
Menusuk hidung ke paru paru
Dimana angin tak mampu lagi membawa pergi
Anak anak pabrik
Yang tiap hari bersetubuh dengan mesin
Tetap bernyanyi
Dengan irama ketakutan yang berbeda
Untuk menuntut haknya sebagai buruh
Diam dan nrimo
Itulah bahasa yang paling aman
Untuk melanjutkan mimpi
Yang tak jelas
Meski hati ingin menangis
Ingin bertanya
Dan ingin bersuara merdu
Namun……..
Ketakutan tanpa tindakan
Tak pernah ketemu
Sebuah jawaban
Dan penyelesaian
1997
PARMI
Suaranya di lipat
Di tekuk tekuk
Lalu dimasukkan dalam saku
Dan tak mungkin lagi dikeluarkan
Setiap hari Parmi berangkat dari rumah ke pabrik
Untuk disedot sisunya
Lalu pulang kembali
Tapi Parmi bukanlah sapi perah
Yang tak bisa ngomong
Atau bersuara merdu
Bila jatah makannya tak ada
Bila gajinya kadang kurang
Bila cuti haidnya kadang dipersulit
Bila keperawanannya direnggut
Parmi adalah Parmi
Gadis desa tamatan SD
Yang menjual kemerdekaannya
Pada cukong cukong
Juni 1997
Sajak-Sajak Jibna Sudiryo
KEMATIAN
KH. Zainal Arifin Thoha (almarhum)
Bagimu hari tak terlalu tua
Kau angkat puntung rokok
di asbak tak berdebu
Meninggalkan bau dupa
Yogya 2007
BAHASA DIAM
ombak memecah buih
di pesisir yang menoleh kerinduanku
pada bahasa diammu
lalu
kau sapa batu-batu
yang membeku
memandang arak pelangi
menulis isyaratknya;
diam-diam arus di bibirmu
menarik gelakku
dan engkau masih terdiam
2007
MENUNGGU MENEMUKANMU
perpisahan kemarin tak sempurna
aku menunggu di astamu
kerinduan beku
meninggalkan sajak-sajak kelabu
di atas kuburanmu
senyum melintas
lesap
kupaku isyaratnya
kita akan merenung sama-sama
tentang keutuhanku-keutuhanmu
kerinduanku-kerinduanmu
yang mangabu
yang menyatu
2007
KH. Zainal Arifin Thoha (almarhum)
Bagimu hari tak terlalu tua
Kau angkat puntung rokok
di asbak tak berdebu
Meninggalkan bau dupa
Yogya 2007
BAHASA DIAM
ombak memecah buih
di pesisir yang menoleh kerinduanku
pada bahasa diammu
lalu
kau sapa batu-batu
yang membeku
memandang arak pelangi
menulis isyaratknya;
diam-diam arus di bibirmu
menarik gelakku
dan engkau masih terdiam
2007
MENUNGGU MENEMUKANMU
perpisahan kemarin tak sempurna
aku menunggu di astamu
kerinduan beku
meninggalkan sajak-sajak kelabu
di atas kuburanmu
senyum melintas
lesap
kupaku isyaratnya
kita akan merenung sama-sama
tentang keutuhanku-keutuhanmu
kerinduanku-kerinduanmu
yang mangabu
yang menyatu
2007
Sajak-Sajak Alfiyan Harfi
SAJAK SEBONGKAH BATU
bila sebongkah batu
kulempar ke angkasa
lalu kusebut nama cahaya
maka jadilah itu matahari
bila matahari
kuhempas nafas langit
kugesek awan-awan tipis
maka jadilah itu gerimis
gerimis mengantarku padamu
lalu kusebut nama bunga
maka terbanglah kata-kata
seperti kupu-kupu
hinggap di kelopakmu; ungu
sambil menikmati matahari
ia tafsir makna ayat-ayat itu
2005
SAJAK PENGEMBARA
o perjalanan yang panjang
siapa menaruh misteri
di atas kepalaku yang rapuh
hingga mesti kutanggung
rindu yang parah ini
setiap kali aku bicara
pada daun-daun yang kering;
kemana hijau meninggalkannya
tergeletak dan terinjak malam:
kemana aku meninggalkan rumahku
di tengah perjalananku
aku melihat ribuan merpati
turun di hamparan jagung-jagungku:
perlahan aku mendekati mereka
perlahan mereka mendekati makananku
aku hidup di antara yang tak bernyanyi
aku bernyanyi di antara yang tak hidup
aku melihat pada mata merpati-merpati itu
diriku yang terasing dari sayap-sayap
diriku yang bersayap keterasingan
berapa ribu hari-hariku terkubur malam
adakah mereka sama terasing di sana:
perempuan-perempuanku yang meratap.
orang-orang tua merintihkan do'aku di sini
di sini, aku merintihkan do'a mereka di sana
ribuan do'a ribuan malam bangkit bersama
menjelma bintang-bintang menggigil
sayup-sayup bagai ribuan nada
yang menjelma serentet melodi
yang selalu dipatahkan keheningan.
2006
bila sebongkah batu
kulempar ke angkasa
lalu kusebut nama cahaya
maka jadilah itu matahari
bila matahari
kuhempas nafas langit
kugesek awan-awan tipis
maka jadilah itu gerimis
gerimis mengantarku padamu
lalu kusebut nama bunga
maka terbanglah kata-kata
seperti kupu-kupu
hinggap di kelopakmu; ungu
sambil menikmati matahari
ia tafsir makna ayat-ayat itu
2005
SAJAK PENGEMBARA
o perjalanan yang panjang
siapa menaruh misteri
di atas kepalaku yang rapuh
hingga mesti kutanggung
rindu yang parah ini
setiap kali aku bicara
pada daun-daun yang kering;
kemana hijau meninggalkannya
tergeletak dan terinjak malam:
kemana aku meninggalkan rumahku
di tengah perjalananku
aku melihat ribuan merpati
turun di hamparan jagung-jagungku:
perlahan aku mendekati mereka
perlahan mereka mendekati makananku
aku hidup di antara yang tak bernyanyi
aku bernyanyi di antara yang tak hidup
aku melihat pada mata merpati-merpati itu
diriku yang terasing dari sayap-sayap
diriku yang bersayap keterasingan
berapa ribu hari-hariku terkubur malam
adakah mereka sama terasing di sana:
perempuan-perempuanku yang meratap.
orang-orang tua merintihkan do'aku di sini
di sini, aku merintihkan do'a mereka di sana
ribuan do'a ribuan malam bangkit bersama
menjelma bintang-bintang menggigil
sayup-sayup bagai ribuan nada
yang menjelma serentet melodi
yang selalu dipatahkan keheningan.
2006
Sajak-Sajak Kirana Kejora
SURAT KEPADA ILALANGMU
Pada ilalang kutawarkan secangkir embun
Buat redam takutku
Aku hanya pijar
Yang berujar sendiri pada langit
Jadikan tarian lekukku
Menjadi persembahan surga
Yang menjadi
Tetes dahaga hasrat tandus padangmu
Mohonku kepada getaran
Rasuki jiwaku untuk terus bertunas
Menjadi pohon-pohon kembara
Gelinjangkan lelaku rerimbunan sang ruh
Persembahan secawan anggur hati
Tlah menyingkap gaun tidurku
Sungguh tubuhku lunglai tiada nadi daya
Hingga sapa matahari
Menghangatkan sunyi tubuhku
Kelam terrenda temaram kabut masa
Aku masih sabit yang terpenggal
Yang tak pernah memiliki malam, siang, pagi
Karena singgahku
Tak pernah termiliki siapapun
Kecuali Kupu-Kupu Saljuku
Aku hanya debu yang ingin menjadi gurun
Entah kapan dan dimana
Kamu tak pernah miliki daya arung
Buat sauhkan sampan roman ini
Sedang waktu mulai tak bersahabat
Dengan ruang hati yang kita miliki
Topannya mengiris kulit
Menidurkan kembali bulu-bulunya
Sudahlah, kelelahanku tlah menuju kematian
Padahal aku ingin terus hidup
Buat penumpang kecil sampanku…
Syairmu setinggi langit ke tujuh
Ku sulit sentuh dan gapai
Cekat pita hati
Katupkan bibirku yang tertoreh pujimu
Kembarakan gemintang rindu cinta
Pada langit yang tak pernah memberi jawab
Walau sedikit
Menunggu sesuatu yang abstrak
Tak berbentuk
Meski bisa berasa jiwa
Namun tak bisa tersentuh raga
Semua yang terpilih
Adalah milik Sang Berkehendak!
Aku ingin kita bertemu dalam ruang
Tanpa sekat-sekat maya
Pergumulan raga yang kuinginkan
Buat buktikan daya arung lelaki sejatimu!
Usah kau jawab
Jika kau tak sedia lakukan itu!
Menara 4, Taman Anggrek,
Jkt, 12:21, 240407
NYANYIAN EIDELWEIS LANGIT
Lembut laut sang pasir
Tirani yang kokoh buat sambut rindumu
Kisaran saat tak bisa pisahkan hasrat
Cinta yang kita hidupkan
Adalah fajar yang terus menyingsing
Tahukah arti pergumulan ini?
Langit bersendawa dengan roman birunya
Berbuih bersama tulus putihnya
Sudi terus payungi pasir yang menggunung
Lalu datang keabadaian
Lewat kelopakku
Yang tak pernah terjamah buliran air mata
Ku sapu tangis embun
Ku redam kalut pagi
Ku peluk geliat siang
Ku cium galau malam
Kekuatan tangkai kehidupan harus jadi milikku
Meski aromaku tak pernah terhirup
Dan indahku tak tersinggahi kilat mata
Ku terlupa
Ku tersisih
Tak apa ku bilang
Karena garisku
Ku hanya lambang keabadian cinta
Itukah perempuan?
Rumah Putih, Surabaya 030507
LELAKIKU DAN KUDANYA
Lautan pasir jiwanya selalu menggunung
Tak tersisir guratan luka tatihnya
Dia terus memacu kendali
Bergulat dengan amarah
Berrebut cairan-cairan darah
Dia tak ingin mati
Cemara yang memucuk
Terus tertejang derap kudanya
Libasnya begitu liar
Tumpahkan semua energinya
Dia selalu diam tak bicara padaku
Namun lembut membisikiku
Menitah tatih langkahku
Dia ingin kemudikan dunia
Melalui pelana bajanya
Trah tak angkuhkan busung dadanya
Dia terus melawan sakitnya
Rerimbunan jiwa yang lapuk
Ditebasnya dengan Atalla
Aku mulai kagum
Lelakiku yang tak pernah turun dari pelananya
Memacu detak hidup dengan kembaranya
Yang masih sulit aku runuti jejaknya
Bumi Samudra, Surabaya, 070507
Pada ilalang kutawarkan secangkir embun
Buat redam takutku
Aku hanya pijar
Yang berujar sendiri pada langit
Jadikan tarian lekukku
Menjadi persembahan surga
Yang menjadi
Tetes dahaga hasrat tandus padangmu
Mohonku kepada getaran
Rasuki jiwaku untuk terus bertunas
Menjadi pohon-pohon kembara
Gelinjangkan lelaku rerimbunan sang ruh
Persembahan secawan anggur hati
Tlah menyingkap gaun tidurku
Sungguh tubuhku lunglai tiada nadi daya
Hingga sapa matahari
Menghangatkan sunyi tubuhku
Kelam terrenda temaram kabut masa
Aku masih sabit yang terpenggal
Yang tak pernah memiliki malam, siang, pagi
Karena singgahku
Tak pernah termiliki siapapun
Kecuali Kupu-Kupu Saljuku
Aku hanya debu yang ingin menjadi gurun
Entah kapan dan dimana
Kamu tak pernah miliki daya arung
Buat sauhkan sampan roman ini
Sedang waktu mulai tak bersahabat
Dengan ruang hati yang kita miliki
Topannya mengiris kulit
Menidurkan kembali bulu-bulunya
Sudahlah, kelelahanku tlah menuju kematian
Padahal aku ingin terus hidup
Buat penumpang kecil sampanku…
Syairmu setinggi langit ke tujuh
Ku sulit sentuh dan gapai
Cekat pita hati
Katupkan bibirku yang tertoreh pujimu
Kembarakan gemintang rindu cinta
Pada langit yang tak pernah memberi jawab
Walau sedikit
Menunggu sesuatu yang abstrak
Tak berbentuk
Meski bisa berasa jiwa
Namun tak bisa tersentuh raga
Semua yang terpilih
Adalah milik Sang Berkehendak!
Aku ingin kita bertemu dalam ruang
Tanpa sekat-sekat maya
Pergumulan raga yang kuinginkan
Buat buktikan daya arung lelaki sejatimu!
Usah kau jawab
Jika kau tak sedia lakukan itu!
Menara 4, Taman Anggrek,
Jkt, 12:21, 240407
NYANYIAN EIDELWEIS LANGIT
Lembut laut sang pasir
Tirani yang kokoh buat sambut rindumu
Kisaran saat tak bisa pisahkan hasrat
Cinta yang kita hidupkan
Adalah fajar yang terus menyingsing
Tahukah arti pergumulan ini?
Langit bersendawa dengan roman birunya
Berbuih bersama tulus putihnya
Sudi terus payungi pasir yang menggunung
Lalu datang keabadaian
Lewat kelopakku
Yang tak pernah terjamah buliran air mata
Ku sapu tangis embun
Ku redam kalut pagi
Ku peluk geliat siang
Ku cium galau malam
Kekuatan tangkai kehidupan harus jadi milikku
Meski aromaku tak pernah terhirup
Dan indahku tak tersinggahi kilat mata
Ku terlupa
Ku tersisih
Tak apa ku bilang
Karena garisku
Ku hanya lambang keabadian cinta
Itukah perempuan?
Rumah Putih, Surabaya 030507
LELAKIKU DAN KUDANYA
Lautan pasir jiwanya selalu menggunung
Tak tersisir guratan luka tatihnya
Dia terus memacu kendali
Bergulat dengan amarah
Berrebut cairan-cairan darah
Dia tak ingin mati
Cemara yang memucuk
Terus tertejang derap kudanya
Libasnya begitu liar
Tumpahkan semua energinya
Dia selalu diam tak bicara padaku
Namun lembut membisikiku
Menitah tatih langkahku
Dia ingin kemudikan dunia
Melalui pelana bajanya
Trah tak angkuhkan busung dadanya
Dia terus melawan sakitnya
Rerimbunan jiwa yang lapuk
Ditebasnya dengan Atalla
Aku mulai kagum
Lelakiku yang tak pernah turun dari pelananya
Memacu detak hidup dengan kembaranya
Yang masih sulit aku runuti jejaknya
Bumi Samudra, Surabaya, 070507
Sajak-Sajak Haris del Hakim
SAPI KITA DALAM JERAT LABA-LABA
seekor sapi – dari tujuh yang kita punya – terperangkap sarang laba-laba. dia menjejak-jejak senar-senar rapuh itu sambil memamah angin. kemudian seekor singa penyihir melemparkan buhul-buhul, seperti penyihir fir’aun. sapi itu menggeleng-gelengkan kepala seraya melafalkan nama samiri. buhul-buhul bersekutu dengan jaring laba-laba untuk menjeratnya semakin kuat.
laba-laba memanggil teman-temannya dan kentut bersama-sama di depan hidung sapi kita itu. kita menyumbat hidung dan mencerca penggembala yang belum kembali dari buang hajat.
Lamongan, 2 mei 2008
AKU DAN PEREMPUAN YANG TIDAK KUKENAL
kami duduk menunggu bus lewat. “ini adam,” kataku memperkenalkan diri. dia menimpali, “ini hawa.” lalu adam dan hawa saling kunci dalam kamar surga. mereka bicara melalui lubang kunci dengan kata-kata membosankan. bersamaan dengan itu, lahirlah setan dari mani onani iblis.
“apa yang dibayangkan oleh iblis ketika itu?” tanyaku padanya. kemudian dia menjawab sambil bercekikik, “cover majalah porno.” dan aku membantah, “tidak. tuhan masih belum sempat bikin majalah, apalagi yang porno.” dia lanjutkan percakapan, “jangan panjang-panjang bicara.” aku bertanya, “mengapa?”
bus yang ditunggu perempuan itu datang. dia berkata lirih,”nah!” seraya membuka pintu dan naik tangga besi itu. aku lupa menanyakan apakah hawa dulu telanjang ketika setan lahir?
Lamongan, 22 april 2008
SEBUAH KISAH TENTANG MIMPI
mimpi yang biasa mengepulkan asap rokok di atas pematang telah kedinginan, bahkan membeku, dan api di ujung batang rokoknya pun mati. ia tidak bisa berkisah tentang tanah, air, bulir padi, ikan, dan penghidupan.
mimpi berkali-kali mencoba membunuh diri dengan merendam tubuh dalam lumpur, tetapi udara masih kerasan di tubuhnya. berkali-kali pula ia mencuri kain kafan mayat yang meninggal hari kamis legi, namun ia selalu kalah dengan serangga-serangga tanah.
pada suatu malam penduduk menyaksikan mimpi memungut api dari rumah mereka kemudian berteriak-teriak seperti mengigau, “pagi masih jauh, musim kerap memungkiri janji, kata-kata selalu berdusta, pilihan menjadi takdir terburuk, sementara kutukan hanya makanan untuk anak-anak, dan penderitaan seperti kepastian yang tak terelakkan.”
akhirnya, mimpi pulang ke pematang dan bernaung di bawah sebatang pohon jati tua. ia memetik pupus daunnya dan ditorehkan di atas…
tepat di atas pematang: lamongan, 20/06/08
TIGA EKOR RAYAP DAN BURUNG PELATUK
seekor rayap berkepala kecil berkata pada pelatuk yang hampir saja mencucuk tubuhnya, “aih! selalu kau pura-pura tidak tahu adaku.”
burung pelatuk berhenti sebentar kemudian mematuk di tempat lain. seekor rayap berkaki ganjil muncul di balik kulit yang dikelupasnya dan berseru, “apakah kau pura-pura tidak tahu adaku lagi?!”
burung pelatuk tertegun sejenak lantas mematuk di bagian lain. seekor rayap yang kehilangan dua kaki depan menyembulkan kepalanya di balik serat kayu yang terkelupas dan berteriak, “tidak adakah pohon lain lagi?!”
burung pelatuk mengangkat kepalanya lalu secepat kilat mematuk ketiga rayap satu per satu. “aku masih belum kenyang,” bisiknya seraya mematuk lagi.
surabaya-lamongan, 26/06/05
UNDANGAN SEORANG BAPAK YANG ANAKNYA SEDANG ULANG TAHUN
: bersama pavel
aku sudah tidak tahan mendengar pengaduan anakku untuk mengadakan pesta selamat tinggal bagi masa kanak-kanaknya. berbekal hutang ke sana kemari dan menggadaikan sisa barang yang berharga, akhirnya tersedia kue kukus di atas meja.
sebentar lagi lilin-lilin dinyalakan dan lagu-lagu ulang tahun disorakkan.
aku duduk di kursi memandang jarum jam bergerak. kupanggil istriku agar memasak nasi jagung, sayur asam, dan menggoreng ikan asin. “jangan lupa sambalnya,” teriakku.
setelah semua masakan terhidang di atas meja, aku segera mengundang tetangga, kenalan, dan siapa saja yang kuingat namanya, tidak lupa tuhan – tentu saja kukatakan menu makanan kami agar dia tidak kecewa. tetapi, tidak ada yang datang selain tuhan yang maha sibuk. akhirnya, kami makan sambil menonton anak-anak berpesta.
tanjung kodok, awal juli 2005
seekor sapi – dari tujuh yang kita punya – terperangkap sarang laba-laba. dia menjejak-jejak senar-senar rapuh itu sambil memamah angin. kemudian seekor singa penyihir melemparkan buhul-buhul, seperti penyihir fir’aun. sapi itu menggeleng-gelengkan kepala seraya melafalkan nama samiri. buhul-buhul bersekutu dengan jaring laba-laba untuk menjeratnya semakin kuat.
laba-laba memanggil teman-temannya dan kentut bersama-sama di depan hidung sapi kita itu. kita menyumbat hidung dan mencerca penggembala yang belum kembali dari buang hajat.
Lamongan, 2 mei 2008
AKU DAN PEREMPUAN YANG TIDAK KUKENAL
kami duduk menunggu bus lewat. “ini adam,” kataku memperkenalkan diri. dia menimpali, “ini hawa.” lalu adam dan hawa saling kunci dalam kamar surga. mereka bicara melalui lubang kunci dengan kata-kata membosankan. bersamaan dengan itu, lahirlah setan dari mani onani iblis.
“apa yang dibayangkan oleh iblis ketika itu?” tanyaku padanya. kemudian dia menjawab sambil bercekikik, “cover majalah porno.” dan aku membantah, “tidak. tuhan masih belum sempat bikin majalah, apalagi yang porno.” dia lanjutkan percakapan, “jangan panjang-panjang bicara.” aku bertanya, “mengapa?”
bus yang ditunggu perempuan itu datang. dia berkata lirih,”nah!” seraya membuka pintu dan naik tangga besi itu. aku lupa menanyakan apakah hawa dulu telanjang ketika setan lahir?
Lamongan, 22 april 2008
SEBUAH KISAH TENTANG MIMPI
mimpi yang biasa mengepulkan asap rokok di atas pematang telah kedinginan, bahkan membeku, dan api di ujung batang rokoknya pun mati. ia tidak bisa berkisah tentang tanah, air, bulir padi, ikan, dan penghidupan.
mimpi berkali-kali mencoba membunuh diri dengan merendam tubuh dalam lumpur, tetapi udara masih kerasan di tubuhnya. berkali-kali pula ia mencuri kain kafan mayat yang meninggal hari kamis legi, namun ia selalu kalah dengan serangga-serangga tanah.
pada suatu malam penduduk menyaksikan mimpi memungut api dari rumah mereka kemudian berteriak-teriak seperti mengigau, “pagi masih jauh, musim kerap memungkiri janji, kata-kata selalu berdusta, pilihan menjadi takdir terburuk, sementara kutukan hanya makanan untuk anak-anak, dan penderitaan seperti kepastian yang tak terelakkan.”
akhirnya, mimpi pulang ke pematang dan bernaung di bawah sebatang pohon jati tua. ia memetik pupus daunnya dan ditorehkan di atas…
tepat di atas pematang: lamongan, 20/06/08
TIGA EKOR RAYAP DAN BURUNG PELATUK
seekor rayap berkepala kecil berkata pada pelatuk yang hampir saja mencucuk tubuhnya, “aih! selalu kau pura-pura tidak tahu adaku.”
burung pelatuk berhenti sebentar kemudian mematuk di tempat lain. seekor rayap berkaki ganjil muncul di balik kulit yang dikelupasnya dan berseru, “apakah kau pura-pura tidak tahu adaku lagi?!”
burung pelatuk tertegun sejenak lantas mematuk di bagian lain. seekor rayap yang kehilangan dua kaki depan menyembulkan kepalanya di balik serat kayu yang terkelupas dan berteriak, “tidak adakah pohon lain lagi?!”
burung pelatuk mengangkat kepalanya lalu secepat kilat mematuk ketiga rayap satu per satu. “aku masih belum kenyang,” bisiknya seraya mematuk lagi.
surabaya-lamongan, 26/06/05
UNDANGAN SEORANG BAPAK YANG ANAKNYA SEDANG ULANG TAHUN
: bersama pavel
aku sudah tidak tahan mendengar pengaduan anakku untuk mengadakan pesta selamat tinggal bagi masa kanak-kanaknya. berbekal hutang ke sana kemari dan menggadaikan sisa barang yang berharga, akhirnya tersedia kue kukus di atas meja.
sebentar lagi lilin-lilin dinyalakan dan lagu-lagu ulang tahun disorakkan.
aku duduk di kursi memandang jarum jam bergerak. kupanggil istriku agar memasak nasi jagung, sayur asam, dan menggoreng ikan asin. “jangan lupa sambalnya,” teriakku.
setelah semua masakan terhidang di atas meja, aku segera mengundang tetangga, kenalan, dan siapa saja yang kuingat namanya, tidak lupa tuhan – tentu saja kukatakan menu makanan kami agar dia tidak kecewa. tetapi, tidak ada yang datang selain tuhan yang maha sibuk. akhirnya, kami makan sambil menonton anak-anak berpesta.
tanjung kodok, awal juli 2005
Selasa, 05 Agustus 2008
Sajak-Sajak Javed Paul Syatha
Kesaksian Daun Ungu
Mungkin bukan sesuatu yang aneh jika hutan depan rumah itu selalu disapa badai atau genangan air, karena memang sudah lama hutan itu menjadi mukim bagi angin juga hujan. Tapi baru pagi itu engkau sempat merasa kagum; kekaguman yang sangat aneh. Engkau memunguti rontokan daundaun kering, sembari berbisik lirih; entah apa yang engkau rapalkan, suara itu teramat rahasia. Sesekali engkau mengantonginya, ada pula yang engkau buang percuma, tapi untuk daun berwarna ungu itu, telah engkau persiapkan galian tanah dan nisan.
Sedang cuaca hari itu kembali membasahi hutan dekat tempat tinggalmu; seiring engkau mengubur daun ungu kering itu.
Ternyata tunas yang dulu hijau lugu yang sempat engkau tanam di hutan itu telah berubah menjadi raksasa, pohonpohon tua dengan terpaksa merontokkan daunnya menundukkan kepala ditengah rerantingan yang semakin renta.
Sehabis pagi itu engkau tidak lagi seperti biasanya, pergi ke hutan kemudian menghitung berapa lagi pohon-pohon yang harus tumbang karena badai. Engkau gelisah dengan kebingunganmu sendiri, sepertinya ada yang telah terlupa, engkau mencoba mengingat-ingat kembali. Tepat ketika matamu berbenturan dengan batu nisan yang engkau tanam kemarin, lantas engkau mengambil lumpur dari peluhmu menuliskan nama-nama dan angka-angka, mungkin sebagai petanda atas kematian. Tapi siapa sebenarnya yang telah mati, bukankah di dalam kubur itu hanya sehelai daun kering berwarna ungu?.
Kiranya sesuatu yang telah ditulis di batu nisan itu, sama dengan tulisan yang ada di atas urat daun yang telah dikuburnya kemarin, tertuliskan “reinkarnasi”.
Sejak saat itu sepertinya engkau telah menemukan jalan keluar bagi hidupmu sendiri.
Senja itu engkau memetik daun paling tinggi di pohon raksasa hutan itu, tepat berwarna ungu, kemudian engkau letakkan pelan-pelan di pelukmu saat berbaring di liang kubur di bawah pohon raksasa yang engkau gali sendiri. Sehabis menuliskan sesuatu atas daun kering ungu itu, tertulis “aku sudah tua”.
Pagi itu hutan mulai sepi dari topan atau hujan seperti biasanya, hanya saja daun-daun banyak yang berjatuhan menerjemahi kuburmu. Jatuh tanpa huruf-huruf dan angka-angka; tapi apa di kantong transparan bajumu itu, tertulis “badai” dan satunya lagi terlukis “kematian”. Mungkinkah di kantong transparan itu sebuah kesaksian atas daun ungu yang ingin meronta reka.
Lamongan, 2003
Aku Di Sisihmu Kekasih
aku di sisihmu kekasih
menepi dalam bismillah
sebagai kegaiban
segalaku
pancar mata
harimu
aku menerbangi langit
merontokkan daun cahaya
menyelam ke dasar lautan
aku sebiji
kering dan basah
dalam takdirmu
akulah bersamamu dalam rindu
seusai pagi berbening embun
menyempurnakan umurku
kepadamu
hanya kepadamu.
Lamongan, 2004
Muqadimah
menyapa-mu
aku aus
didekap takdir
sampaikan salam ini pada lapis langit
jelmakan rintik hujan yang melebur segala kata
membingkis risalah magis kalbu
biar segala keheningan mengantarku
assalamu’alaikum bapa
aku datang sebagai anjing
berpijak dikegelapan purna
dan aku mencari jejakku di bulan
pada hijrah pada tubir mi’raj
biarkan hanya sunyi dalam keheningan jiwaku
seperti denting doa tak kumengerti
makin kalap kurapalkan
sunyilah menandaskan detik air mata
di tetes waktu
dari sendiri kau datang tanpa rupa dan bentuk
kau menjelma bukan cahaya dalam ketakberjasadanmu
wadag yang akan meleburkanmu dalam tafsir hijabku
o, kebekuan jiwa
terjebaklah pada wadagku yang nian absurd
menamaimu!
Lamongan, 2007
Mungkin bukan sesuatu yang aneh jika hutan depan rumah itu selalu disapa badai atau genangan air, karena memang sudah lama hutan itu menjadi mukim bagi angin juga hujan. Tapi baru pagi itu engkau sempat merasa kagum; kekaguman yang sangat aneh. Engkau memunguti rontokan daundaun kering, sembari berbisik lirih; entah apa yang engkau rapalkan, suara itu teramat rahasia. Sesekali engkau mengantonginya, ada pula yang engkau buang percuma, tapi untuk daun berwarna ungu itu, telah engkau persiapkan galian tanah dan nisan.
Sedang cuaca hari itu kembali membasahi hutan dekat tempat tinggalmu; seiring engkau mengubur daun ungu kering itu.
Ternyata tunas yang dulu hijau lugu yang sempat engkau tanam di hutan itu telah berubah menjadi raksasa, pohonpohon tua dengan terpaksa merontokkan daunnya menundukkan kepala ditengah rerantingan yang semakin renta.
Sehabis pagi itu engkau tidak lagi seperti biasanya, pergi ke hutan kemudian menghitung berapa lagi pohon-pohon yang harus tumbang karena badai. Engkau gelisah dengan kebingunganmu sendiri, sepertinya ada yang telah terlupa, engkau mencoba mengingat-ingat kembali. Tepat ketika matamu berbenturan dengan batu nisan yang engkau tanam kemarin, lantas engkau mengambil lumpur dari peluhmu menuliskan nama-nama dan angka-angka, mungkin sebagai petanda atas kematian. Tapi siapa sebenarnya yang telah mati, bukankah di dalam kubur itu hanya sehelai daun kering berwarna ungu?.
Kiranya sesuatu yang telah ditulis di batu nisan itu, sama dengan tulisan yang ada di atas urat daun yang telah dikuburnya kemarin, tertuliskan “reinkarnasi”.
Sejak saat itu sepertinya engkau telah menemukan jalan keluar bagi hidupmu sendiri.
Senja itu engkau memetik daun paling tinggi di pohon raksasa hutan itu, tepat berwarna ungu, kemudian engkau letakkan pelan-pelan di pelukmu saat berbaring di liang kubur di bawah pohon raksasa yang engkau gali sendiri. Sehabis menuliskan sesuatu atas daun kering ungu itu, tertulis “aku sudah tua”.
Pagi itu hutan mulai sepi dari topan atau hujan seperti biasanya, hanya saja daun-daun banyak yang berjatuhan menerjemahi kuburmu. Jatuh tanpa huruf-huruf dan angka-angka; tapi apa di kantong transparan bajumu itu, tertulis “badai” dan satunya lagi terlukis “kematian”. Mungkinkah di kantong transparan itu sebuah kesaksian atas daun ungu yang ingin meronta reka.
Lamongan, 2003
Aku Di Sisihmu Kekasih
aku di sisihmu kekasih
menepi dalam bismillah
sebagai kegaiban
segalaku
pancar mata
harimu
aku menerbangi langit
merontokkan daun cahaya
menyelam ke dasar lautan
aku sebiji
kering dan basah
dalam takdirmu
akulah bersamamu dalam rindu
seusai pagi berbening embun
menyempurnakan umurku
kepadamu
hanya kepadamu.
Lamongan, 2004
Muqadimah
menyapa-mu
aku aus
didekap takdir
sampaikan salam ini pada lapis langit
jelmakan rintik hujan yang melebur segala kata
membingkis risalah magis kalbu
biar segala keheningan mengantarku
assalamu’alaikum bapa
aku datang sebagai anjing
berpijak dikegelapan purna
dan aku mencari jejakku di bulan
pada hijrah pada tubir mi’raj
biarkan hanya sunyi dalam keheningan jiwaku
seperti denting doa tak kumengerti
makin kalap kurapalkan
sunyilah menandaskan detik air mata
di tetes waktu
dari sendiri kau datang tanpa rupa dan bentuk
kau menjelma bukan cahaya dalam ketakberjasadanmu
wadag yang akan meleburkanmu dalam tafsir hijabku
o, kebekuan jiwa
terjebaklah pada wadagku yang nian absurd
menamaimu!
Lamongan, 2007
Senin, 04 Agustus 2008
Sajak-Sajak Raudal Tanjung Banua
TANAH TAMBAK
untuk sahabat nurel
Hamparan tanah dan air segala tampak:
Gubuk-gubuk ngantuk dengan dermaga kayu
menunggu perahu yang tidak selalu tiba.
Turbin mesin berputar sepanjang waktu
tapi bukan kincir angin menghiburmu.
Padi dan ikan-ikan berulangkali panen
di luar musim. Capung-capung terbakar
di udara panas bergaram. Sebuah tempat
dinamakan pasar pagi karena tutup
sebelum matahari menuntut lebih banyak lagi.
Dan lalat-lalat berpesta di gelas-piring warung makan
langganan suap setiap orang. Air payau
menguap diam-diam tanpa jadi energi, garam atau hujan
kecuali janji meluap dimusim dekat nanti
mengapungkan rumah-rumah papan
yang bergerak tanpa tarian.
Sungguh terasa asing:
Kalau ini laut, aku tidak melihat karang
Kalau kebun dan sawah, jauh dari pematang
Air bukan sekadar kolam karena semua yang kupandang
seperti lautan impian. Di atasnya nelayan-nelayan
bercaping pandan berlayar menjaring kilau sisik harapan
Petani-petani setengah riang menyandang cangkul
bersiap dan berharap bulir ketam di hampa tangan
Para tengkulak datang dan pergi
membuat jalur sendiri di atas air dan api:
memanen tanpa menimbang, menimbang sebelum panen
Sementara di utara, sebuah tempat disebut kampung teroris
karena menyala oleh lebih banyak tuduhan,
maka sempurnalah keasingan.
Angin berhembus menembus pori-poriku yang kering
Seekor capung dengan sayap terbakar membuatku tengadah
memahami matahari: cahaya satu yang tak sama
mencintai seluruh sisi bumi. Seperti di sini, mulai kuhikmati
hamparan tanah dan air berbagi lebih dari yang tampak
di wajahmu yang letih.
/Lamongan-Yogya, 2006
DI PELABUHAN GRESIK
bagi kawan mardiluhung
mampir malamhari, angin keras, sauh berkarat
asin laut tercecap ujung lidahku
seperti kepak camar ingin teriakkan
kata puisi, namun bersamamu
menyusuri sepanjang dermaga, gudang tua
dan kapal sandar, kita mabuk saja
bicara hal-ihwal sederhana: tentang bulan
yang tak ada dan sebuah tangga kayu
hanyut diseret pasang entah ke mana
tapi tidak, di antara dengkur bebal kelasi
dan tawa ngakak para kuli, bicara juga kita
tentang rencana buku puisi, tentang tajam kerang,
keras rumah kura-kura, tinta cumi-cumi
tubuh lunak molusca, bulan-bulan penuh bualan
pada akhirnya, ketika bulan benar-benar
tak ada, segala yang keras dan lunak
ditandaskan, kita tak kuasa mengelak: saatnya bicara
tukang jagal sialan di kerak-kerak gelap neraka pelabuhan
(dan mataku bersiap gerhana untuk sesuatu
yang lebih memabukkan!)
bicara tukang jagal, aku juga tukang jagal, bung
tak kalah sialan dari kalimatmu meracau membubung
tak kepalang liar: memenggal
apa yang tak terpenggal. mencincang
apa yang tak tercincang
—walau dalam diam
lantaran itu, sekutuku gudang tua
yang menyimpan cerita dan dingin kata-kata
dari liat dan lunak daging kenangan
maka di sini, malamhari, kugeret temali
segala tiang, kujadikan salib dan cemeti
bagi yang kucincang. kugores lambung
segala kapal agar sempurna luka
dan lapar perjalanan
“o, pelabuhan, tempatku mampir
bukan sekadar mabuk igauan
dan ceracau cemasmu, kawan!”
di sini, aku ingin bersisik seperti ikan.
/Gresik-Yogya, 2006
SUNGAI SIAK
untuk marhalim
Di tepian jagung bakar
di bawah jembatan dari baja
hujan mengguyur tenda-tenda
merah muda. Kita pun kuyup
menakar kedalaman sungai waktu
dari gelak riang anak-anak
mandi telanjang, dari arus kuning
dan akar-akar terbantun
pada tebing kecemasan.
Bagaimana mengukur ketulusan
dari usia yang diberikan tuhan?
Rintik hujan membuat lingkaran
di kulit air yang beriak—air bertemu air
bercampur dan mengalir
seperti usia dan tangisan yang berlepasan
ke muara—bagaimana membedakannya?
Dan riak ibarat isak, segala yang tampak
tapi tak sanggup mengukur hening dasar
atau menjangkau hulu hatimu yang diam.
Di tebing kecemasan, di tepian jagung bakar
kita hanya dapat memandang
anak-anak murni telanjang
dan berloncatan sebagai umpan retak
masa depan. Atau membayangkan
aroma rempah di lambung kapal-kapal
yang pergi dan karam—adakah mahkota
dan silsilah raja-raja di hatimu berdiam?
Di tepian jagung bakar, di bawah tenda-tenda
runcing hujan, sia-sia kita menakar
kedalaman hati—kuyup keharuan
dan sungai waktu—seribu tahun keheningan
Kecuali kau dan aku jadi batu
terlempar dari tebing. Runtuh
dan terbenam.
/Pekanbaru 2005-Yogya 2006
untuk sahabat nurel
Hamparan tanah dan air segala tampak:
Gubuk-gubuk ngantuk dengan dermaga kayu
menunggu perahu yang tidak selalu tiba.
Turbin mesin berputar sepanjang waktu
tapi bukan kincir angin menghiburmu.
Padi dan ikan-ikan berulangkali panen
di luar musim. Capung-capung terbakar
di udara panas bergaram. Sebuah tempat
dinamakan pasar pagi karena tutup
sebelum matahari menuntut lebih banyak lagi.
Dan lalat-lalat berpesta di gelas-piring warung makan
langganan suap setiap orang. Air payau
menguap diam-diam tanpa jadi energi, garam atau hujan
kecuali janji meluap dimusim dekat nanti
mengapungkan rumah-rumah papan
yang bergerak tanpa tarian.
Sungguh terasa asing:
Kalau ini laut, aku tidak melihat karang
Kalau kebun dan sawah, jauh dari pematang
Air bukan sekadar kolam karena semua yang kupandang
seperti lautan impian. Di atasnya nelayan-nelayan
bercaping pandan berlayar menjaring kilau sisik harapan
Petani-petani setengah riang menyandang cangkul
bersiap dan berharap bulir ketam di hampa tangan
Para tengkulak datang dan pergi
membuat jalur sendiri di atas air dan api:
memanen tanpa menimbang, menimbang sebelum panen
Sementara di utara, sebuah tempat disebut kampung teroris
karena menyala oleh lebih banyak tuduhan,
maka sempurnalah keasingan.
Angin berhembus menembus pori-poriku yang kering
Seekor capung dengan sayap terbakar membuatku tengadah
memahami matahari: cahaya satu yang tak sama
mencintai seluruh sisi bumi. Seperti di sini, mulai kuhikmati
hamparan tanah dan air berbagi lebih dari yang tampak
di wajahmu yang letih.
/Lamongan-Yogya, 2006
DI PELABUHAN GRESIK
bagi kawan mardiluhung
mampir malamhari, angin keras, sauh berkarat
asin laut tercecap ujung lidahku
seperti kepak camar ingin teriakkan
kata puisi, namun bersamamu
menyusuri sepanjang dermaga, gudang tua
dan kapal sandar, kita mabuk saja
bicara hal-ihwal sederhana: tentang bulan
yang tak ada dan sebuah tangga kayu
hanyut diseret pasang entah ke mana
tapi tidak, di antara dengkur bebal kelasi
dan tawa ngakak para kuli, bicara juga kita
tentang rencana buku puisi, tentang tajam kerang,
keras rumah kura-kura, tinta cumi-cumi
tubuh lunak molusca, bulan-bulan penuh bualan
pada akhirnya, ketika bulan benar-benar
tak ada, segala yang keras dan lunak
ditandaskan, kita tak kuasa mengelak: saatnya bicara
tukang jagal sialan di kerak-kerak gelap neraka pelabuhan
(dan mataku bersiap gerhana untuk sesuatu
yang lebih memabukkan!)
bicara tukang jagal, aku juga tukang jagal, bung
tak kalah sialan dari kalimatmu meracau membubung
tak kepalang liar: memenggal
apa yang tak terpenggal. mencincang
apa yang tak tercincang
—walau dalam diam
lantaran itu, sekutuku gudang tua
yang menyimpan cerita dan dingin kata-kata
dari liat dan lunak daging kenangan
maka di sini, malamhari, kugeret temali
segala tiang, kujadikan salib dan cemeti
bagi yang kucincang. kugores lambung
segala kapal agar sempurna luka
dan lapar perjalanan
“o, pelabuhan, tempatku mampir
bukan sekadar mabuk igauan
dan ceracau cemasmu, kawan!”
di sini, aku ingin bersisik seperti ikan.
/Gresik-Yogya, 2006
SUNGAI SIAK
untuk marhalim
Di tepian jagung bakar
di bawah jembatan dari baja
hujan mengguyur tenda-tenda
merah muda. Kita pun kuyup
menakar kedalaman sungai waktu
dari gelak riang anak-anak
mandi telanjang, dari arus kuning
dan akar-akar terbantun
pada tebing kecemasan.
Bagaimana mengukur ketulusan
dari usia yang diberikan tuhan?
Rintik hujan membuat lingkaran
di kulit air yang beriak—air bertemu air
bercampur dan mengalir
seperti usia dan tangisan yang berlepasan
ke muara—bagaimana membedakannya?
Dan riak ibarat isak, segala yang tampak
tapi tak sanggup mengukur hening dasar
atau menjangkau hulu hatimu yang diam.
Di tebing kecemasan, di tepian jagung bakar
kita hanya dapat memandang
anak-anak murni telanjang
dan berloncatan sebagai umpan retak
masa depan. Atau membayangkan
aroma rempah di lambung kapal-kapal
yang pergi dan karam—adakah mahkota
dan silsilah raja-raja di hatimu berdiam?
Di tepian jagung bakar, di bawah tenda-tenda
runcing hujan, sia-sia kita menakar
kedalaman hati—kuyup keharuan
dan sungai waktu—seribu tahun keheningan
Kecuali kau dan aku jadi batu
terlempar dari tebing. Runtuh
dan terbenam.
/Pekanbaru 2005-Yogya 2006
Sabtu, 02 Agustus 2008
Sajak-Sajak Thoib Soebhanto
Dermaga (I)
biduk renta berlabuh jua
singgah sebentar melepas dahaga
kusandarkan lelah di tiang dermaga yang sepi
sambil menghitung semangat yang letih
duhai kekasihku
kujemput engkau di dermaga itu
menjelang malam dengan rindu yang diam
menyaksikan seonggok nasib nan remuk redam
tak ada yang aku punya
sekedar cinta yang sekarat
biarlah kupersembahkan jua
padamu muara harapan tertambat.
Asahan-Jogja 2002.
Dermaga (II)
ada sepercik mimpi bertengger di batas laut
menyulam biduk renta dengan seuntai jamrud
kekasihku, jika engkau berhasrat sangat
bergegaslah tinggalkan dermaga yang penat
usah hiraukan duka berbilang
ambillah satu saja; sekedar cukup dikenang-kenang.
Asahan-Yogya 2003.
Dermaga (III)
kekasihku, berlabulah di dermaga hati
setelah engkau belajar tekun mengarungi samudra rasa
yang demikian itu, cukupkanlah!
Asahan-Yogya 2003.
biduk renta berlabuh jua
singgah sebentar melepas dahaga
kusandarkan lelah di tiang dermaga yang sepi
sambil menghitung semangat yang letih
duhai kekasihku
kujemput engkau di dermaga itu
menjelang malam dengan rindu yang diam
menyaksikan seonggok nasib nan remuk redam
tak ada yang aku punya
sekedar cinta yang sekarat
biarlah kupersembahkan jua
padamu muara harapan tertambat.
Asahan-Jogja 2002.
Dermaga (II)
ada sepercik mimpi bertengger di batas laut
menyulam biduk renta dengan seuntai jamrud
kekasihku, jika engkau berhasrat sangat
bergegaslah tinggalkan dermaga yang penat
usah hiraukan duka berbilang
ambillah satu saja; sekedar cukup dikenang-kenang.
Asahan-Yogya 2003.
Dermaga (III)
kekasihku, berlabulah di dermaga hati
setelah engkau belajar tekun mengarungi samudra rasa
yang demikian itu, cukupkanlah!
Asahan-Yogya 2003.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae