Rabu, 27 Mei 2009

Sajak-Sajak Muhajir Arifin

http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
BISIKAN NAMA
:Siti Masfufah

kupunguti sajak-sajak ini
dari puing-puing berantakan
di pantai-pantai,
beberapa larik lagi
kuminta dari angin
dan debur kecil.
saat kujumpai sepi,
ia mengelak memberi
beberapa cabik lagi.—
biar kubujuk ia,
dan nanti
kutaburkan di kertas-kertas putih.



(bagian satu)
(1)
kami berpapasan
di percik-percik ombak utara—
saat bulir-bulir mengukiri
lengan dan paha,
saat cahaya-cahaya
mewarnai akar-akar kelapa.

(2)
o… gadis
yang dipahat oleh tangan bersih sang pagi,
jernih air sungai-kali yang bernaung
di keperkasaan bebukitan mengaliri diri.
ia mewarisi cahaya hera,
kecantikan isytar-syiria,
pesona perempuan troya, sekaligus
kelembutan gadis jawa.
kadang, ia menjadi drupadi.
bukan, perawan aisah… ah,

(3)
dagunya, hanya milik pemuja.
hamba binasa tak akan sanggup
menyulam makna.
dagu itu, melukis indah bibirnya
tak berbantah.

(4)
di bawah senyum rembulan
dan restu lautan, kusunting jiwanya,
dengan mahar setangkai sederhana
yang aku tanam dan petik
dari taman kesenyapan fana.—
kuhidupi hatinya
dan dia surgai hatiku.

(5)
kami rendam diri di telaga hati.
kami berdandan
layaknya ia dan julia,
ia dan laila.
layaknya ia dan zulaikha,
ia dan ayati.

(6)
menumpahkan seluruh kami di dada-gairah—
hamparan pasir putih dan cadas-cadas basah
ketika bintik-bintik hujan
dan kucuran penantian tertoreh sempurna
di gerut-gerut bibir
dan kelopak pejamnya.—
ah,
perasaan terindah yang akan membuat
zeus dan hera dirisaukan cemburu buta.

(7)
hari-hari menjadi panorama penuh warna,
cemburu dan rindu bersatu
bersama mengusik malam-malam
dan hari-hari yang cerah.

(8)
linangan airmata yang berjatuhan
membentur pasir pantai
seketika musnah,
berganti canda tawa dan lari-lari kecil
yang seringkali berakhir dalam
bertatapan mata—penuh dengan gelora.
dan… semilir pelan, pasir basah
dan ombak ramah berebutan menjamah
betis dan rambutnya yang terurai
bak aliran sungai.
jiwa melayang, membumbung jauh
menerobos gumpalan awan merah senja.

(9)
menyusuri bebukitan
yang penuh dengan pelbagai jenis bunga
dan aroma—
setapak yang rimbun
oleh pinus, semak-semak dan bongkah batu.
hawa dingin dan lebat kabut
yang bergatian datang
menusuk sampai sumsum dan nadi
tak membuat bergeming—
karena kami berjalan
atas nama cinta.— seluruh tenaga,
menggapai-gapai ke puncak surga.

(10)
ah… ia begitu indah—bidadari
yang bersandar di keindahan
dahan malam,
terpaan matahari membalutinya
dengan keemasan cahaya.—
tiap garit bibir dan garis wajahnya adalah puisi,
sekujur tubuhnya menjadi inspirasi.
tatapan itu, o, pesinggahan bestari
bagi para pejalan
yang memdamba keteduhan.

(11)
terus dan terus. tak mengenal takut:
pada ocehan dangkal masyarakat
pewaris tradisi kawin-paksa,
gerutu dungu orang-orang
yang tak pernah bisa
mendengar alunan merdu yang
bergema dari lubuk hati tersunyi—
apalagi melihat kemilau cahaya
di kedalaman jiwa manusia…

(12)
ah!
kami terus melangkah,
menyusuri jalanan cinta—sepanjang jalan
yang memang penuh marabahaya!

(13)
senyum sederhana
namun mempesona—siapapun yang diterpahnya,
akan menganggukkan kepala.— senyum
yang senantisa merekah dari
kelopak bibir indah-basah. senyuman
yang selalu menyiramkan ketenangan
dan kebahagian, bahkan ketika kecemasan
dan rasa takut akan datangnya
perpisahan yang tidak kami inginkan,
tiba-tiba datang meredupkan cahaya…

(14)
rajukan manja
dan harum bersih tubuhnya
selalu bisa menenangkan aku…
tangan berjemari lentik dengan lembut meraihku,
menjatuhkan aku dalam
hangatnya dekapan—o,
aku merasa seperti bayi
yang mendapatkan ketengan
dan kedamaian yang luar biasa.

(15)
memandang jauh ke bebas-samudra…
seringkali aku mendengar jeritan do’a
yang menggema lirih dari jiwanya,
permintaan sederhana kepada
sang pemilik cinta:”jangan ambil keindahan ini,
wahai tuhan… kumohon, jangan ambil kebahagiaan ini!”
suara yang digetarkan ketakutan
menghadapi lengang
dan hampanya perpisahan…

(16)
bersendawa dalam dekapan keheningan,
takjub, dan mensyukuri segala anugrah…
mencurah dan mencurahkan lagi
segala rasa ke pantai-pantai,
bebukitan hijau dan kokoh menara-menara
yang ditempa sang resi-bumi,
danau-danau hening nan sepi… begitulah,
cara kami menghadirkan
indahnya kegembiraan
dan mengembalikan cahaya kebahagiaan.—
mengukir nama muhajir arifin-masfufah
pada batang-batang kelapa,
bongkah-bongkah batu dan pasir pantai surut.
menelanjangi diri, hati
dan jiwa—menenggelamkannya—dalam kejernihan cinta…



(bagian dua)
(17)
jatuh! kalah!
pancungan itu datang jua!
kami tak sanggup bertahan
bahkan demi jerih dari peras
sepayah itu.

(18)
mereka… mereka menyayatkan luka-luka
tepat di puncak gelora,
sebelum menyematkan penggal
di tengah wajah-wajah pasrah,
jiwa-jiwa yang tak pernah berani beronta
dipendam keluh-desah dan
gemetar ketakutan—khas para pengecut!
jiwa-jiwa yang memenjarakan
dan merantai dirinya dengan suka rela.

(19)
mereka hapus sisa-sisa darah,
memadamkan titik-titik gairah.—
sampai tak ada sejarah
di puing-puing kisah,
tak ada yang tahu, peleburan rindu
bersemanyam syahdu
di daerah paling teduh di palung jauh.

(20)
entah,
kapan dapat kuikhlasi kekejian itu!
sementara surga kami yang mungil
di pantai kecil, itu nyaris berdiri…



(bagian tiga)
(21)
tiga tahun menuju
datangi setapak-setapak dulu—
tinggal jejak-jejak kakimu kelabu
dan bunga-bunga biru menghaturkan
wangimu ke kalbu.

(22)
sampai hujan mereda
galau masih menggenangi hati
dan batang jati—
persinggahan sederhana
yang menyuguhkan secawan madu
dari kerajaan pagi
dan setetes racun
persembahan awan tua.

(23)
menjelang senja
kutonggak jiwa
melepas kepergian cahaya
kucurkan seluruhku ke pangkuan sunyi.
sampai nanti,
sampai perih tak lagi
gerogoti hati.

(24)
(“tersenyumlah…
seperih apapun luka,
ia akan selalu mengkidungi
langkah-langkah.”)

(25)
ia senyumkan aku,
saat teluk-teluk hanya dungu
puncak-puncak hanya desau
dan bayang-bayang menggigil
menyaksikan puncratan dari punda,
sedetik setelah belati menghunjamnya…
dan berlalu,
menjauhi tubuhku yang runtuh
ke tanah.

(26)
habis gairah. habis darah. habis serapah.

(27)
sebelum silir-silir pelan
menghantarkan serpih-serpihku
ke pantai,
tak ada hidup mati
dendam dan kasih…



(bagian empat)
(28)
kupunguti serpih-serpih
di pantai-pantai.
selangkah-selangkah menyusuri
setapak-setapak berhembusan semerbakmu.
meski,
tak ada ringsut-ringsutmu
tunduk ragu-ragu
dan gerut-gerut bibirmu yang basah—
kecupan halusmu yang dingin.

(29)
kerisauan demi kerisauan
akan datangnya pancungan itu,
menempahku:
tak bergeming menghadap hening.

(30)
taka akan ada caci lagi pada biasa-biasa
karena kasih telah mengajari kita
merasai yang tak berasa.
tak ada kernyit lagi di malam-malam pahit
karena sang jiwa akan menusukkan sakit
di telapak nasib.

(31)
bila perihnya meraba
tujulah pantai-pantai.
reguk segalanya
dan biarkan butir-butir air menciumi bibir—
tumpahkan seluruhmu pada sang maha getir.

(32)
satukan nadi
bersama nafas-nafas pagi,
kecup tunas-tunas bayi.
di esok ceria
saat cahaya belia
gairah berserak di tanah-tanah.

(33)
biarkan aku bercerita kisah biasa ini
pada tiang-tiang pelabuhan
pada pinus-pinus pengunungan
pada jiwa yang menghabiskan
malam-malam diam
dan unggun bara sampai nyaris padam.

(34)
menyeduh kopi
bersamanya di teras sepi
bererimbunan pohon semi
dan membangun surga mungil
di petak kecil
di tengah hutan jati kecil

(35)
bila ada penegur sapa,
katakan segalanya
tanpa kata-kata—
luka menganga
duri yang sepi
akan menjadi basi bila tak dicicipi,
tak akan mendenyutkan nadi
dan mewarnai mimpi bila tak disenyumi.

(36)
dan senyum menguntum
damai bersemai
gia yang menggelora
gairah akan sua
akan sia-sia.

(37)
tak dapat kuhapusi jejak-jejak terlalui—
yang sudah membekasi great-gerat
di lempeng hati.—tapi,
aku harus segera mencari…



(bagian lima)
(38)
kutinggalkan mantel beludru
di timbunan haru
kurebah tubuh runtuh
di atas sajadah jauh.
sesisa tenaga,
kusuluh sumbuh repuh
kuhampiri tungku
lalu kugaruh basuh—
untuk kalbu yang tersepuh pilu
untuk hatiku yang dipatahkan rintik salju.

(39)
tak berani lagi kuharapkan apapun
pada hidup yang memang gugup—dan
semakin redup,—
hidup yang menanti-raih kehadiran
sang jiwa
untuk mengenakan selimut
di tubuh yang diharubiru oleh beku,
untuk menyeka luka
yang berlumuran duka—dengan
selendang yang diambil
dari jeritan-jeritan terkekang
tangis-tangis yang hilang
sebelum menjadi pedang…

(40)
jiwa yang terlahir dari
lembah sepi sakit hati
dan bertumbuh di langit
yang dikotori—jiwa
yang akan menghembuskan kerisauan
pada siang malam tuan.—
ia adalah cadas,
yang dipahat oleh jutaan tahun rampasan peras.
jangan ocehi dia tentang
kemurnian sabda-sabda
keangungan para pemberonta
atau kemulyaan para pemuja.
ia, yang baru saja membebas diri
dari injakan tirai-tirai,
datang menebar darah
dan sesimpul senyum sepah.
jangan bujuk ia dengan perih-mati
karena di dadanya sudah tertancap belati.

(41)
petapa alam menempahnya
untuk menolak
pagi petangnya petuah ragu dan tidak
dari sang raja gagak.
ia hanya percaya pada desis angin
betapa irisnya mendingin
ia belajar pada duri perihal menusukkan rintih
pada bayi perihal menyuapi asih.

(42)
di malam-malam pendam,
ia kunjungi ranjang-ranjang perawan:
“hanya untukmu perih ini,
jangan menampik
tak ada apapun lagi—rangkaian atau janji.
tak dapat kumandikanmu di telaga lengang
pagi dan petang.
sungguh,
hanya darah ini yang kualirkan ke tanah
dan membiarkan akar-akar jati mereguknya.
sudahlah…
esok saat aku tiba, di tanganku
sekuntum gelora…”

(43)
hampir hujan
sembulan pekat asap gerogoti
geretak-geretak rongga dada
ketika hirukpikuk mengasingi
pilar-pilar renta, karat—tak beronta.
aku yang menjaga parahku di kedalaman
tak menjadi kegilaan, berlalu
ke haribaan senja beku—senja
yang kian mempercepat detik-detik
keberangkatan kapal
menuju ke sendirian. tak berbekal apapun
menghadap perkasanya hening lautan,
selain tubuh basah dan hati pecah

(44)
gema-lirih kata-kata yang putus-putus
oleh air mata dari bibir merah basah,
akan selalu temani aku…
“kita tetap jatuh
membentur tanah… membusuk
meski jutaan serat berputusan mengikat.
bertunaskah
merancapkah
adakah daun menguncup
sedang tangkai mongering
di atas batang kering
bertopang akar kering
tertancap di tanah-tanah kering
dikelilingi jiwa-jiwa
yang berangsur kering.
esok, mungkin hujan akan mengucur
membangkitkan daya-daya subur
terkubur… dan, jiwa-jiwa bayi akan tumbuh
dan menggapai-gapai udara dan cahaya.
saat itu,
ketika jiwa-jiwa mungil sedang belajar
untuk menjadi dewasa—merdeka
dan menentukan sendiri pilihannya—
si usil nasib dan tradisi dungu ini
akan terbahak lagi, menertawi…”
kau ikat pulukku,
sehembus nafas wangi menghangati bibir
yang kian berasa getir.
dia kembali berbisik…
”jika masih tersisa gairah,
sebaiknya kitapun tertawa…”

(45)
hempasan sengit badai
berangsur surut
tinggal lima depa, aku jumpa.
dari jalan-jalan malam kelam
hingga tepian pasir muram,
kubungkam desahku sebisu batu
kutimbuni perih dengan duri.
tinggal selangkah,
ketika tumbang pepohonan…
ringkih batang-batang, dan
daun-daun kering menghamburi tubuh
dan lusuh.

(46)
mulai surut sepanjang perairan
dan langit menampakkan paras ketegasan.
sebelum keringnya dahaga
menggersangkan rongga,
kuraih serakan tetulang purba,
seonggok hati patah
dan biola kecil yang dawainya entah…

(47)
ah,
di hamparan entah-berantah,
satu demi satu akan kutonggaki arah

Sajak-Sajak Johan Khoirul Zaman

http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Manik-manik Do’a Pernikahan

Pernikahan langait, itulah munajatku disela sunyi
saat perempuan menggunting lajangku,
ia akan ku ajak menganyam hujan
walau gemuruh berhamburan

tiba juga jiwa di dermaga sukma
pesta cinta memang tak bersuara

ingin kutitipkan ilmu disetiap garis bibir istriku
agar kehormatan dijaga para pembela

pastilah ku taburkan doa disetiap helai rambutnya
agar cahaya kesetiaan memayungi jiwanya
ku tancapkan janji dalam hati

oh….penghuni hati
engkaulah percikan illahi
yang menyempurnakan Asmaul Husna dengan kemesraan
lalu kita bermain ditaman dengan segala permohonan cinta
yang melahirkan keselamatan.

Ya…maha cinta,
himpun daku dari yang terserak
berikan insan-MU yang berhias akhlak.

Bandung 25-12-08



Cinta yang Berdo’a

Jiwa yang bersemayam dalam selimut cinta
telah mengabarkan padaku tentang hangatnya kasih dikedalaman jiwa
yang berwsembunyi dalam dusta

lalu diam-diam terdengar sakitnya kenikmatan
layaknya hati berduri yang menancapi segala mimpi
semau kata pun menjadi sia-sia

karena 1 kebaikan cinta dapat menumbuhkan 1000 kebaikan
dan semua orang dapat melihat indahnya pelayaran rindu
dengan layar kedermawanan ditiup angin keikhlasan
ia menerjang badai dengan penuh ketenangan
walau sakitnya perpisahan antara pelabuhan dan lautan begitu pilu
namun semua mengajarkan tentang begitu indahnya memberi

ketahuilah riundu……..

bila 1 keburukan pada hidup cinta
begitu dapat meruntuhkan semua kebaikan
ia akan terombang ambing gelisah
ia bagai perahu tanpa nelayan lalu terbentur karang curam
dan diam segala penyesalan
semua orang pun menjauh karena benci pada keburukan
karena cintanya, luka dibawa rasa

oh…jiwa
daku tak mampu melihat engkau mati dalam kebisingan kota
dari kemarin aku telah mengajak hati agar berlabuh dipantai sunyi
diamana kita bersemayam dalam doa
untuk hidup yang sementara sedang cinta begitu abadi.

Bisakah kita berlari….?
saat kita tak tau siapa yang telah memberi.

Bandung 23-06-08



Hujan Darah

Lalu siapa yang menuduh hujan darah ini hari?
Lagi aku menjerit sakit memuntahkan getir itu
getir yang mencabik ulu hati manusia sangsi

lihatlah….. nona pertiwi berguguran ditepi selokan
sungguhkah demikian?
Ach…..bagi anak wayang itu semua hanya guyonan saja.

Tak ada lagi syukuran dimalam sakral
saat ini pesta kematian disarang perawan begitu mengasikan
sampai Tuhan dipermainkan dimeja judi
antara pencuri dan pemberi harus menjual harga diri

oh…jemari apa yang terjadi diliang lahat?
Telunjuk ku ingin menusuk kelicikan
dan ibu jari lelah untuk kuangkat diwajah para penjahat
aku pun linglung …..bingung

kini aku kepalkan tangan mengarah jiwa yang tak bisa marah
sebab siapa yang inginkan hujan darah ini semua

aku pun lelah pada ocehan ini semua
aku marah dalam resah
aku pun jengah dari kemarin hanya disebut sampah
tapi yakinlah aku tak kan lengah

sungguh…aku kalah bertarung dengan mereka yang serakah
namun aku menang bersama jiwa-jiwa yang berperang dalam batin
kelak suatu saat nanti
aku kan tenang menyambut gerilya meraka
karena akulah yang mengurung luka agar tenang….
tenang ….
maka kau …dia…dan aku terang,
semoga.

Bandung 21-02-09



Pusaka Sunyi Seorang Pejuang

Jikalau tiba penabur datang kembali
esok pastilah tiba sejatinya
saat kebenaran menuai keselamatan
karena siapa yang mengganti kelaparan dengan janji-janji yang diingkari,
maka tunggulah apa yang akan para pejuang lakukan diujung sunyi.

Bandung 14-01-09



Sampah, Perempuan, Rindu dan Hilang

Saat ini betina liar disumur tua berteriak-teriak pada luka
yang ia timba dengan kondom alat srigala melampiaskan nafsunya
segera ia menyiram keranda bekas seorang janda.

maha duka benar bibir menguntai caci diujung mimpi
karena tibalah kita bersilat lidah untuk merangkai tragedi

hey…….anak-anak dijual
saat perempuan dipaksa melayani mesin-mesin pabrik
sedang ekonom, seniman, budayawan, diajak berdansa
di panggung sirkus para politikus.

Betina yang luka,
aku yang tak rela memkik suara syahdumu
”kembalikan hidupku yang telah kau curi”

Bandung 17-04-09



Hanya ini

Bagi jiwa-jiwa yang selalu ada dalam rahasiah kata
aku memanggil ruh pecinta untuk mengabarkan ini

duhai diri petiklah ini segera
dan ingatlah Ia yang mengajarkan pertentangan,
semua bertujuan agar kita dapat mengetahui yang tunggal
diantara siang dan malam
baik dan buruk

sungguh, kita telah disambut dengan suka cita
atas waktu yang mengeja hal yang pernah ada
tentang kau dan aku yang tercipta.

Tersenyumlah kau bagai cinta yang meluluhkan air mata.
Segenap rindu memnggil kita dengan mahluk yang sempurna, kita manusia.
Amin.

Bandung 18-02-09



Garis Sutra Sahaya

Demi sesuatu yang ku damba
sungguh sakit nafas ini adalah jelma harap yang mati
terkapar diantara slogan-slogan partai
disetiap khotbah agama yang meraup dunia
atau disetiap rencana kekuasaan hidup

mimpiku telah miskin sejak kemarin
papa doaku tak bernama
karena cahaya dunia ditelan usia

sebab apa aku berdiri?
hidup ini telah gila
mencoreng cinta dengan harta dunia
meludahi ketulusan dengan dusta

ikhlasku telah dipaksa
sunyiku bak bencana

demi seseuatu yang ingin ku cela
aku rindu kesejahteraan dimana syurga bukanlah bualan kapitalis
agar lengkap air mata ini
agar jatuh mimpi itu
sungguh ingin ku hapus kegilaan ini
seperti dunia yang dipenuhi cinta
seperti hidup yang gandrung akan ketulusan

mati pun aku ikhlas
tak mungkin ku terpaksa
sebab sunyiku telah lama bersuara
” Hanya orang-orang ikhlas yang tak bisa dijamah iblis”

ikhlasku yang tak berbekas
jadilah doa ini tanpa batas
sampai luka dan cinta dapat ku hempas.

Bandung 19-04-09



Doit Your Self Indonesia

Perubahan hanya diperlukan oleh orang-orang yang bernurani
perjuangan dibutuhkan oleh orang-orang pemberani
karena kebebasan membutuhkan kemerdekaan
demokrasi itu adalah untuk keadilan
keadilan lahir untuk kesejahteraan

pembodohan dibutuhkan oleh para penindas
kelicikan pun dibutuhkan oleh para politikus picik
karena kemiskinan dan kehinaan menjadi hadiah
bagi orang-orang rakus

Revolusi dan mimpi adalah cinta dan tragedi
dalam kudeta para pencuri hati
siapa yang mampu berdiri untuk melindungi
maka ialah pemberontak utusan Illahi

yakinlah …proklamasi itu sesungguhnya janji
agar kita semua meniti diri
bagi siapa negri ini?

Sedang rakyat tak sadar telah dieksploitasi
sungguh menyakitkan…….sakit

untuk apa kita bicara sedang laku tak serupa
untuk apa kita berbuat sedang kata dan hati dipenuhi siasat

lakukan oleh dirimu sendiri Indonesiaku,
karena aku yakin keinginan kita semua
kita yang merdeka.

Bandung 14-04-09

Sajak-Sajak Mujtahidin Billah

http://www.facebook.com/group.php?gid=91739295309
CINTA DAN KEINGINAN

Jika cinta itu bukan garis dari wilayah terlarang maka izinkanlah aku untuk menempuhnya meski sendiri terlalu muda usiaku tuk berbicara tentang cinta.

Tapai mengapa aku berani ?

Karana setiap manusia pasti merasakan mencintai dan di cintai oleh siapapun orangnya baik seorang gusti ataupun sahaya, manusia mempunyai jawaban tersendiri tentang cinta dan itupun tergantung pada ketulusan rasa fikiran dan imajinasi kita menangkapnya walau hanya sepotong kata menjawabnya biarlah waktu nati yang akan menjawab karna waktu lebih jujur dari pada kita,sampai sekarang cinta masih menjadi sebuah legenda dan tanda tanya bagi kita. Setiap kata dapat merasakan kehaduranya walau lidah kita keluh gagu tetapi kita tetap ingin merasakanya,sebuah perasaan memang tidak bisa di kengkang dan selamanya tempahan itu akan mendapatkan wadah kadang terhalang oleh tirai setatus dan kadangkala kita akan pemahaman tentang cinta,hinga gejolak itu hanya bersutar membentur dan mencabik kita dalam kesedihan panjang dan sunguh menyedihkan.Pada saat seperti itu kita seakan di hadapkan pada jurang serba ketidak mungkinan,akankah kita melangkah jika yata di depan kita jurang kasta?

Ataukah hanya terdiam sedangkan kita berhak merasakan cinta dan di cinta,lalu apa yang kita dapat perbuat di hadapan rasa dan keinginan merasai dihadapan cinta dan permasalahan,dihadapan cinta dan setatus perlu segudang pengalaman dan waktu yang panjang untuk menjawabnya.

Aku tidak bisa aku hanya mampu berkata dengan ocehanku kelak, “ hidup sejati adalah hidup yang merempet bahaya ”.Jika kita sudah memiliki keteguhan dan merasakan sedikit keteguhan itu dapat melayari cinta,maka jurang kasta tidaklah berarti karna kesadaran bahwa tidak selamanya cinta harus memiliki tubuh.Tetapi jika kia belum mempunyai kekuatan menormakan maka lebih baik kita sendiri biarkan kesendirian itu menjadi teman sekaligus kekasih kita tapa tambatan segala hal walau harus sedikit tersiksa,dan jika terus memaksa maka yang ter jadi hanyalah frustasi dan kesedihan panjang.

Cinta sendiri bukanlah permainan asalan.



Embun

Jika kau hadir padaNya
demi semata-mata menghadapkan permohonanmu
maka kau sebenarnya terhijab dariNya
kau tak bisa melihatNya
walau panahan matamu
setajam matahari
menyirnakan embun tajalli

pandanglah hanya pada WajahNya
itulah solatmu yang hakiki
pertemuan tanpa tirai

di dalam relung Masjidil Haram
ada yang solat di depan Ka’abah
ada yang solat di dalam Ka’abah
ada yang solat langsung tak nampak Ka’abah

kekasih membawa sejadahnya ke mana-mana
berjalan di lorong hati yang senyap
akan menuntun kau ke mihrabNya
sedang kau berdiri dengan alas sejadah
siapa yang menyembah
dan siapa pula yang disembah

ketika mata kewujudanmu tertutup
mata hatimu pun terbuka
dan kau bisa melihat Dia
sepertimana Dia akan memperlihatkan DiriNya
kepada penghuni syurga
jadilah penghuni rumahNya
dan tinggalkan bayang-bayang makhluk
di padang keakuan diri

tatkala Dia mengangkat selubungNya
maka semua hari yang mutlak
adalah makrifat
tugas kita adalah membuka pintu diri ini
kerana kerajaanNya ada di dalam

kata sang semut kepada Sulaiman,
“kami ini makhluk kecil
nyaris tak terlihat dunia
justeru bagaimana cinta agungNya
bisa berada di dalam kewujudan kami?”

Ya Rabbi

sepatutnya dalam berdoa
aku yang harus menuruti segala keinginanMu
bukan Kau pula yang harus memenuhi
segala keinginanku
di padang keraguan
jubah-jubah berhimpun keluh-kesah
waktu telah tiba
namun Kau belum jua menepati permohonan
mata hati menjadi cair dan kabur
suara-suara bertanya
“mengapa Kau masih diam menangguh
hingga membuat kami begitu gusar
mungkinkah kerana amalan kami tidak mencukupi
atau kami abai menyempurnakan kewajiban”

makrifat itu kurnia teragungMu
di saat Kau membuka pintu semesta
tak siapa menyedari
Kau mahu memperkenalkan diriMu
sedangkan segala persembahan amalan
hanya berupa hadiah
dibalas dengan hadiah

benih cinta
yang tidak disemadikan
ke dalam tanah
tidak akan tumbuh
sebagai pohon yang sempurna

langit hitam itulah hati
ia hanya terang
jika Tuhan ternampak di dalamnya
andai kau masih tidak melihat Dia
di bentangan luas kosmos ini
kau juga tidak akan melihat Dia
di negeri akhirat kekal abadi
kau memerlukan misykat pelita terang-benderang
demi melihat Dia pada dirimu
tiada apa pun yang menghijab Dia
yang lain dari Dia adalah Dia juga
laksana kaca gilang-gemilang
tanpa tersentuh api
tidak di timur tidak di barat
kaca itulah cahaya, cahaya itulah kaca
bias keindahanNya
tampak jelas pada segala sesuatu

sebenarnya Tuhan tidak ghaib
maka untuk menujuNya
perlukah sampai mencari dalil
sebenarnya Tuhan juga tidak jauh
dari permaidani kosmos ini
maka untuk menyatukan diri kepadaNya
perlukah tabir yang memisahkan

mata hatimu sendiri menyaksikan
hakikatmu tiada
usah kau menunggang keldai
dari alam ke alam yang lain
kau harus berhijrah serta tinggalkan segera
semua alam ciptaanNya
dan renungkanlah
di manakah kini Dia menempatkanmu

pada kasih-sayangMu aku bermohon
jangan Kau usir diriku
ketika kuhadir di depan pintuMu
jangan Kau jauhkan diriku
ketika kuhampir pada batasMu
nafsu telah mendorongku tampil kepadaMu
setelah menjeratku sebagai orang tawanan

Kaulah penyelamatku
di medan tempur percintaan
kini bagaimana aku bisa bermunajat kepadaMu
sehabis sahaja pertempuran
seluruh padang kosmos ini lenyap
di dalam singgahsanaMu

kudahagakan minuman
dari gelas cintaMu yang jernih
bagaimana harus kuungkapkan
Kau sebenarnya ada
di sebalik hati yang berselaput debu-debu bumi
Kau sentiasa berjalan di padang sahara jiwaku
membawa rohku bersamaMu
demi asyik akan cinta terhadapMu
aku tersingkir dari tasbih orang-orang awam
puisi menjadikan hubungan lebih mesra dan akrab
dari ucap zikir di bibir

semua hasrat di hati telah sirna
sebaik saja melihat Kau datang
membawa harapan-harapan sejati
tanpa rasa cinta anugerahMu
tak kan kutahu siapa diriku
aku yakin benar
telah menyaksikanMu dalam jiwaku
namun yang melihatMu dari sisi luar
menjangkakan bumi ini bukan tempat kunjunganMu
Kau tetap berada selamanya
di atas singgahsana langitMu
malam sehabis munajat
mereka pulang lalu menutup pintu-pintu rumahMu
mereka padamkan semua lampu
mereka mengosongkan mihrabMu sehingga fajar
sementara hati orang-orang yang tak pernah tidur
sepanjang malamnya
dapat melihatMu dengan jelas dan nyata
mereka memohon keampunan dariMu
sebelum datang kematian yang dijanjikan



GENDERANG

Tangan seni itu hanya tahu menabuh, derum deram derum deram
betapa kulit itulah kubu yang selama mempertahankan hakikat,
demi suara membentak dalam kurungan, demi cinta telah pun
tumbuh bersayap, menerjang terbang dari pintu buana.

genderang itu hanya kulit, rahsianya terletak nun di tengah-tengah,
pada hakikatnya alam tak berbunyi, tak berhuruf, tak bersuara
– hampa, kosong.

dengarkan paluan atma, sebelum tersentuh Alif
ada langit berlubang
“di manakah Aku?”
ketika alam belum benar-benar terjadi.



MENCARI KESETIAAN

Kali ini kita diuji
mukul seluruh rasa
berseliweran segala cita
tapi kita selalu saja bertanya:
inikah cinta? atau dusta?

sekali ini aku pertanyakan kembali:
apakah itu cinta? apakah itu setia?
sebab aku tak habis pikir
perasaan selalu saja melantur
dan kita tak pernah mampu mengukur
seberapa pantas kita berikan
cinta dan sebuah kesetiaan

kemudian kita kembali terjerumus
dalam lubanglubang pikiran kita
dihempas-lepaskan kepada beban
entah kita bisa menyempurnakan
perjalanan atau semua bagai kesiasiaan

satu-satunya jawaban
bagi hati yang bertepikan angan:
“cinta tak melulu berbilang harap”



ADAKAH YANG LEBIH INDAH DARI CINTA?

adakah yang lebih indah dari cinta?
perempuan merindukan setia
siang malam mewujud bayang
menarik jiwa seperti magnit

-jauh tidak berjarak
dekat tidak berantara-

bermuka-muka dalam kedekatannya
membiarkan senja menepi di pinggir bumi
adakah yang lebih indah dari cinta?

ruang dan waktu baginya
hanyalah batas dimensi yang dicipta
dalam ilmu fisika dan matematika



SYAHADAT CINTA

saksi atasku namamu
saksi atasmu namaku

aku kau dalam satu wujud
tidak kenal lelaki atau perempuan
karena jiwa tak punya kemaluan
punya sayap seperti malaikat
bisa terbang ke langit tertinggi
mencapai keesaan cinta

atas namaku namamu
esa dalam seribu

Jakarta, 12 September 2008.

Sajak-Sajak Hasan Aspahani

http://kompas-cetak/
Surat-Elektronika untuk Shania Saphana

AKU ketikkan namaku lalu namamu,
sepasang ID dan kata sandi yang kita sepakati itu, dengan begitu
kupertahankan harapan bagi datangnya sebuah surat-elektronika.
“Aku pasti kabarkan apa saja dari sana, nanti, potret patung pujangga
yang kau sanjung, restoran bermenu unik, dan ya, tentu potretku juga,
dengan seragam putih panjang, dan kerudung pelindung dari debu gurun,
juga senyum yang kau bilang membuat wajahku seribu kali lebih cantik,
dan karena keindahan itu jadwal musim terik menjadi terbalik-balik!”

TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku kirimkan lagi pertanyaan yang sama,
ke alamat surat-elektronika yang kita sepakati itu,
semacam doa yang terlalu sederhana, “Kau tidak apa-apa, ya?”
Ah, betapa ingin aku ke sana, ke lapangan bulutangkis,
terakhir kita saling menepak buluangsa, ketika kau kram otot betis.
Kubatalkan sebuah smes. Kugendong engkau dengan keringat menetes.
“Kita pernah satu regu di Palang Merah Remaja dulu, kenapa ragu,
ini pelajaran pertama P3K. Jadi, kau tenang saja,” kataku sambil
mencari urat yang tegang di putih betismu, dan kau mengaduh
kulihat nafas penuh di dadamu pada kaos putih ditembus peluh.

TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Maka, bukankah sebaiknya aku terjemahkan lagi bait-bait Neruda itu?
Akulah lelaki yang menggilai mulutmu, suaramu, rambutmu.
Akulah yang diam didera derita, di jalanan aku berburu.
Akulah yang tak lagi berselera pada roti, sebab sejak fajar mengusikku,
lalu sepanjang hari itu, kuburu jejak acak langkahmu.
“Ah, soneta yang kesebelas, kau pencuri yang tak berbekas, tapi aku tak
akan pernah jadi Matilda Urrutia buatmu, walau kau telah jadi Nerudaku!”
“Pujangga bermuka buruk itu. Apakah di Isla Negra dia telah jadi hantu?”
“Dan kau kerasukan rohnya, setiap kali menyentuh tombol on laptopmu!”

DAN, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku pun beranjak ke dapur. Seperti ada yang menebar aroma ketumbar,
di udara pergantian hari yang hambar, semenjak kau tak mengirim kabar.
Susahkah kau dapatkan lele di sana? Aku tahu betapa kau sudah tergila-gila
pada putih-gurih daging ikan air tawar yang dulu katamu menjijikkan itu.
“Adakah ikan yang lebih buruk? Hitam, berlendir, amis dan berkepala remuk!”
“Hei, lidahmu pandai mengutuk. Tunggu sampai ia mengecap paduan sempurna bawang putih, kunyit, dan belacan, kemiri bakar, kemangi dan ketumbar.”
Tengah malam itu, iman lidahmu pun murtad. Tersebab lapar dan restoran itu
hanya menyisakan satu-satunya menu: dua porsi pecel lele, dan sambal ulek
yang kelebihan cabai. “Semoga aku tak muntah di restoran bermenu unik ini,”
katamu, dan kau tak muntah, kau menagih, dan selalu mengajakku singgah.

YA, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tidak ada apa-apa.
Kau mungkin semakin sibuk dan letih, Shania. “Perang itu masih akan lama?”
Aku hanya takut kau lupa betapa manis senyum lucu di matamu itu.
Aku hanya takut kau kalah pada musim asing, cuaca yang kering.
Kau tahu ada yang tak sempat aku jawab pada malam terakhir itu ketika
kau bertanya, “Kenapa kau pilih penyair berwajah buruk? Kenapa bukan
si lelaki paling keren se-Inggris Raya, si penyair-perang Rupert Brooke?”
Aku benci senjata, Shania. Perang hanya sibuk membunuh anak-anak muda.



Di Antara Sampiran dan Isi Pantun Tua

kalau ada sumur di ladang
boleh kita menumpang mandi
TAPI ladang-ladang mati, mengubur para petani
dalam sumur-sumur dangkal, meninggal isak sesal:
mataair berairmata lumpur, pasir dan batu koral.
“Itulah sumur yang kau gali dahulu, dari ladang
ke ladang,” kata bocah lelaki kurus yang tak henti
memandangi langitnya, menunggu layang-layang
yang mungkin bisa ia kejar, karena bambu
panjang telah lama patah, kail pun tak berumpan.

IA telah lama ingin mandi. Keringat kemarau
mengubah warna dan bau tubuhnya jadi asing.
Ia bayangkan para penebang datang dengan mesin
gergaji. Salah mengira tubuhnya, rebah batang tua
yang hendak dibelah jadi sembilan belah.
Tak terjawab bilakah pertama kali ladang yang pernah
subur ini berangsur kehilangan sumur-sumur, dan para
petani kalah lekas dengan umur, mati atau tersiksa uzur.
Pantun Tua, Pantun Tua, siapa bisa mengingatkan
isimu pada bocah lelaki itu? Setelah sampiran itu tak lagi
bisa kami lagukan bersama. Panen batal, hari tenggelam,
tak ada lagi padi yang bisa ditugal. Apalagi diketam.
kalau ada umur panjang
boleh kita berjumpa lagi?

Sajak-Sajak Sunlie Thomas Alexander

cetak.kompas.com
Belinyu

carilah pada dahiku yang kau lukai,
kerinduan para leluhur berbaju belacu
yang tak temukan jalan pulang
ke guci guci abu dan aroma gaharu
hingga bersilang bayangan, berbelit silsilah
pada batang batang pohon dan bebatu,
gubuk gubuk miring dan bagan di laut jemu
menjelma sebelah kaos kaki
usang dan bau
sebagai anak yatim yang terjebak
di palang pintu, aku mengadu
pada peruntungan mata dadu;
oh, kian berlumut batu batu!
kulihat mata arwah waktu
yang membara di tepi teluk kelabu,
sayu terbuai merdu dendang melayu
sampai berkali dilukai lagi
kenangan kanakku yang lugu
merah darah ibu kelewat pekat
menyusuri nadiku,
mengental di dahi (oh, di hati!)
serupa gelombang laut
yang mengantarkan sesajen basi
ke meja meja pemujaanmu
maka kaos kaki usang kukantong di saku
setelah sia sia lekatkan nama di guci abu
tapi kau terus mengintai warna mataku
dan menjarah doa keluh
di sepanjang ingatanku
hingga pada tiap ngungun kepulangan
mesti kubangun kerinduan yang tabu
di lengang jalanmu

Bangka-Yogyakarta, 2008



Elegi Kuli Tambang
liu ngie

aku tak sedang mencatat
warna ajalmu, karena
tak pernah tiba waktu ruwat
untuk mataku
yang terhujam mata pacul
di parit parit tambang
selokan selokan tergarit
seperti masa depan yang kau nujum
dan menjelma nasib buruk bagi pepohonan
ah, lihatlah tanganku yang tersayat
meraba cerita kelam pelayaran
dalam perih tubuhku, di mana jejak
darahmu yang mengering
jadi bentangan peta baru
tak hanya pasir timah
yang bocor dari pecah papan sakan
tapi juga doa dari hatimu yang rawan,
masih menetes di tiap pendulangan
hingga pohon pohon yang hilang
berganti tiang gantungan!
aku sedang tak melawat kematianmu…
walau dari biji matamu yang menyala
pada luka mataku, terus terkenang
gemuruh parit dan kabar pemberontakan
karena begitulah riwayatmu
yang diabaikan takdir;
tak pernah berhenti
mengayak pasir nasibku
di anyir penambangan yang
menjelma kampung halaman

Belinyu-Yogyakarta, 2008

Sajak-Sajak Anton Kurniawan

http://www.lampungpost.com/
Pertanyaan Kepada Kawan

Serupa sepoi aku datang padamu
menjinjing bening hujan yang pernah gigilkan tubuh kita
dan dengan cara paling santun
kuantar aroma kenanga dan harum melati
juga kenangan sekian ruas simpang yang telah kita lunaskan

Sajak-Sajak Ira Puspitaningsih

http://www.padangekspres.co.id/
Seputar Pemilu Afghanistan

Aku tak ingin pergi
malam ini
Langit masih gelap
Suara bocah-bocah di luar
Cuma ringis menahan tangis
dan ketakutan

Sedang di halaman tepi jalan
Bunga-bunga flamboyan
Muncul di antara dedaunan
yang mengering
sebelum waktunya kering
Layu pada sisa-sisa asap, yang
masih terasa basah di pipi

Tak ada cahaya
di kelopak liarnya
atau putik-putik yang kusut
Hanya ada hitam
Yang membuatnya makin usang

“Ibu, aku mau sebutir permen hijau,
sebutir saja.
Sekadar menghilangkan sakit,
di telinga.”

Sebutir saja, kata gadis kecilku
Tapi tak ada satu pun di saku bajuku

“Aku tak ingin pergi
malam ini.
Udara sangat panas di luar,
sayangku.”

Lalu gadisku terisak dalam dongeng
yang diceritakannya sendiri

Pintu perlahan kubuka
Tanpa derit, tanpa jerit
Menatap cuaca yang hampa
tiba-tiba
Jalanan aspal ini sedikit basah
oleh darah tentu saja
Seorang lelaki mungil yang malang

Segera kuraih dan kusentuh
tubuh keruh
Jasad lusuh tanpa nyawa

Siapa orang tuanya?
(Yang mungkin bernasib sama)
Di mana rumahnya?
Entahlah,
Cuma tanya,
yang tak terjawab

Di pintu, gadisku bertanya
“Adakah permen hijau untukku, ibu?”

Tapi tak ada permen hijau, sayang
Yang mengubah cuaca ini jadi tawa
Menyulap rumah dan gedung
kembali menjulang
Permen-permen itu cuma berjanji saja
Menghilangkan sakitmu sesaat
Lalu menyiksamu dalam mimpi

“Aku akan mencari permen merah,
untukmu.
Atau permen biru, kuning, coklat
atau apa saja.
Tentu yang bisa mengubah cuaca.”

Bunga flamboyan itu sudah layu,
sekarang
Gadisku pun tidur lelap
dalam rintih sakit



Surat Ibu

Ibuku menulis surat
entah, kepada siapa

Tapi kata-kata
tak pernah percaya
pada penanya
Ibuku berulang kali mencoret
sesekali mengeluh, sekali tercenung

Ibuku menulis surat,
Mungkin akan mengirimkannya
ke langit
Dimana angan masa kecilku
terbang malam hari,
kesana.



Rumput

Rumput di taman
selalu rindukan hujan
Dan kakiku,
hati-hati menyeberanginya

Kalau rumput bersayap
Ia akan terbang ke awan
Lalu langit menjadi padang hijau
dan hewan-hewan di bumi
akan tengadah

Hewan-hewan bosan dengan bumi
yang kering, panas, dan
tak punya lagi mata air

Rumput-rumput, mati.



Dongeng tentang Kota

bukan praha
kota seribu kristal cahaya
bukan venezia
kanal-kanal tua
dan gondola sederhana
atau paris
mozaik agung notre dame
yang selalu muncul di igaumu

dini sunyi tak mampu membuatku
mabuk dalam dongeng
bibir bekumu gemetar
tak mampu bercerita
tentang kota-kota

tubuh kita gersang
menghapus mimpi masing-masing

kau menyeka
lelehan es krim cone vanila
yang mencair di jari tanganku
dan kita tak sedang menujumkan
tanda dan waktu

lalu usir segenap kenangan
menjauh dari angan

kau tangkis pedihku
aku tepis sedihmu

Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono

cetak.kompas.com
 
Sonet 5
 
Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping
ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.
Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;

Sajak-Sajak Hang Kafrawi

http://www.riaupos.com/
pada subuh yang mengumpal

subuh mengumpal di hati
lubuklubuk sunyi aku daki
zikir bulan mengalir purnama
laut cahaya terbentang ke jiwa

wajahku telah menanti
aku sangsikan juga diri
mengaligali gelap hari
matahari melapuk mimpi

sujud yang kudedahkan darah
membangun kisah dari gelisah
sendiri aku ziarah rumah kalah
tak ingin aku menyerah

seperti air aku mengalir
ke cerukceruk nadir lahir
terus berlayar perahu zikir
tak juga sampai zahir

ini jiwa tak kan lelah
makam makam di dada merekah
sayapsayap jiwa menyerlah
terbang aku mengepal tanah

asal mula adalah aku
merajut segala waktu
dari rerumput berdebu
membujuk tasik nafsu

kini pada subuh yang mengumpal, aku bawa selaut rindu untuk menyerah padaMu. aku tak mampu menafsir gelap dengan kebutaan hati. pelayaran yang Kau bentang di gelombang insangku, menciptakan kehausan yang tak pernah reda. aku kekeringan di musim hujan, tanpa airMu. aku kegelapan di siang yang menyerang, tanpa cahayaMu. kini pada subuh yang mengumpal, aku menyerah kepadaMu. Allah aku tunduk.



canggung

Anakku mencium waktu di pipiku. Dengan riang, ia selimut luka yang berdarah di hatiku, karena pagi tak sempat kucicipi. Sentuhan tangan mungilnya, mengabarkan hidup tak perlu ditakutkan. Kedua mataku yang terpejam, terbang melantas dinding gelap; matahari semakin meninggi, membentang pandang, namun aku tak berani menyiang kisah. Ada api yang terpadam dalam kenangan semalam; adakah kejujuran mesti kita tuntaskan di taman kesepakatan yang telah diikrarkan? Tidak, aku tak ingin mengulang-ulang kesia-siaan. Di pudu hari yang menghantarkan harap, tak perlulah kita menarah kebenaran dan kesalahan, mengokah perih dan pedih, menetak suka tak suka, karena kita hanya pengembara sementara yang memahat detik jadi cinta.

Kita adalah kekalahan dari perjalanan yang kita buat sendiri. Sebenarnya, tak perlu membakar kecurigaan untuk menuai kebenaran. Pada setiap cemas ada benih kasih yang kita serongkan jadi benci. Kitalah yang menabal pedih di atas waktu; menyadap pahit di lumbung perih dan membiarkan hati terbakar benci.

Kau mengelap terik matahari di kening anakmu. Keringat dari perjalanan menemukan siang, berjatuhan di mata; menciptakan sungai yang menghanyutkan. Anakmu yang baru pandai mengeja cahaya, terkurung angin, diterjang ombak lalu berdendang tentang ladang yang gersang. Kau patahkan kepercayaan dari tubuhmu sendiri; berharap luka dapat mengiba dan meredam perang. Tidak, kau cuma akan memetik penyesalan dari kepasrahanmu. Jangan biarkan tujuan hangus ditelan kesedihan. Tatap masa akan datang seperti memandang anakmu yang sedang malantunkan nyanyian. Ya, kau akan mengerti pengorbanan sebagai taman untuk meyemai jiwa yang damai.

Dalam pelayaran ini, kau, aku adalah dua perahu yang satu. Memang hela yang kita lantunkan menganak arah karena angin mengikut musim. Kita rela saja perbedaan menyala; setiap tujuan ada diri kita yang sesungguhnya. Namun terkadang kita ungkal bertahan pada arus berharap gelombang tak menghempas dan berlabuh sebelum sampai ke pulau impian.

Memunggah harap, anak kita menyusun tawa dari serpihan sepi dan kita masih saja mencongkel siapa yang salah dan siapa yang benar.

Sajak-Sajak Jimmy Maruli Alfian

http://www2.kompas.com/
Rumah Seorang Perempuan

perempuan yang baru memotong rambutnya
ingin berumah dalam sajak-sajakku
katanya ia sudah tak betah
oleh rambut panjang
dan ruang tunggu pelabuhan yang membuatnya gerah
maka kubiarkan saja ia membawa televisi,
kipas angin
dan matahari sendiri
tak lupa
ia menyempatkan membeli bibit palma
dan sebuah bel
yang akan memanggilnya ke halaman setiap senja
tapi ia terkejut
betapa gelapnya ruangan dalam kalimat-kalimatku:
tak ada tiang listrik
ataupun pijar lampu taman plastik
namun lihatlah,
sebuah kata menyala dalam kamar
merupa cahaya yang menarik tubuhnya menjauhi hingar bingar

2003



Pemain Sirkus Menonton Sirkus

beberapa rajahan jatuh dari tubuh
luput dari paruh yang belum sempat mengaduh
sedangkan engkau terlanjur serius menjadi burung
meninggalkan anak-anakmu yang terlambat
berpegangan pada kepak
aku tahu, kau tak pernah menyangka
di antara rombongan karnaval
ada maut yang selalu tertawa memakai baju badut
terlebih-lebih hari ini,
persis Januari pertama
di mana hujan akan mabuk menjatuhkan liurnya
ayo, mainkanlah bola-bola api
sebagai lelaki kita tak boleh dingin oleh janji
dengan engrang,
sepeda satu roda
atau di atas punggung kuda
kita bakar saja kenangan (dan kemenyan?)
toh maut tak mau tahu kita seorang pangeran
kita akan bertarung dengan ajal
di sebuah musim bunga kamboja
tanpa wasit
dan teriak penonton yang terjepit
lalu kita susun rencana
menyaksikan matahari tenggelam dari dermaga
jangan lupa berdoa!
siapa tahu saja, besok pagi nama kita
dimuat di halaman pertama surat kabar ibukota

Jakarta/Lpg, 2002/2003

Sajak-Sajak Jun Noenggara

http://oase.kompas.com/
MATAHARI

Akhirnya kereta itupun pergi
Membawa matahari
Meninggalkan aku sendiri

Peson sepi. Stasiun sepi
Tiba-tiba kota ini menjadi kota mati
Para penghuninya menggali lubang dalam sekali
Menciptakan gap menganga jurang mengubur diri

Dan jalan-jalan lengang kulalui sendiri

Rumah sepi. Tak ada penghuni
Kemana engkau pergi?
Aku mencari-cari
Memecahkan sebuah misteri

Tengah malam kesepian semakin menjadi-jadi
Hujan turun sejak tadi
Kucoba membuat sebuah puisi
Tak pernah jadi

Ketika pagi-pagi aku pergi
Mencari matahari
Terasa cuma aku sendiri
Tak ada yang lain hadir di sini
Di hati

Begitu berhari-hari

Bila engkau kembali?
Betapa kuncup bunga mekar berseri
Betapa kicau burung riang bernyanyi
Dan betapa seharusnya engkau sadari
Bahwa kuncup bunga yang mekar berseri
Kicau burung yang riang bernyanyi
Adalah bisikan hati:
- Betapa sepi ketika engkau pergi
Aku rindu sekali
Rindu berbincang dari hati ke hati
Dari hari ke hari



burung-burung kecil

saat matahari terbit
burung-burung kecil berbondong-bondong
bercerucit: bernyanyi atau juga berkeluhan
berceritera tentang harapan dan pengalaman

tentang perubahan zaman
bekerja membanting tulang
banting setir memutar haluan
mencari kemuning padi
dalam permainan waktu berjudi

tempatnya berpijak
ranting-ranting
kering nasibnya bergantung di sana
di ladang-ladang sisa
sawah-sawah perubah menjadi pabrik!



SENDIRI

Resah bertebaran di ranjangku
Bantal di mataku
Guling di dadaku

Aku bagaikan pemburu
Mengejar-ngejar bayanganmu
yang kurindu

Melepas seribu peluru
Melesat ke langit biru

Angin bermain di dahan-dahan jambu
berloncatan
di halaman rumahku
Riuh di dalam jiwaku

Di luar langit mulai kelabu
Dan hujan datang menyergapku

Aku kehilangan jejakmu
Aku kedinginan dan beku



SAJAK TERAKHIR

Sebuah ruang
Tanpa pintu
Tanpa lampu
Tanpa kamu

Tujuh rupa kembang
Ditabur di luarnya
Didalamnya aku
Terbujur kaku

Sajak-Sajak Restoe Prawironegoro Ibrahim

http://www.suarakarya-online.com/
KEHIDUPAN PERANTAUAN

Detik-detik berlalu dengan kehampaan
kulangkahkan kaki dan perasaan tak tentu
apa yak akan kudapatkan?
apa yang akan aku lakukan?
dan apa yang aku dambakan dalam hidup ini?
tak seorang pun dapat menjawabnya,
juga diriku sendiri tak mengerti apa yang kucari,
keresahan dan kebahagiaan datang tanpa ujud,
singgah sejenak, kemudian berlalu tanpa kesan,
hanya detik-detik harap yang selalu bersemi,
dalam jiwa yang gersang dan resah ini,
tapi, ditengah segera nan gersang ini
kucoba ‘tuk mewujudkan segala angan,
yang selalu melekat dalam pikiran
segala doa dan usaha kulakukan,
demi tercapainya satu tujuan,
ditengah kehidupan perantauan.

Maret-2009



BELENGGU DIRI

Ombak beriak berkejar-kejar
tak juga usai selalu saja begitu
datang pergi
datang lalu pergi lagi
kucoba gapai riak gelombang
alunan deburan-deburan yang kudapat
keletihan pun belenggu diri
hilir gelombang hanyutkan sekerat tubuh
Dan hempaskan pada tebing karang
kuterkapar sesali diri

Maret-2009



RESAH

menuju ke kantin terasa ada kebebasan
kemleut semalam menghancurkan
kepala berat kelopak mata terpejam
badan meriang perut menjerit:
kopi, kopi!psikologi - jurnalistik -
grafika - media publisistik
sosiografi - sejarah -
ekonomi - perusahaan:
kopi, kopi!

Maret-2009



KORBAN KEBEBASAN

kutawarkan satu cerita,
tentang nostalgia hidup,
dan ilustrasi perjalanan masa silam
padamu

kesenandungkan kidung yang telah usang,
tentang indahnya suatu kebebasan,
kebebasan yang membawa kesesatan,
semua kata kutanamkan dalam tingkah,
untuk percaya dan tak percaya

padamukutumpahkan segala keresahan,
tentang sisa-sisa kemunafikan,
antara perjanjian dan pelanggaran,
lalu kutemukan satu perbedaan,
yang kau nilai sebagai korban kebebasan

padamu
kupasrahkan semua penilaian,
tentang kebaikan dan keburukan,
karena, hanya padamu
kutemukan mentariku yang hilang,
dalam duka dan kebahagiaan

Maret-2009



SECERAH SINAR KEMILAU

sekulum senyum merasuk
malam malam
dan secerah sinar
kemilau merangkul jiwa
matamukah? Menyejukkan

ketika kutatap rembulan
meruduk
sujud
ataukah pasrah diri?
ataukah kau rembulan itu

ketika rembulan kutatap
merayap sejuta duka
bahwa rembulan itu bukan kau!

Maret-2009



NADI

Jemuku kian menggebu
mengalir, menyusup di antara nadi-nadiku
rasa muakku
di atas kesombonganmu, kemunafikanmu
belenggu kelabu
dalam sanubariku
bercampur merahnya darahku semakin menyatu
mungkinkah aku salah menyelami hatimu? kini,
‘kan ‘ku coret-coret
‘kan ‘ku robek-robekberkas-berkas kertas buramku
dan kau boleh berbangga diri
kalahkanku dalam permainan realita ini
kemarahan, kebencianku menyatu
kekecewaan berbaur jadi satu
keangkaramurkaan berkobar dalam kalbu
masihkah kau mau mempermainkanku?

Maret-2009



KEDAMAIAN HATI

Hadirlah
Kutatap di kejauhan sana
dedaunan melambai-lambai girang
menyambut senyumku yang jujur
dalam hati bertepuk riang

hadirlah
sekuntum bunga kupegang erat
kau ulum senyum kerinduan
sinar matanya menatapku tajam
kuraih tangan lembut itu perlahan
kedamaian merembes perlahan ke tubuh
aku tersentak dan kuangkat wajah
kupandangi lilin-lilin kecil masih menyala
kurasakan air mata membasahi pipi
kuelus lagi kursi rodaku haru
kaulah teman hidupku, bisikku

Maret-2009

Sajak-Sajak Matroni el-Moezany

http://www.sastra-indonesia.com/
Sela-Sela Yang Tak Kuciptakan Sendiri

Kurasa dalam bahasa kubaca setiap cela
Yang mendengarku

Di kedalaman dalam luas waktuku
Tak tertera dengan sederhana
Oleh setetes suara malam di sisa usiaku

Sehabis makan malam
Dengan ikan ayam di dada
Mencela roti bangsa
Yang tak sabar meninggalkan susah-susah

Aku tak menemukan angka di matahari
Tapi di ruang jiwaku aku lihat samudera tak terbatas mengalir
Ke dalam darahku

Ikan, kata dan kegembiraan
Mengisi sela-sela
Yang tak kuciptakan sendiri

Partikel-partikel bahasa
Yang kulihat nyata, ternyata
Lari menemui ruang tulangku
Seperti aku yang sedang lapar membutuhkan semesta

Selembar perjalanan kutulis di ufuk malam

Semesta ini seperti kertas kosong
Tempat menanam kata
Bersayap beribu rasa
Beranting kelembutan
Berdaun kesejukan
Berbuah kebahagiaan

Jogja, 2009



Berkata Pada Titik (.)

Kuingin berkata
Pada titik di tengah titik yang paling terkecil
Entah dengan apa?

Lalu kutawarkan
Rasa
Untuk sedikit mendekati cakrawala

Kubertanya
Kenapa menangis
Tak ada duanya di dunia ini

Jogja, 2009



Sebatang Kata Terbuat Di Tengah Rasa

Terkadang aku ingin berlabu di pulau Kalianget
Menuju asta Yusuf menemui kata yang tertinggal semala setahun
Menjaga ciuman huruf menelan sepi malam

Pohon besar yang tegak di sampingmu
Seakan telah rapi antara aku dengan perjalanan
Sepasang musim tak tertera sebelumnya
kalau aku masih ingin menghafalmu lewat jejak kaki
dan huruf-huruf semesta

Pijakan awal dari sekian waktu
Kuraba dengan lesatan malam kesunyian
Dalam tiap tingkatan huruf kau temui dengan serpihan-serpihan

Kini jejakmu kuingat dalam setiap kata
Kuingat dalam setiap rasa
Mungkin kau ingin aku berkata bahwa
Puisiku lahir dari sana dan menjadi pengisi samudera
Para manusia-manusia raksasa

Di kedalaman lautmu, kini mulai terihat jelas
Bahwa karang masih ada di dasar lauatan
Dan inilah yang sering aku tak kuat melukai
Agar sedikit luka menjadi berdarah di lautmu

Yogyakarta, 25 Maret 2009



Berpuisi Setelah Kematian

Terkadang aku lelah setelah bermain di hutan kata-kata
Tergerai keringat rasa, menjelma dalam bayang-bayang semesta

Aku tak ingin mengigau kedua kali
Terlalu banyak kerinduan bersama angin
Menuai kafan dari bulan pada belum sempat aku sebut kupu-kupu

Di tembok air mata kutangisi, membaca
Waktu dan menit-menit, juga sebaris kata-kata
Yang melengkung, di sana ketemukan
Kami menemukan rasa yang dijarkan ibu padaku

Puisiku meradang, seperti pelangi melingkar
Sementara akar kami tak sampai
Menahan nonjolnya susu yang sederet kata-kata
Seperti air dalam jamban, di mana rasaku
Pernah hilang, aku telah membuang waktu

Karena semua telah basah, di depan pintu
Di wajah indah perempuan cantik-cantik
Mirip mimpi ratu, seperti gelang emas,
Dan di sanalah kami bersambung

Jogjakarta, 2009



Kata Hujan

Kata hujan bukanlah musik yang terdengar dalam tubuh
Ada yang melafalkan seperti suara sepi, dan dari yang bersembunyi
Di balik batang sangat rapi, barangkali engkau bukan batang kayu sesren
Di tepi tegal yang bertemu di rumah baying-bayang mata
Segalanya tersenyum dan kupu-kupu iri hati
Sedangkan perempuan itu engkau paksa
Memecah batu untuk pemandian hati

Kata hujan bukanlah musik yang terdengar
Dalam tubuh, turun menemui kerikil dan cela-cela
Air sungai, diamkanlah kata hujan jatuh di pagi
Seketika embun masih bekum maka akan engkau dengar
Sesuara lain melentunkan hujan

Dan di situlah kupu-kupu bersembunyi
Di balik pecahan batuan, sedang suara masih tak ada
Juga air belum tentu waktu datang bertamu

Yogyakarta, 2009

Sajak-Sajak Arina Habaidillah

http://artstreet.multiply.com/
Aku ingin pergi (I)

bila kau tau aku saat ini
terkubur dalam ruang sempit
yang takkan membuatmu sanggup melejit

dalam buaian gelombang-gelombang amanah
apa tak kau kira berat!
hatiku hanya terselimuti emosi-emosi kejam
yang tak ubahnya sebagai apai yang menyala-nyala

aku ingin pergi!

Dalam sekujur tubuh yang itu adalah waktu
aku terikat
dengan dunia yang semakin gelap
hanya ternganga dan mencoba memberontak:
“ah sial!!”

tak ada sura merdu yang mendayu-dayu
merasuki sebuh ruang tak bernyawa
siapapun bia mati karenanya
hanya putih dan hitam.

aku ingin pergi!

dan tak kembali
walau malaikat mengejarkupun
aku akan lari!

lama, waktu memburu bagai pedang yang
akan menghunusku
aku mati.
mati dalam diriku sendiri

dan berteriaklah:
aku tak puas!

270309



Aku ingin pergi (II)

segala tenaga tercurah
hanya untuk penantian tak berguna
untuk apa?
kau bertanya,
aku tak mau menjawabnya :
terserah!

“apa kau mengerti sekarang?”
aku sudah bosan bertanya
hanya dalam lamunan
karna aku tau,
kau takkan bisa menjawabnya

aku ingin pergi!
aku ingin pergi!

kau bilang :
“maaf..”
apa itu balasan atas nama penghianatan!
untuk apa!
sekali lagi,
aku sudah bosan
karna kau tak kunjung mengerti

semua tersaji dalam ember
berisi air bersih
tapi kau ludahi dengan sebuah
tipu daya penghabisan, dan hanya
“maaf”
apa itu cukup??

aku ingin pergi..
aku ingin pergi..

biarlah,
biarkan aku sendiri
menusuri jalan jalan sepi
menarik kembali benang merah
yang telah kumal di hati

ku coba mengerti
atas segala yang tak ku sadari
bahwa engkau tahu.

270309



Aku ingin pergi (III)

aku ingin pergi!
setelah semuanya telah hilang
tak tersisa
hanya tulisan

segalanya menyeretku dalam ombak kencang
membuatku mati dalam busabusa keruh
tiada tersisa
selain sebuah nama

kenistaan membuatku tak terperi
hanya sebuah suara yang masih ku sadari
dalam dasar laut tak benrama itu..

aku ingin pergi!!

ia datang dengan senyum kecut
Oh Shit!!
dia menyepelakanku dengan senyuman itu
apa aku kalah?!

lihatlah!
hei!!
lihatlah.
aku datang, bukan membawa sebuah kekalahan,
tapi kemenangan.

Sekarang kau bisa melihat bukan??
Bahwa
aku bukan pecundang
aku bukan penghianat
seperti semua orang bicarakan

aku ingin pergi

dan membawa semuanya lari
tentang sebuah memori pahit
yang tetap bersarang dalam otakku

tak hanya diam
kau biuskan semua itu dalam
otak setiap orang

apa itu keji??
kau melihat dengan mata kepalamu
sendiri bukan??
bahwa aku menang.
aku takkan pulang
kembali melihatmu dalam temaram lampu
yang mulai padam

berteriak:
“aku bukan pecundang!!”

Lamongan,270309



Aku ingin pergi (IV)

mencoba merangkai semuanya
menulis kembali masalah masalah dalam kata
ada kau, dia, dirinya, kamu, aku,
dan semuanya
terangkai gelap

dan,
teruangkap
dalam sebuah monolog kehidupan
kehidupan yang kekal
dalam barzakh
biar semuanya melihat

sebuah imbalan atas kepercayaan
adalah penghianatan
sebuah imbalan atas janji
adalah pengingkaran
sebuah imbalan atas kebaikan
adalah keburukan
benarkah??

apa kau percaya dengan kehidupanmu sekarang?!
mendongaklah kebawah,
lihatlah..
lihat!!
siapa dia..

mendongaklah ke atas
lihatlah..
lihat!!
siapa mereka!!
lalu sekarang,
percayakah??

O dunia
aku bosan dengan tipu daya
aku bosan dengan janji janji setia
aku bosan dengan ratapan pilu
tiada usaha.

aku ingin pergi
aku ingin pergi
aku ingin pergi
AKU INGIN PERGI!!!

270309

Sajak-Sajak Dian Hartati

http://www.lampungpost.com/
Sebab Kisah Telah Digariskan

jangan meratap
sebab kisah telah digariskan sang kuasa
tanah kenangan hanya menyimpan sejarah
lampau, adalah waktu di mana kau
berlarilari kecil
mengejar tukang es kuncang
duduk rapi di serambi
menonton randai puti amban
ingatkah, ketika tangismu melunjak
mata beningmu mengiringi langkah kukuh sang mamak
ia pergi tanpa bercerita
ia pergi tanpa memberi warta padamu
berbilang tahun
kau pun mengikuti kata hati
merantau, meninggalkan ibu yang seorang
mengalungkan rindu di leher jenjang
“upik, denai pergi ke seberang pulau
mencari jejak mamak
jaga bunda dan lepau di samping rumah”
pesanmu pada adik yang beranjak akil balig
jangan meratap
sebab kisah telah digariskan sang kuasa
alur hidup tengah dianyam runyam
kau, kini berjalan tak tentu arah
menggapai sesuatu yang tak tuntas
merutuki hidup yang tak jera
inikah negeri yang didatangi mamak
begitu ramai dan sesak
mengingatkan pada bapak yang tak pernah dijumpa
ya, tibatiba kau sadar
sejak kapan kepergian membawa kisah duka
sampai kini jenjang rumah tak pernah disapa bapak
melanjau
menjumbai
mengaitkan segala harapan yang tak kunjung datang
bertahanlah di rantau, hanya itu pesan ibu yang kau ingat
galado lancang menerjang pancang
berita itu kau baca di koran
rumahrumah tak bersisa
surausurau tak lagi bersuara
dan kau resah mengingat lepau di samping rumah
tak ada tangis yang terurai
ketika sebuah fakta kau dengar
maka lanjutkan hidup di rantau
dan kau melupakan kisah di punggung gunung
sarasah di hulu manikam
masa silam yang selalu kau rindukan
jangan meratap
sebab kisah telah digariskan sang kuasa
jalan lapang menyuguh di depan mata
kota telah menjadikan tubuhmu batu
perjumpaan dengan mamak tak lagi diharap
tak ada daya
sebab negeri orang bertabiat lain
tak serupa khayalanmu
hingga petaka di musim gasal
mengantarkan resah yang melipat
kampung di seberang pulau patah
goncangan itu menyisakan isak
matamu cermat di depan televisi
suarasuara itu kabarkan puluhan korban
suarasuara itu sampaikan gelisah tak karuan
ternyata indramu tak membatu
hatimu bergetar ketika kotak televisi mengajak pulang
ajakan yang memilukan
“oih, rang rantau, pulanglah, caliaklah,
kampung kito, alah rato jo tanah”

SudutBumi, 2007



Perempuan Pemetik Teh

iringiringan perempuan memecah pagi sunyi
langkah tanpa alas kaki mengawali keras kehidupan
di punggungpunggung mereka melekat kantungkantung
capingcaping menyembunyikan wajah mereka dalamdalam
di seterik matahari
tangantangan gemulai memetik pucukpucuk kerinduan
mengemasi semua daundaun teh muda
memenuhi tanggung jawab pemilik hari
semua usai di lelah senja
melepaskan capingcaping geriapkan harapan hari esok
meracik setiap lembarlembar kedukaan
memintal khas aroma pagi

SudutBumi, 2005



Himpunan Imaji

akhirnya langkahku terhenti di sebuah mal
gedung berlantai banyak yang mengakumulasikan bilangan imajiner
aku mulai menghitung banyaknya wajah dan mencari koordinatmu
satu minggu habis dihimpun waktu
aku dan kamu menaksir jarak dalam sebuah ruang
setidaknya segenggam rindu akan ditransformasikan
dan kupastikan titik singgung itu begitu indah
ingatkah kau pada peristiwa setahun lampau
ketika masingmasing dari kita bersikukuh menggenapkan janji
mengikat pertemuan, agar kita mampu melarutkan rindu
ingatkah kau?
sebab saat ini semua itu bernegasi
di mal yang sama, enam bulan yang lalu
kita sempat merumuskan sebuah deret angka
“aku ingin deret angka rahasia menjadi pin dalam kartu debitku”
dan kau hanya tertawa melihat aku mengurutkan angkaangka, deret fibonacci
lambang bilangan yang menyimbolkan hari jadi kita
satu jam berlalu
dan aku masih mencari koordinatmu
mengirangira kau akan muncul dari sudut mana
aku pun menjadi ragu akan kehadiranmu
sebab rindu yang berbunga di hatiku
hanya tersemai di ruang imaji

SudutBumi, Mei 2008



Belantara Praduga Tentang Dirimu
buat Wa Ode Wulan Ratna

diamdiam kau memeram senyum di sungging pagi
mengerjapkan mata karena resah menanti kekasih
merindui jelaga yang hadir dikecam belantara praduga
matamata itu mengajakmu berdamai dengan kantuk
ceracau di tengah suasana kalut mesinmesin ibukota
jalanan sunyi memasungkan dirimu dalam area tak bernama
tak ada yang tahu,
ketika kau jatuh luruh bersama angin musim hujan
melarungkan perjalanan dari kota ke kota
melukiskan kesedihan anakanak ayam tanpa induk
tak ada yang mengerti,
saat kau melampaui waktuwaktu maya
bersenggama dengan gelisah, rimbarimba pencakar langit
tanahtanah koyak di selepas pijakkan
tibatiba kau dicengkram hangat tubuh penaripenari jalanan
lindap pegunungan memamah masa
senandung mengawali cerita tentang nama
keratonkeraton dengan prasasti tak berarti
titimangsa tiada guna
semua membalut tubuhtubuh luka
likat, melekat, dalam sejarah tak tercatat
mencari awal dan akhir perjalanan bersama kekasih
tak ada sesiapa
hanya gulungan ombak menyeret sebuah praduga
di belantara doadoa penghantar bumi yang bertambah tua

SudutBumi, 2006



Ketika Kunangkunang Menyerbu Mataku

sebuah perjalanan mengantarkan aku pada lembah bisu lembah kunangkunang
pendar cahaya tercipta begitu saja ketika angin menawan tubuh dalam gigil
malam gasal selalu membawa aroma tubuhmu melindap di antara pohonan
lingkar tahun itu telah sesatkan sebuah jejak di batangbatang penuh kemilau
masih kuingat peristiwa kala itu ketika laju kendara melayang di batas langit
memecah arakan gemawan menyublimkan pandangan di wilayah tak berjarak
begitu lekat tatap matamu menghunjam bumi purba memecah kelu semesta
tiang penyangga hadir bertumbuhan di sela gerimis hantarkan aroma apel
kepak sayapsayap hadirkan gundah di puncak malam sirnakan giris yang kelam
setiap kelok jalan siratkan gelisah menghitung sisa usia genapkan sebuah rasa
begitu saja mata terpejam merasakan amuk cahaya letup di setiap singgahnya
jangan pandangi lembah itu lembah kunangkunang telah membunuh setiap raga
cuaca tak bersahabat semua lebam dimamah duka musim diam tak berubah
kilau itu terus saja memaku setiap ingatan di retina membinarkan sebuah duka
lari! hingga sinar itu lenyap di lengkung pagi dan sejarah melupa wajahmu

SudutBumi, 2006

Sajak-Sajak M. Aan Mansyur

http://www.lampungpost.com/
Bulldozer

/1/
kelas enam
pertama kali berkelahi
teman sebangku
mempermalukan
ia kuak rahasia saya:
takut bulldozer
keluar! pindah!
kepala sekolah
(yang tak pernah ramah)
marah-marah
di rumah
saya bertanya
kenapa saya takut bulldozer?
waktu saya belum cukup setahun
sawah keluarga diratakan bulldozer
(bulldozer warna kuning, kata ayah)
ada orang-orang kaya dari jakarta
suka sekali beli tanah murah
buat membuat rumah,
rumah-rumah mewah
bulldozer mau melindas ayah
yang tak mau dibayar murah
tapi akhirnya dia kalah
lalu mengalah
pasrah
terpaksa

/2/
di sekolah menengah
saya diminta ayah
masuk jurusan ilmu alam
biar bisa kuliah di fakultas teknik
biar bisa membuat bulldozer
yang lebih perkasa
yang lebih raksasa
ujian masuk universitas
saya gagal jadi mahasiswa teknik
dan terdampar di sastra indonesia
saya pernah bilang pada ayah
kata-kata lebih kuat dari bulldozer
(mengutip kalimat dosen puisi saya)
dia tertawa keras-keras
(dulu parang saya tak bisa apa-apa, katanya,
bagaimana kau bisa pakai kata-kata buat berperang?)
kemudian dia menangis
sambil mengelus-elus kepala saya

/3/
tahunan kuliah
saya pikir bisa bikin berani
menantang bulldozer
tapi di televisi saya lihat
banyak bulldozer:
besar dan sangat kasar
malah saya tambah gentar
saya tak masuk kuliah seminggu
waktu ada bulldozer menggali
selokan di depan kampus
saya putuskan seorang gadis manis
yang nyaris sebulan membuat saya jadi pengemis
setelah tahu ayahnya kepala bagian di trakindo
saya pura-pura pergi mendaki gunung
(membawa semua puisi-puisi saya)
saat pemukiman di dekat asrama digulung

/4/
setelah sarjana
(sarjana sastra indonesia
nilai rata-rata hasil main mata)
dan dikenal sebagai penyair
saya tetap takut bulldozer
di dalam puisi-puisi
saya takut menulis bulldozer
saya lebih nyaman menulis
pohon-pohon, senja dan gerimis
tapi tadi sesaat sebelum tiba jingga senja
(saat jendela diterpa gerimis)
di televisi, di gambar-gambar berita,
tanpa sengaja saya lihat tentara-tentara bersenjata
dengan bulldozer mencabut pohon-pohon zaitun
dan ibu-ibu yang merantai leher mereka di pohon-pohon itu
saya menangis,
menangis dengan jari-jari gemetar
(saya melawan rasa takut)
ingin sekali bisa menulis,
menulis puisi bulldozer

2009



Kepada Aku dan Beberapa Penyair Lain

puisi ini
tiba-tiba membenci aku.
betapa. entah kenapa.

1. hujan
puisi ini
juga benci beberapa penyair lain
yang meskipun sudah tua
masih senang bermain hujan
dan, huh, alangkah manja
seperti tidak pernah belajar
menabung di sekolah dasar
bahwa hujan atau kesedihan
(atau apapun nama lainnya)
tidak baik diboroskan saat hidup
bahwa sisihkanlah airmata sebagian
agar bisa membiayai kesepian di masa depan,
di dalam kuburan

2. senja
puisi ini
juga benci beberapa penyair lain lagi
yang meskipun matanya masih sehat
tak pernah bisa melihat
warna asli senja
selalu saja jingga
atau paling-paling merah dan kuning
(apa beda jingga dengan merah-kuning?)
padahal senja itu bening
seperti air mata anak-anak
yang bukan genangan sedih,
yang bukan sedih kenangan

2009



Seorang di Bawah Pohon Meminta Selembar Tissue

(sore di sepi taman
di bawah sebuah pohon)
ia menumpahkan airmata
karena seseorang yang meninggalkannya
dan seseorang lain yang mungkin akan meninggalkannya
apakah anda punya selembar tissue? ia bertanya
(aku bayangkan pohon di atasnya
runtuh dan jatuh di tubuhnya)
hanya dibutuhkan airmata
buat membersihkan airmata
tissue tak mencintai pohon, kataku
lalu kembali berlari-lari kecil menjaga kesehatan
karena besar mencintai diri dan istriku

2009



Surat Wasiat Singkat

di surat wasiat
kalimat singkat yang kau catat
telah tiba padaku sebagai kalimat cacat
sebagaimana semua kalimatmu yang aku ingat
meminta obat,
meminta dirawat
aku akan tetap mencintaimu,
dan kau tepat mencintaiku?
aku tahu kau ragu, sangat,
meletakkan tanda tanya di akhir kalimat

2009

Sajak-Sajak Susi Susanti

http://www.riaupos.com/
Nelayan dan Malam
:kampungku

…………
ketika malam serupa muram di wajahmu
maaf, aku hanya bisa melukis pelangi sebagai tanda tanya
akankah doa menemukan warna-Nya?
…………

perlahan subuh mengucapkan salam
pada nelayan, jaring, juga sampan kayu
yang bermuatan peluh, keluh, lenguh
impi yang rapuh

pelayaran bermula
walau ini bukan awal dari keheningan kampung yang diam
bertahun menjejak tapak di atas kabut

ya, anggap saja ini ketidaktahuanku
akan seorang pendongeng yang duduk menatap malam
menatap jati yang terbuang
gigil air matanya di atas sungai dan dayung-dayung rapuh
tapi sudahlah, mungkin kampungku kini tetap saja seperti selat mati di pinggiran pulau ini*)

hari ini luka masih menemaniku
bersama musim hujan yang enggan pergi
gemericik suaranya seperti ingin bercerita
tentang nelayan di ujung malam
mendayung kepedihannya sendiri
dalam air mata yang tak pernah usai
adakah derainya yang sampai ke telinga?

“dia hanya bisa menulis puisi dengan kalimat basi,” katamu
aku tertunduk malu
(maaf, di puisiku, mungkin juga ada cerita yang belum usai ku tulis tentang harapan yang patah )

barangkali di sini
di sejumlah catatan kerinduan kita
bisa kutemukan letak nisan kealpaan
yang telah lama kau semayamkan d ijantungmu
dengan garis dan tafsir tersembunyi

(setakat mengulang kembali doa kita
menghapal ingkar sebuah ikrar
untuk kuucap kembali padamu
dalam jarak yang tak tentu)

di bawah malam
ku pandang seorang nelayan
menjaring kenangan yang telah runyam

Maret 2009
*) Puisi Syaiful Bahri



Kisah yang Kian Resah
: kampungku

……….
temukanlah kata yang bisa membuat kumengerti tentang kalimat mimpi semalam
kampung terbakar masa kelam
………..

kini sajak kusemakin diam
takut menulismu dengan senandung kerinduan
tak sudi lagi mendengar mungkin, karena aku yakin engkau menangis *)
akankah penantian berujung pertemuan?
sisa rindu mungkin akan jadi jawaban

di ranah luka
kutinggalkan perih
untukmu
sunyi bertalu

waktu menggulung puisiku di penghujung musim
beribu kenangan rumpang
kususun kembali sebagai bahan diskusi
meski hari telah dipesan sepi
meski waktu tak memberi temu

setakat dongeng malam
berkisah tentang perjalanan impian
dengan segala rintangan
segala perjuangan
hikayat ini tak selesai kuceritakan

apa yang bisa kupersembahkan padamu ketika pulang nanti?

pengembaraanku hanya merangkum luka
entahlah, mungkin hanya dendang anak jalanan
aku orang pinggiran
tak layak mengalahkan hujan

Maret 2009
*) Puisi Sobirin Zaini

Sajak-Sajak Mujtahidin Billah

http://embun-tajali.blogspot.com/
MUWAJJAHA (Melihat Wajah Allah)

waktu aku baru duduk dalam pengajian,
diajarkan sang guru
bahawa Allah tak bisa dilihat dengan mata kepala,
dan sesungguhnya itu memang tak mungkin terjadi.
maka aku pun terbaca di dalam Qur’an,

Musa juga ingin melihat Allah
betapa pun Musa seorang Rasul
yang bisa berkata-kata langsung dengan Allah,
itu pun tak mungkin terjadi andai Musa ingin melihat Allah
dengan mata kepalanya sendiri,

Allah berfirman tataplah gunung Thursina itu,
jika gunung itu bisa menampung CahayaKu
maka kau dapat melihat WajahKu
namun gunung itu pun hancur lebur
tak bisa menahan CahayaNya.

namun ajaibnya sabda Nabi s.a.w.,
kalian bisa lihat Allah dalam syurga
justeru para sahabat tertanya-tanya,
bagaimana ya Rasulullah
kami bisa melihat Allah dalam syurga?
lantas kata Nabi, seperti kalian melihat bulan purnama
apakah menyakitkan pandangan matamu?
dijawab para sahabat, tidak wahai Rasulullah!

dan aku pun jadi bertanya,
heran, kita bisa lihat Allah dalam syurga?
mengapa di syurga?
benarkah Allah bisa dilihat di dalam syurga?
tapi bukankah Allah tidak bertempat
dan tidak memerlukan tempat
sepertimana yang diajarkan sang guru tauhid?
oh, barangkali syurga itu tempatnya paling terindah
bukankah Allah itu Maha Indah
dan Dia sukakan keindahan?

dikatakan Allah tidak bertempat
adalah dari aspek kefahaman ilmu sahaja
walau di dalam Qur’an
Dia sendiri menyatakan berada paling hampir
dari urat leher manusia,
syurga juga adalah sesuatu yang bertempat
tiada siapa dapat menafikan
Allah bisa dilihat di syurga
yang lebih luas dari seluruh alam maya ini

tapi syurga yang mana ya?
syurga ada 7 tingkatan
aku terus memburu jawaban dari kitab ke kitab
dari guru ke guru
akhirnya kutemui jawaban begini,
bahwa syurga yang dimaksudkan itu ialah Syurga Firdaus,
syurga yang tiada bidadari, pohon, sungai dan segala rupa benda
namun yang maksudnya melihat Allah,
bukan melihat ZatNya yang hakiki
tapi nur WajahNya
ZatNya berada di peringkat Ahadiat bernama Aku
di sisNya tiada suatu apa pun
tiada siapa yang dapat mengetahui tentang hakikatNya,

Aku adalah Kanzun Makhfiyyan (Perbendaharaan Yang Tersembunyi)
apabila Aku mahu dikenali, maka Aku menzahirkan WajahKu
yang namanya juga Nur Muhammad
dari DiriKu yang bersifat Ketuhanan
nah, WajahNya yang dikenali juga
sebagai Nur Muhammad
itulah yang akan kita saksikan di Syurga Firdaus,
bukan ZatNya!

Nur Muhammad adalah bayangan dari ZatNya,
sesungguhnya mata manusia
tidak bisa melihat matahari secara langsung,
melainkan melihat matahari di dalam bayangan air



TAMAN JIWA

sayap-sayap jiwa yang kukepak belumlah sampai kepada tujuan karena masih banyak perjalanan yang tersisa yang sia-sia dan harus aku rampungkan

meski engkau tahu bahwa tiada dapat perjalananku sampai akhir pencapaian bila tiada bimbingan tanganmu memapah kebutaan mataku ketulian telingaku dan ceracau bicaraku yang terus menerus menyebut namamu begitu pula keajaiban-keajaiban yang kau hamparkan dari segala perbendaharaan membuncahkan

nyanyian cinta hanya kepadamu dalam dadaku degub jantung memburu waktu yang terus berputar dan entah berakhir dimanakah hari yang kosong ini hari yang ganjil dalam kehidupanku ini

hari yang mengurangi usiaku ke puncak takdir demi mencarimu mencari segala kekuasaanmu mencari segala kuasa yang tak kupunyai selama ini dan engkau datang meminta kefanaan dari diriku atas namamu

kulepaskan tubuh kulepaskan jiwa yang kehilangan rasa dan perasaan kemudian aku disini meminta padamu dengan doa semoga engkau dapat menerima makrifat kebenaranmu makrifat kesejatian akan keesaanmu

bukan kemauanku sendiri yang ingin menanamkan bunga-bunga cinta di taman jiwa karena aku bukanlah apa-apa di hadapan engkau begitu pula di hadapan manusia seluruhnya



BERSANDAR PADA KEGEMILANGAN CAHAYA WAJAH-MU

Mengapa alunan musik-Mu berhenti ketika jalan setapak ini kulalui? Apakah terlalu banyak ringkih jiwaku dan keluh kesah mewarnai hari yang galau?

Sekiranya alunan itu dapat mengupas wajah hitamku, dan menampakkan kegelisahan di hadapan-Mu; akan kubiarkan pedang-Mu menusuk kalbuku biar mengucur darah dari segala duraku.

Namun Engkau tak mau kehilangan hati putihku, yang telah lama merindu damba keesaan-Mu Engkau hanya diam menatap keheningan wajahku; dan Engkaupun tetap setia menemaniku.

Begitulah kuceritakan pada buih dan ombak yang menghempas karang; ketakjuban yang tak kunjung pergi melintas pikiran dalam otakku.

Bersandarkan pada kegemilangan cahaya wajah-Mu; langit menangis pilu, namun dahaga bumi lenyap tersita waktu. Aku hanya mampu menyeka peluh yang menetes dari kening dan alisku. Ketika aku kehilangan kerja di muka bumi-Mu.

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae