Rabu, 27 Mei 2009

Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono

cetak.kompas.com
 
Sonet 5
 
Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping
ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.
Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;
kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup
poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.
Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?
Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam
yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin
yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.
Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.
Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu
ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.
 
 
 
Sonet 6
 
Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas
memohon diselamatkan dari haru biru
yang meragi dalam sumsummu; tak pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu
agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.
Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.
Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.
 
 
 
Sonet 7
 
Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana
siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?
Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela
dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan
membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris
tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu
setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.
Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?
Ada jarak yang harus diremas sampai kerut
dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru
kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala terhalau:
yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,
yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas
kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.
 
 
 
Sonet 8
 
Di sudut itu selalu ada yang seperti menunggu
kita. Mengapa ada yang selalu terasa hadir di sana?
Di situ konon kita dulu dilahirkan, kau tahu,
agar bisa melihat betapa luas batas antara nyata
dan maya. Dua dinding bertemu di sudut itu,
seperti yang sudah dijanjikan sejak purba
ketika sehabis peristiwa itu leluhur kita diburu-buru
dan sesat di rumah ini. Kau masih juga percaya
rupanya, tanpa menyiasati dinding-dinding itu?
Rumah baru terasa rumah kalau ada penyekat
antara sini dan Sana, membentuk sudut tempat kita bertemu
dan memandang lepas ruang luas, tanpa akhirat.
Mengapa terasa harus ada yang menunggu?
Agar tak mungkin ada yang bisa membebaskanmu.
 
 
 
Sonet 9
 
Kaubalik-balik buku itu selembar demi selembar
sore ini. Bukankah waktu itu masih pagi,
ketika kau mencatatnya? Aku pungut buku yang kaulempar
ke lantai, telungkup, tampak lusuh, sendiri.
Kenapa mesti ada sore hari? Pejamkan mata, bayangkan
beranda yang pernah membiarkan kita mengitari
pekarangan yang begitu luas, yang kemudian ternyata bukan
bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali.
Matahari masih hangat ketika aku mencatatnya
di buku yang sore ini telah menggodamu untuk mencari
gambar sebuah taman yang memancarkan aroma
secangkir teh hangat di pagi hari. Ya, bukankah masih pagi
ketika kau menggambarnya? Ya, mungkin karena waktu itu
masih pagi. Lekas, berikan buku itu kembali, padaku!
 
 
 
Sonet 10
 
Ada selembar kertas yang belum bertulisan.
Apakah kauharapkan aku ke mari seperti semula,
belum penuh dengan coretan?
Ada yang ingin menulis aksara demi aksara
dan tahu tak akan mencapai kalimat meski ada tanda seru
di ujungnya. Tidak semua memerlukan tulisan,
(Apakah aku kaubayangkan selembar kertas itu?)
meski sudah terlanjur tercatat sebelum sempat diucapkan.
Air menyeret catatan berkelok-kelok di sepanjang sungai
bila penghujan. Tetapi sama sekali tak terbaca
bahkan ketika sudah begitu rekah-rekah perangai
kemarau. Tinggal garis-garis yang carut-marut di dasarnya.
Kau mengharapkanku kembali seperti itu? Risaukah kita
ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata?
 
 
 
Sonet 11
 
Terima kasih, kartu pos bergambar yang kaukirim dari Yogya
sudah sampai kemarin. Tapi aku tak pernah mengirim apa pun,
kau tahu itu. Aku sedang kena macet, Jakarta seperti dulu juga
ketika suatu sore buru-buru kau kuantar ke stasiun.
Tapi aku tak sempat menulis apa pun akhir-akhir ini.
Aku suka membayangkan kau kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan
berhenti di warung bakso di seberang kampus yang sudah sepi.
Kau masih seperti dulu rupanya, menyayangiku? Bayangkan
kalau nanti kita ke sana lagi! Di kartu pos itu ada gambar jalan
berkelok, bermuara di sebuah taman tua tempat kita suka nyasar
melukiskan hutan, sawah, kebun buah, dan taman
yang ingin kita lewati: gelas yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar!
Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu,
residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu.
 
 
 
Sonet 12
 
Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,
tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat
aksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;
tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –
dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi
dihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat
harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –
tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat
pada sebuah tanda tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari
jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng
jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi
merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng?
Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?
Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?
 
 
 
Sonet 13
 
Titik-titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu;
ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas:
sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu.
Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas.
Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah
yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan
sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah
sejenak – jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan.
Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu
tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas.
Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada yang membasahi kerudungmu,
meluncur ke dua belah pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.
Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan
tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan?
 
***

http://sastra-indonesia.com/2009/03/sajak-sajak-sapardi-djoko-damono-2/

Tidak ada komentar:

Label

Sajak-Sajak Pertiwi Nurel Javissyarqi Fikri. MS Imamuddin SA Mardi Luhung Denny Mizhar Isbedy Stiawan ZS Raudal Tanjung Banua Sunlie Thomas Alexander Beni Setia Budhi Setyawan Dahta Gautama Dimas Arika Mihardja Dody Kristianto Esha Tegar Putra Heri Latief Imron Tohari Indrian Koto Inggit Putria Marga M. Aan Mansyur Oky Sanjaya W.S. Rendra Zawawi Se Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Agit Yogi Subandi Ahmad David Kholilurrahman Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Akhmad Muhaimin Azzet Alex R. Nainggolan Alfiyan Harfi Amien Wangsitalaja Anis Ceha Anton Kurniawan Benny Arnas Binhad Nurrohmat Dina Oktaviani Endang Supriadi Fajar Alayubi Fitri Yani Gampang Prawoto Heri Listianto Hudan Nur Indra Tjahyadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Jimmy Maruli Alfian Joko Pinurbo Kurniawan Yunianto Liza Wahyuninto Mashuri Matroni el-Moezany Mega Vristian Mujtahidin Billah Mutia Sukma Restoe Prawironegoro Ibrahim Rukmi Wisnu Wardani S Yoga Salman Rusydie Anwar Sapardi Djoko Damono Saut Situmorang Sihar Ramses Simatupang Sri Wintala Achmad Suryanto Sastroatmodjo Syaifuddin Gani Syifa Aulia TS Pinang Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Tjahjono Widijanto Usman Arrumy W Haryanto Y. Wibowo A. Mustofa Bisri A. Muttaqin Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah el Khalieqy Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Nurullah Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Alunk Estohank Alya Salaisha-Sinta Amir Hamzah Arif Junianto Ariffin Noor Hasby Arina Habaidillah Arsyad Indradi Arther Panther Olii Asa Jatmiko Asrina Novianti Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Baban Banita Badruddin Emce Bakdi Sumanto Bambang Kempling Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sujibto Budi Palopo Chavchay Syaifullah D. Zawawi Imron Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Dian Hardiana Dian Hartati Djoko Saryono Doel CP Allisah Dwi S. Wibowo Edi Purwanto Eimond Esya Emha Ainun Nadjib Enung Nur Laila Evi Idawati F Aziz Manna F. Moses Fahmi Faqih Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fatah Yasin Noor Firman Nugraha Firman Venayaksa Firman Wally Fitra Yanti Fitrah Anugrah Galih M. Rosyadi Gde Artawan Goenawan Mohamad Gus tf Sakai Hamdy Salad Hang Kafrawi Haris del Hakim Hasan Aspahani Hasnan Bachtiar Herasani Heri Kurniawan Heri Maja Kelana Herry Lamongan Husnul Khuluqi Idrus F Shihab Ira Puspitaningsih Irwan Syahputra Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jafar Fakhrurozi Johan Khoirul Zaman Juan Kromen Jun Noenggara Kafiyatun Hasya Kazzaini Ks Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Krisandi Dewi Kurniawan Junaedhie Laela Awalia Lailatul Kiptiyah Leon Agusta Leonowens SP M. Harya Ramdhoni M. Raudah Jambakm Mahmud Jauhari Ali Maman S Mahayana Marhalim Zaini Misbahus Surur Mochtar Pabottingi Mugya Syahreza Santosa Muhajir Arifin Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Yasir Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Nirwan Dewanto Nunung S. Sutrisno Nur Wahida Idris Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Oka Rusmini Pandapotan M.T. Siallagan Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Petrus Nandi Pranita Dewi Pringadi AS Pringgo HR Putri Sarinande Putu Fajar Arcana Raedu Basha Remmy Novaris D.M. Rey Baliate Ria Octaviansari Ridwan Rachid Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Robin Dos Santos Soares Rozi Kembara Sahaya Santayana Saiful Bakri Samsudin Adlawi Satmoko Budi Santoso Sindu Putra Sitok Srengenge Skylashtar Maryam Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sunaryono Basuki Ks Sungging Raga Susi Susanti Sutan Iwan Soekri Munaf Suyadi San Syukur A. Mirhan Tan Lioe Ie Tarpin A. Nasri Taufik Hidayat Taufik Ikram Jamil Teguh Ranusastra Asmara Thoib Soebhanto Tia Setiadi Timur Sinar Suprabana Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Toni Lesmana Tosa Poetra Triyanto Triwikromo Udo Z. Karzi Ulfatin Ch Umar Fauzi Ballah Wahyu Heriyadi Wahyu Prasetya Wayan Sunarta Widya Karima Wiji Thukul Wing Kardjo Y. Thendra BP Yopi Setia Umbara Yusuf Susilo Hartono Yuswan Taufiq Zeffry J Alkatiri Zehan Zareez Zen Hae