http://www2.kompas.com/
Kamar yang Terbuat dari Laut
Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di Tomia, Buton. Setiap malam, di antara suara batukku, demam yang tinggi, aku mendengar nafas laut. Laut yang tak punya listrik. Laut yang menyimpan masa kanak-kanakmu. Sebuah kamar yang dihuni orang-orang Bajau. Mereka, laut, kamar dan orang-orang Bajau itu, bercerita tentang …
Lidahku jatuh dekat ujung sepatuku. Laut memiliki sebuah kamar di atas bukit Kahiyanga. Ikan-ikan dan batu karang juga punya sebuah kamar di situ. Aku harus menggunakan lidahku sendiri untuk membukanya. Dan suara batuk, dan demam. Dan pulau yang bising oleh pengendara-pengendara ojek. Kamarmu itu, tempat bahasa melompat-lompat seperti ada api yang terus membakarnya.
Setiap malam, aku seperti mendengar nafas laut, ikan lumba-lumba yang sedang menidurkan anaknya … wa ina wandiu diu … malam tak pernah memukuli anak-anaknya di dasar laut. Malam tak pernah membuat dirimu terus menangis setelah bangun tidur. Lalu pulaumu itu, Tomia, mengambil batuk dan demamku dengan jari-jarinya yang terbuat dari tulang-tulang ikan, dengan jari-jarinya yang terbuat dari darah ikan. Laut tempat waktu melukis seluruh warna di permukaannya. Laut yang membuat kerudung ibumu seperti lempengan emas di senja hari. Sebuah hempasan waktu yang telah menelan seluruh leherku.
Kamar yang terbuat dari laut itu kemudian bercerita … kau telah menjadi seorang ibu, Ram, untuk masa kanak- kanakmu sendiri.
Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku
Aku mengetuk-ngetuk dengkulku, ada tanah yang berjatuhan. Dengar. Tanah itu seperti sebuah malam minggu yang mati. Seperti sungai yang berjalan di atas jembatan. Dengkul tidak seperti kota yang kau bangun di mulut knalpot. Bukan sebuah kebahagiaan yang berisik seperti kantong plastik, tempat orang membuang malam dengan bercakap-cakap, dan mencari sedikit pelukan dari kesepian yang biasa. Pelukan yang biasa. Keparat. Seperti piring yang pecah dan meninggalkan lubang hitam di dalamnya. Lalu aku bangkit, dengkulku sudah tak ada. Dengkulku telah pergi dari tubuhku. Tubuh tanpa dengkul itu pun aku buang. Aku buang dekat jendela. Aku terkejut. Aku berada di mana kini? Di luar jendela atau di luar jendela. Siapa yang telah dibuang? Aku yang telah membuang tubuhku ke luar jendela, atau jendela itu yang telah membuangku? Bagaimana aku menentukan arah tanpa bersama tubuhku? Lalu kucing berpesta di malam minggu. Membuat negara dari piring-piring pecah. Aku lihat piring pecah di malam minggu. Aku lihat malam minggu pecah di lubang hitam yang mulai berotot itu. Aku dengar dengkulku menyembunyikan semuanya. Tentang tanah yang berjatuhan di atas bantal tidurmu. Tentang korek api dalam tubuhmu.
Guru dan Murid Dilarang Masuk ke Dalam Sekolah yang Terbakar
Sebuah truk mengangkut bayangan, lebih banyak lagi bayangan dari sebuah jalan dari sebuah truk. Bayangan itu seperti mengenalmu dan berusaha mengenalmu, seperti ada tulisan yang tak bisa dihapus pada keningmu yang demam.
Manusia dilarang masuk dilarang berdiri di situ, dilarang memberi rantai di leher anjing dan memasang perangkap tikus. Dan kau mulai mengerti kenapa harus mengucapkan assalamualaikum untuk masuk ke negeri ini. Sebuah truk seperti anakmu masuk sebagai pegawai Bank Dunia, dan seorang tentara keningnya seperti stempel pada punggung sapi yang memasuki ruang jagal.
Aku tak percaya pada tanganku sendiri yang pagi ini telah membakar ratusan sekolah di kotaku sendiri, sekolah untuk anak-anakku sendiri. Aku tak percaya pada tanganku yang telah menyalakan api, aku tak percaya pada api yang telah membakar sekolah itu, aku tak percaya pada sekolah yang terbakar itu, aku tak percaya pada peristiwa yang telah membakar pikiranku, pergi dan tak mau melihatmu lagi yang penuh dengan kawat berduri di wajahmu. Aku tak percaya berita yang datang dari botol-botol kecap di warung soto dekat rumahmu.
Guru dan murid-murid dilarang masuk ke dalam sekolah yang terbakar. Membiarkan lidah sendiri menjadi ular di depan cermin. Aku tak percaya pada negeri di mana kata-kata telah dibakar. Tetapi guru dan murid-murid tetap memasuki sekolah yang terbakar itu sambil membawa segenggam tanah untuk menyelamatkan kapur tulis, dan tetap menulis bayangan sebuah kebebasan, punggung dan kakinya dan lehernya. Dan papan tulis dari punggung api. Dan api ingin melihat wajahmu, ingin melihat air mukamu, ingin melihat tatapan matamu.
Dan api ingin membuat sebuah kampung, seperti kampung yang telah melahirkanmu. Dan api menuliskan kembali semua kalimat-kalimat ini dalam rahim ibumu, sebelum anak-anak pergi ke jalan, melihat bayangan truk melintas pergi dan bekas air mata di telapak tangan.
Aku Baru Saja Mengepel Lantai
Aku baru saja mengepel lantai. Aku berjalan dengan ujung jari-jari kakiku, agar lantai yang baru dipel tidak kotor lagi oleh telapak kakiku. Di dalam kamar, aku lihat tubuhmu telah menjadi genangan air yang dasarnya tak bisa kulihat lagi. Bagaimana aku bisa memelukmu kalau tubuhmu telah menjadi air? Bagaimana aku bisa menciummu kalau keningmu telah menjadi air? Aku pikir aku harus menjadi ikan agar bisa berenang di dalamnya. Tapi aku bukan ikan. Ikan juga berpikir dirinya bukan diriku. Ikan tidak bisa mengepel lantai dan berjalan dengan ujung jari-jari kakinya. Aku juga berpikir aku tidak bisa dipancing seperti ikan lalu dijual di pasar lalu digoreng. Ikan juga berpikir tidak terbayang ada yang mengepel dan suara tangisan di dasar laut. Aku juga berpikir tidak mungkin ada kehidupan ikan di dalam pikiranku.
Aku bukan laut. Aku yakin aku bukan laut. Ikan juga tak akan pernah percaya bahwa akhir hidupnya ada dalam tubuhku. Tetapi aku tetap memelukmu. Lalu aku memelukmu. Dan aku memelukmu pagi itu. Lalu aku tenggelam. Dan aku tenggelam. Hati-hati, biarkan aku tenggelam. Biarkan aku menjadi air untuk memanggilmu.
Korek Api di Atas Bayanganmu
Ada masa kanak-kanak yang masih mengenalmu, datang di suatu sore, dan menuliskan sesuatu di atas bayang-bayangmu. Sebuah korek api bekas membersihkan gigi. Masa kanak-kanak itu menulismu, rasanya perih. Seperti belahan pada telur asin. Sore itu, aku masih memeluk lehermu: Sebuah kota di masa liburan sekolah. Anak-anak belajar memelihara orang tua, memandikannya, memberinya makan, dan menguburkannya bila mati aku menulisnya. Anak-anak belajar membeli beras dan minyak goreng, dan menjadi orang tua dengan bayangan yang terbuat dari korek api. Anak-anak melahirkan, aku menulisnya sore itu ketika ombak datang membasahi lehermu. Anak-anak dari bayangan korek api. Anak-anak sekolah, sekolah dari bayangan korek api. Anak-anak mencari kerja, lapangan pekerjaan dari bayangan korek api. Lehermu kemudian mengeras, seperti masa liburan sekolah yang telah berakhir. Seperti kemarahan korek api terhadap kotamu. Seperti perjalanan korek api kembali ke hutan, kembali ke batang-batang pinus, tempat api melahirkan ibumu. Tempat api melahirkan sebuah sore. Dan aku menulis bayanganmu dengan tangan-tangan api.
Sebutir Telur di Belakang Punggungku
Kau telah menjadi air ketika melihat semua kejadian yang berlangsung di belakang punggungmu. Kita menginap di sebuah hotel murah, dekat bandara. Hari ini kau berulang tahun. Aku bergegas membersihkan kamar. Kau sibuk membeli coklat, roti, jeruk dan minuman kaleng. Kau bilang kau sedang ngobrol dengan ayahmu tentang seorang perempuan yang matanya terbuat dari sebuah pantai. Tapi ayahmu bilang kau sedang tak di rumah.
Di kotamu aku seperti bisa melihat mataku sendiri dengan mataku. Hati-hati berjalan di situ. Ada kepiting yang sedang menggali lubang di dalam pasir. Pantai itu, seperti sepasang kelopak mata yang tak pernah terpejam. Karena orang terus berdatangan, karena pesta belum berakhir. Kepiting dalam lubang itu terus menggali, dan menemukan laut yang lain di punggungku. Menurutku bukan laut, itu sebutir telur. Sebutir telur tempat ibuku dikuburkan. Tapi kukira itu juga bukan sebutir telur, itu buah semangka yang tumbuh di lapangan bola. Aku tak pernah tahu, siapa saja yang telah membakar diriku dalam pesta itu.
Lalu aku buat sebuah bantal, sebuah bantal dari waktu-waktu yang berjatuhan untuk tidurmu. Pesta belum berakhir, hingga punggungku berwarna putih. Putih seperti musim dingin.
Bau Air Mata di Bantal Tidurmu
Pagi-pagi sekali hutan telah bangun dan berjalan ke kamar hotelmu. Hutan yang berjalan, bayangannya seperti jubah matahari. Disel telah mati. TV telah mati. Ada musang mengambil kepala ayam. Anak-anak babi berebut tetek ibunya. Aku menari, tubuhku terbuat dari oli dan obat tidur. Pagi-pagi sekali. Pagi-pagi sekali batang-batang pohon berjatuhan dari perutku. Gelondongan-gelondongan kayu, pagi-pagi sekali, gelondongan-gelondongan kayu mengapung di sungai Mahakam, diseret oleh ribuan kapal yang seperti menyeret tubuh ibumu pagi-pagi sekali. Ibu yang dilahirkan dari rahim Dayak Bahau. Namaku Lung Ding Lung Intan. Aku juga dipanggil Daleq Devung dan Joan Ping. Bapak dan hinangku adalah sepasang burung elang yang terbuat dari karung plastik. Malam ini aku sedang berhudoq, menari hingga perahu-perahu melaju di permukaan pagi. Pagi yang membuat pusaran- pusaran air di Tering Seberang.
Tarian yang mengajariku tentang sebuah goa di Matalibaq, tempat hutan membuat keluarga. Matahari terbuat dari butiran-butiran jagung, kata mereka. Dan malam baru datang, kalau batang-batang kayu besi telah mengucapkan mantra-mantranya. Burung-burung bangaulah yang telah membuat bulan, kata mereka, ketika permukaan sungai masih bisa membaca kesedihan-kesedihanmu. Lalu ibuku menari kenyah. Burung-burung berhinggapan di jari-jari tangannya.
Pagi-pagi sekali, ribuan bangkai hutan diseret di atas sungai Mahakam. Kau setubuhi juga anak-anak gadis kami dengan penismu yang terbuat dari gergaji. Kau curi hati anak-anak muda kami lewat perahu bermotor. Lalu bayangan hutan jatuh di atas permukaan sungai, seperti jatuhnya sebuah mahkota. Sejak itu ibuku tak pernah menari lagi.
Pagi-pagi sekali aku ambil kembali sungai Mahakam, seperti mengambil selimut tidur ibuku dan aku kembalikan ke dalam goa itu. Sejak itu, kau tak akan pernah lagi menemukan hutan di mana pun, kau tak akan melihat lagi sungai di mana pun. Tetapi burung-burung terus bernyanyi tentang hutan dan sungai agar ibuku kembali menari. Tarian yang membuat seluruh isi rumahmu bergerak seperti kaki-kaki hutan. Daun yang tiba-tiba tumbuh di seluruh dinding rumahmu. Bau air mata yang masih tercium dari bantal tidurmu.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar