http://sastra-indonesia.com/
Membacamu Menari
Membacamu menari, perbincangan yang hangat
menyoal tentang keadaan.
Hanya sebentar memandangmu tapi bukan lagi anugerah sebab aku telah berkhianat dengan mengintaimu lebih lama.
Aku seperti terperosok ke dalam lubang rahasiamu, membentur pokok tubuhmu yang goyah sementara angin saling memprotes menebas-nebas dahan lenganmu yang bergoyang.
Aku mengaduh bukan karna keluh tetapi terperanjat sejadi-jadinya akan kekuatan yang kau tampakkan.
Jika saja semua itu adalah seruan, maka semestinya protes angin akan kalah-pecah oleh kedahsyatanmu.
Membacamu menari, jemarimu semacam daun yang lembai menjinakkan gerah yang mulai basah.
Teduh.
Membacamu menari, maafkanlah aku menjadi pencuri rahasia tubuhmu yang kau tak sembunyikan karna bagimu memandang adalah kemerdekaan tanpa perlawanan.
Dan larik ini hanya selembar daun kering akasia.
Solo, TBS, Januari 2011
Seekor Keringat
Sekelompok keringat terbang hinggap dari tubuh ke tubuh membawa pesan perjalanan panjang peristiwa.
Ada yang menetes di leher ibu yang tengah berjuang melahirkan, di kening wanita yang berjualan sayur di kaki lima, di betis pengayuh becak di simpang empat alun-alun kota.
Ada pula yang menyekanya di kerut dahi saat menghitung rupiah di bawah meja, megusapnya di paha mulus seorang WTS di bawah lampu lima watt sambil pura-pura mendesah antara kasihan dan kesusahan.
Sekelompok yang lain lagi melompat dari ubun-ubun ke ubun-ubun para petani dan juru parkir di bawah matahari.
Dan seekor keringat yang baunya harum melompat dari telunjuk seorang selebritis waktu menudingku dari layar televisi.
Aku tersontak seperti mendapat keuntungan, terkejut seketika lalu sekujur tubuhku basah diserang ribuan keringat.
Wanginya menusuk lebih tajam daripada sangkur aparat.
Seekor keringat asing memaksa masuk ke dalam mataku lalu berubah menjadi air mata.
Branda, 17 Januari 2011
Kupu-kupu Merah
Kupu-kupu merah hinggap di pundak kiriku, ia menangis pelan
Pelan sekali hampir-hampir tak terdengar dimamah berisik-bising mesin parutan kelapa.
Ia tersedu-sedu sesenggukkan air matanya membasahi kemejaku yang baru saja kubeli di pasar senggol istimewah di lantai dua super market.
Ia mengadu sangatlah pelan terdengar merintih menahan luka.
Kukatakan padanya, kenapa kau tak memilih hinggap di bunga matahari atau kembang kamboja saja!?
Ia terdiam, menyeringai seakan tak pecaya dengan pertanyaan itu, sementara bahuku bertambah kuyup oleh tangisnya.
Jabarkan kepadaku tentang duka yang memahatmu!
Ia diam.
Hening, bising mesin parut melenyap seperti dipaksa berhenti.
Semuanya mematung
Tiba-tiba kaki besar berbulu lebat berwarna coklat menancap tepat di hadapanku, baunya tak sedap seperti bau keringat.
Aku mendongak menajamkan mata menantang pemilik kaki itu
Ternyata seekor laba-laba raksasa bermahkota bertuliskan SATPOL PP.
Kupu-kupu merah bersembunyi di balik rambutku. Sembunyilah bisikku!
Serangga ini hanya mahluk tak bertuan meski ia mengaku bertuhan dan mengabdi kepada kekuasaan.
Branda, Januari 2011
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 20 Maret 2011
Sajak-Sajak Gde Artawan
http://balipost.com/
MENCATAT KELUH IBU
siapa yang masih setia mencatat keluh ibu
di setiap gemerlap pesta ulang tahun
di tepian kesadaran
tentang perjumpaan tawa dan tangis
di penghujung ruang persalinan
tangantangan gemetar mencatat hari lahir
karena esok perhelatan musim akan digelar
dan riuh hidup akan memompakan berjutajuta jerit
karena pagelaran pentas agung akan digelar
di panggung samsara
dan kita akan menembangkan
serpihanserpihan irama karma
dengan tarian sebisanya.
perjalanan harus dilalui
seperti buat menyerahkan rasa,
mendung yang bergumpal menyerahkan gerimis
bagi tanah yang dikoyak kemarau,
dan kita menyerahkan kehendak bagi alir takdir
yang tergurat menjadi semacam tulisan
tak terbaca di dahi.
engkaukah dengan segala kasih menyuratnya
menjadi gairah sepanjang masa, seluas semesta,
sedalam kata.
Telah lama belukar dalam diri menepikan keinginan
mempertajam bakti dan kedalaman rasa
berserah luka pada masamasa
yang kaubentangkan
bagi keinginan melintas harihari derita.
Lalu apa gunanya merenung
jika kita tak bertabik pada ibu dan berikhitiar
membayar segala hutang
yang tak mungkin bisa lunas
terbayarkan padanya sebab nikmat air susunya
adalah samudra raya bagi kedalaman jiwa
yang berlayar dari pulau
ke pulau mencari kesejatian.
GIGIL PARA IBU MENJELANG PAGI
dalam riuh sedu pasar Anyar menjelang pagi
tak kutemukan gigil ombak pada para ibu
yang mengalir di pasar buah, gerobak sampah
remah rempah hiruk pikuk diri yang nestapa
selalu ada yang menawarkan secangkir kopi
dari gelas rasa
dari getar sukma
tapi mengapa tak ada yang menyongsong
para lelaki yang dikalahkan waktu
setelah melintang garis malam
menjelajah tawa ria
di sela deru musik hingar bingar
nafas para perempuan lain yang melekat
di bibir gelas berbuih bir dan birahi
perhelatan keperkasaan para lelaki
padahal pagelaran pagi
menyajikan apa saja
untuk setiap yang mencari
diri di antara riuh gelisah
di antara riuh semangat
untuk selalu bertahan
di lintasan garis kekalahan
sepanjang hari
IBU CAHAYA
di bilangan malam gelap penuh
ada yang datang menunggang kuda cahaya
menantang melintas jejak jejak yang selalu
luput dalam catatan
di ujung embun yang berjatuhan
dari rangkai mimpi
ada yang menunggu menebar jala
siapa tahu sebagian percikan cahaya
bisa ditangkap seadanya
memberi darah dan air susu
bagi raya yang gosong
perburuan
yang hanya tinggal kenangan kata
cinta hanya sepenggal keinginan bisu
tergagap melaju pacu dalam lintasan
ringkik dan derap yang paling lembut
Ibu, lindap bayangmukah itu?
DI LINTASAN BURUNG
Setiap kali kumasuki tegalan ini
kubayangkan sukmamu melintas
bersama sekawanan burung
melintasi garis titipan hidupmu
dari masa lalu, kekasihku
Kadang tersesat aku di sini
di lintasan berkabut
dengan gairah putik sekar
Dan ranum buah nestapa
Kulepaskan berjutajuta kupukupu mawar
biar lindap sejenak lelah nafas tualangku
sambil bertahan merapalkan kata mengucap
bagaimana kerinduan air mengalir bagi pijak
yang digumul kemarau
selalu saja kurindukan tangismu
Maka biarlah tanah pijak dahagaku
menulis manisnya ranum buah
dalam bayangan purnama
dan aku tetap bersikukuh
menegak sepuasnya
MENCATAT KELUH IBU
siapa yang masih setia mencatat keluh ibu
di setiap gemerlap pesta ulang tahun
di tepian kesadaran
tentang perjumpaan tawa dan tangis
di penghujung ruang persalinan
tangantangan gemetar mencatat hari lahir
karena esok perhelatan musim akan digelar
dan riuh hidup akan memompakan berjutajuta jerit
karena pagelaran pentas agung akan digelar
di panggung samsara
dan kita akan menembangkan
serpihanserpihan irama karma
dengan tarian sebisanya.
perjalanan harus dilalui
seperti buat menyerahkan rasa,
mendung yang bergumpal menyerahkan gerimis
bagi tanah yang dikoyak kemarau,
dan kita menyerahkan kehendak bagi alir takdir
yang tergurat menjadi semacam tulisan
tak terbaca di dahi.
engkaukah dengan segala kasih menyuratnya
menjadi gairah sepanjang masa, seluas semesta,
sedalam kata.
Telah lama belukar dalam diri menepikan keinginan
mempertajam bakti dan kedalaman rasa
berserah luka pada masamasa
yang kaubentangkan
bagi keinginan melintas harihari derita.
Lalu apa gunanya merenung
jika kita tak bertabik pada ibu dan berikhitiar
membayar segala hutang
yang tak mungkin bisa lunas
terbayarkan padanya sebab nikmat air susunya
adalah samudra raya bagi kedalaman jiwa
yang berlayar dari pulau
ke pulau mencari kesejatian.
GIGIL PARA IBU MENJELANG PAGI
dalam riuh sedu pasar Anyar menjelang pagi
tak kutemukan gigil ombak pada para ibu
yang mengalir di pasar buah, gerobak sampah
remah rempah hiruk pikuk diri yang nestapa
selalu ada yang menawarkan secangkir kopi
dari gelas rasa
dari getar sukma
tapi mengapa tak ada yang menyongsong
para lelaki yang dikalahkan waktu
setelah melintang garis malam
menjelajah tawa ria
di sela deru musik hingar bingar
nafas para perempuan lain yang melekat
di bibir gelas berbuih bir dan birahi
perhelatan keperkasaan para lelaki
padahal pagelaran pagi
menyajikan apa saja
untuk setiap yang mencari
diri di antara riuh gelisah
di antara riuh semangat
untuk selalu bertahan
di lintasan garis kekalahan
sepanjang hari
IBU CAHAYA
di bilangan malam gelap penuh
ada yang datang menunggang kuda cahaya
menantang melintas jejak jejak yang selalu
luput dalam catatan
di ujung embun yang berjatuhan
dari rangkai mimpi
ada yang menunggu menebar jala
siapa tahu sebagian percikan cahaya
bisa ditangkap seadanya
memberi darah dan air susu
bagi raya yang gosong
perburuan
yang hanya tinggal kenangan kata
cinta hanya sepenggal keinginan bisu
tergagap melaju pacu dalam lintasan
ringkik dan derap yang paling lembut
Ibu, lindap bayangmukah itu?
DI LINTASAN BURUNG
Setiap kali kumasuki tegalan ini
kubayangkan sukmamu melintas
bersama sekawanan burung
melintasi garis titipan hidupmu
dari masa lalu, kekasihku
Kadang tersesat aku di sini
di lintasan berkabut
dengan gairah putik sekar
Dan ranum buah nestapa
Kulepaskan berjutajuta kupukupu mawar
biar lindap sejenak lelah nafas tualangku
sambil bertahan merapalkan kata mengucap
bagaimana kerinduan air mengalir bagi pijak
yang digumul kemarau
selalu saja kurindukan tangismu
Maka biarlah tanah pijak dahagaku
menulis manisnya ranum buah
dalam bayangan purnama
dan aku tetap bersikukuh
menegak sepuasnya
Sajak-Sajak Kafiyatun Hasya
http://balipost.com/
HERA
1. Mata kerling itu menelisik hatiku
Membuat ceruk ceruk sebuah nama sunyi
Dibawa remang bulan kembali kueja nama
Angin malam turut memuja
2. Hera, sementara namamu masih berkidung
Meski tak sungguh sungguh jelas
Tapi sampai pada hari ini hanya hujan
Yang mengabarkanmu. Bila penyair
Mengirimimu kisah serdadu. Tentang lelaki
Yang bersenjata itu, maka dekaplah segala
Yang kau miliki
3. Batu mengekalkan tetesan air matamu
Beberapa ayat kerinduan mengelilingi lehermu
Dan kau Hera, tak ada yang merinduimu
Hingga berdarah darah selain
Aku: serdadu dihatimu
Melabuhkan Potongan Waktu
Aku pijak kulitmu, perempuanku. Melabuhkan potongan waktu di tubuhmu. Dua pekan aku mengagumi senyummu. Lelakikah aku, menyesal telah melirikmu tiga kali?
Mana darahmu? Biar ku tato dengan namaku. Biar kujahit dadamu, yang sobek karena terhunus rinduku. Tak ada lelaki yang mampu menidurkan matamu. Selalu berkobar.
Perempuan Dalam Cangkir
Begini menjadi perempuan: Tangan penuh akar serabut. Sekali rengkuh, beberapa jiwa mukim. Kengerian pada secangkir kenangan. Tegukan asin, pahit, jauh dari manis. Secangkir menelanjangi ingatan. Hujan yang menghunus kepala hingga isi perut.
Seorang bertandang padanya:”perempuan dilarang menjadi penyair. Selama masih menyembunyikan kekasih gelap dalam sajaknya.”
bisik lelaki senja
Dia menjadi perempuan dalam secangkir kenangan. Sedikit air hangat dan asinnya mata
Kepada Dulla
Dia menangkap angin menyilet tubuh. Mengalir aroma tubuh lelaki bercampur perempuan.
Cairan itu mengalir di paha, betis, kaki jenjang perempuan. Detak jam memburu nafas, menghijau digemerisik jendela kamar. ”jangan takut, perempuanku”
Sobekan cinta kau selipkan dikuping. Semacam orang Bali menghidupkan tubuh. Dupa dan kemenyan jadi suguhan. ”aku sudah menjadi lelaki, perempuanku”
Dimana bulan bersemedi? perempuan telah mencuri bulan. Dia simpan ditubuhnya.
”aku curi bulan, ketika lelakiku telah kalah. Akan meretas bulan yang berwarna dari rahimku”
Aku Bulan Kecilku
Kau padatkan malam. Keringkan keringat kasih sayang, gugurkan bunga pohon duri. Kau dimalamkan tangisku: bulan kecilmu.
Jika potongan waktu membelah dunia. Kau kancingi bajumu serapi mungkin. Menenteng harapan bertahun tahun kedepan. Mengikat tali sepatumu.
”Nak, kau itu Bulan kecilku. Ayah tahu kau suka kue serabi. Tapi musimkah kue itu ketika angka usiaku memudar?”
Milik Beberapa Lelaki
ini semacam melipat waktu. Meniduri busa di bak mandi. Mencuci daki hati.
Cukup penting!
Semalam beberapa kali lelaki menidurinya dengan bermacam kembang. Ada yang berambut ikal, berkacamata, filsuf, pembalap, asisten dosen, wartawan juga milyoner dikampungnya sendiri.
Semacam beginilah: perempuan suka melipat waktu. Melipat kenangan seperti baju tidak penting.
: O, kekasih. Yang mana darahmu? Aku telah menetaskan anakmu semalam. Pun aku mengandung masa depanmu.
Goris
Maghrib jatuh dikaki. Senja menggempuri tubuh. Dadong Nilam mengemas dagangannya. Daun pisang lima ikat. Daun singkong tiga ikat. Daun sirih tujuh ikat. Buah pinang enam biji.
Senja ranta dipikul Dadong Nilam dalam keranjang dagangannya. Hatinya bergumam
:daganganku sudah laku semua. Yang aku bawa pulang adalah bayangannya.
HERA
1. Mata kerling itu menelisik hatiku
Membuat ceruk ceruk sebuah nama sunyi
Dibawa remang bulan kembali kueja nama
Angin malam turut memuja
2. Hera, sementara namamu masih berkidung
Meski tak sungguh sungguh jelas
Tapi sampai pada hari ini hanya hujan
Yang mengabarkanmu. Bila penyair
Mengirimimu kisah serdadu. Tentang lelaki
Yang bersenjata itu, maka dekaplah segala
Yang kau miliki
3. Batu mengekalkan tetesan air matamu
Beberapa ayat kerinduan mengelilingi lehermu
Dan kau Hera, tak ada yang merinduimu
Hingga berdarah darah selain
Aku: serdadu dihatimu
Melabuhkan Potongan Waktu
Aku pijak kulitmu, perempuanku. Melabuhkan potongan waktu di tubuhmu. Dua pekan aku mengagumi senyummu. Lelakikah aku, menyesal telah melirikmu tiga kali?
Mana darahmu? Biar ku tato dengan namaku. Biar kujahit dadamu, yang sobek karena terhunus rinduku. Tak ada lelaki yang mampu menidurkan matamu. Selalu berkobar.
Perempuan Dalam Cangkir
Begini menjadi perempuan: Tangan penuh akar serabut. Sekali rengkuh, beberapa jiwa mukim. Kengerian pada secangkir kenangan. Tegukan asin, pahit, jauh dari manis. Secangkir menelanjangi ingatan. Hujan yang menghunus kepala hingga isi perut.
Seorang bertandang padanya:”perempuan dilarang menjadi penyair. Selama masih menyembunyikan kekasih gelap dalam sajaknya.”
bisik lelaki senja
Dia menjadi perempuan dalam secangkir kenangan. Sedikit air hangat dan asinnya mata
Kepada Dulla
Dia menangkap angin menyilet tubuh. Mengalir aroma tubuh lelaki bercampur perempuan.
Cairan itu mengalir di paha, betis, kaki jenjang perempuan. Detak jam memburu nafas, menghijau digemerisik jendela kamar. ”jangan takut, perempuanku”
Sobekan cinta kau selipkan dikuping. Semacam orang Bali menghidupkan tubuh. Dupa dan kemenyan jadi suguhan. ”aku sudah menjadi lelaki, perempuanku”
Dimana bulan bersemedi? perempuan telah mencuri bulan. Dia simpan ditubuhnya.
”aku curi bulan, ketika lelakiku telah kalah. Akan meretas bulan yang berwarna dari rahimku”
Aku Bulan Kecilku
Kau padatkan malam. Keringkan keringat kasih sayang, gugurkan bunga pohon duri. Kau dimalamkan tangisku: bulan kecilmu.
Jika potongan waktu membelah dunia. Kau kancingi bajumu serapi mungkin. Menenteng harapan bertahun tahun kedepan. Mengikat tali sepatumu.
”Nak, kau itu Bulan kecilku. Ayah tahu kau suka kue serabi. Tapi musimkah kue itu ketika angka usiaku memudar?”
Milik Beberapa Lelaki
ini semacam melipat waktu. Meniduri busa di bak mandi. Mencuci daki hati.
Cukup penting!
Semalam beberapa kali lelaki menidurinya dengan bermacam kembang. Ada yang berambut ikal, berkacamata, filsuf, pembalap, asisten dosen, wartawan juga milyoner dikampungnya sendiri.
Semacam beginilah: perempuan suka melipat waktu. Melipat kenangan seperti baju tidak penting.
: O, kekasih. Yang mana darahmu? Aku telah menetaskan anakmu semalam. Pun aku mengandung masa depanmu.
Goris
Maghrib jatuh dikaki. Senja menggempuri tubuh. Dadong Nilam mengemas dagangannya. Daun pisang lima ikat. Daun singkong tiga ikat. Daun sirih tujuh ikat. Buah pinang enam biji.
Senja ranta dipikul Dadong Nilam dalam keranjang dagangannya. Hatinya bergumam
:daganganku sudah laku semua. Yang aku bawa pulang adalah bayangannya.
Sajak-Sajak Nur Wahida Idris
http://www.korantempo.com/
Rumah
kelak bila aku rindu rumah
kelak bila aku rindu rumah mungkin hanya bisa kucium segenggam tanah dari benih pohon pacar yang dikirim ayah
apalah artinya ari-ariku yang ditanam di pekarangan bahkan air mata ibu yang meresap di lantai tanah apalagi urat darahku tak berhak memintal ikatan batin
setelah lepas tali pusar masa remaja gambar inai di tangan pun memudar lepas pula tali cambuk masa kanak yang terikat di tiang rumah kini siap melukai apa saja yang kuanggap jadi masa depan
bila aku rindu rumah harus siap selembar KTP di pelabuhan bahkan kini harus kusiapkan berlembar-lembar sejarahku untuk dilego dan dimusnahkan
tapi ayah tak kalah cerdik ia kirimkan segenggam tanah benih pohon pacar untuk bekal ingatan agar kutulis sejarah baru di tanganku sendiri! bila nanti rindu dan ingatan hanya segores pena yang habis tinta tak ada yang perlu kuakhiri keculi puisi yang meninggalkan
yogya, maret 2005
Menyingkir : pelukis abu bakar
di tepi jurang bekas jalan lahar kukenang dirimu yang berparas malam anak-anak rambutmu bagai bintang melesat menemu sajak-sajak yang tak pernah bisa kubacakan
rimbunan pucuk bambu mengipas-ngipas kenangan dan usiaku yang lama terkurung dalam ruas bambu setiap saat berjuang melubangi buku-buku untuk sampai pada parasmu dan napas hijau yang selamanya berhembus mengajakku melupakan labuhan dan muara dangkal!
jalan berbatu ke arahmu kujadikan jalan merebut malam jadi milikku, tapi tak kelam
dulu aku ingin ke suatu tempat, di mana senja membuat orang jadi dungu dan mereka kabarkan, bulan pun bisa dijangkau tapi malam selamanya kelam di situ dan adat lebih merdeka dari diriku
di sini, kuhijaukan air yang mengalir dari keningmu hingga waktu lupa melepas kulitnya dan setiap usia bertambah, jalanan memanjang meneruka asal waktuku yang berumah belukar dan duri-duri
yogya, maret 2005
Keinginan
aku biarkan diriku menemuimu petang ini kubiarkan musuh-musuh dalam diriku menggiring kuda-kudanya ke padang rumput berwarna merah –cahaya mataku yang merana, dan udara bergetar di atas rumputan
kau mungkin mengenang lambaian tangan dan pesan-pesan agar berkabar setelah sampai tujuan, lalu aku mengenang kelam jalan-jalan
adakah kau siap-siaga mengintai debar jiwaku yang kehilangan? dan selalu berhasrat menghukumku? kau menemuiku bagai cahaya yang melesat seketika alam di sekitarku padam aku telah kehilangan waktu untuk abai padamu
miri-sawit, juni 2005
Rumah
kelak bila aku rindu rumah
kelak bila aku rindu rumah mungkin hanya bisa kucium segenggam tanah dari benih pohon pacar yang dikirim ayah
apalah artinya ari-ariku yang ditanam di pekarangan bahkan air mata ibu yang meresap di lantai tanah apalagi urat darahku tak berhak memintal ikatan batin
setelah lepas tali pusar masa remaja gambar inai di tangan pun memudar lepas pula tali cambuk masa kanak yang terikat di tiang rumah kini siap melukai apa saja yang kuanggap jadi masa depan
bila aku rindu rumah harus siap selembar KTP di pelabuhan bahkan kini harus kusiapkan berlembar-lembar sejarahku untuk dilego dan dimusnahkan
tapi ayah tak kalah cerdik ia kirimkan segenggam tanah benih pohon pacar untuk bekal ingatan agar kutulis sejarah baru di tanganku sendiri! bila nanti rindu dan ingatan hanya segores pena yang habis tinta tak ada yang perlu kuakhiri keculi puisi yang meninggalkan
yogya, maret 2005
Menyingkir : pelukis abu bakar
di tepi jurang bekas jalan lahar kukenang dirimu yang berparas malam anak-anak rambutmu bagai bintang melesat menemu sajak-sajak yang tak pernah bisa kubacakan
rimbunan pucuk bambu mengipas-ngipas kenangan dan usiaku yang lama terkurung dalam ruas bambu setiap saat berjuang melubangi buku-buku untuk sampai pada parasmu dan napas hijau yang selamanya berhembus mengajakku melupakan labuhan dan muara dangkal!
jalan berbatu ke arahmu kujadikan jalan merebut malam jadi milikku, tapi tak kelam
dulu aku ingin ke suatu tempat, di mana senja membuat orang jadi dungu dan mereka kabarkan, bulan pun bisa dijangkau tapi malam selamanya kelam di situ dan adat lebih merdeka dari diriku
di sini, kuhijaukan air yang mengalir dari keningmu hingga waktu lupa melepas kulitnya dan setiap usia bertambah, jalanan memanjang meneruka asal waktuku yang berumah belukar dan duri-duri
yogya, maret 2005
Keinginan
aku biarkan diriku menemuimu petang ini kubiarkan musuh-musuh dalam diriku menggiring kuda-kudanya ke padang rumput berwarna merah –cahaya mataku yang merana, dan udara bergetar di atas rumputan
kau mungkin mengenang lambaian tangan dan pesan-pesan agar berkabar setelah sampai tujuan, lalu aku mengenang kelam jalan-jalan
adakah kau siap-siaga mengintai debar jiwaku yang kehilangan? dan selalu berhasrat menghukumku? kau menemuiku bagai cahaya yang melesat seketika alam di sekitarku padam aku telah kehilangan waktu untuk abai padamu
miri-sawit, juni 2005
Sajak-Sajak Firman Nugraha
http://lampungpost.com/
Syal Kesaksian
-pani
Mungkin syal ini paling lirih dengan bisunya
mendapatimu duduk bersama senja. Aku cemburu
Tapi gerimis masih saja berbaris menguncupkan bunga
Padahal ia tak pernah berjanji pada bumi yang ingin basah
juga nurani yang hendak menorehkan sejarah
Fajar memerah, namun syalku tak lantas marah
Diredamnya deru darahku. Dihempasnya harum namamu
Kuterduduk membaca hujan, meminang alam, menggemakan bisu
tentang langit yang selalu mengaku beratap satu
Padangbatu, 2008
Kiblat Pertemuan
-pani
Hujan ikhlaskan perjalanan awan
menapaki jejak dengan basahnya
Bulir air menjelma jadi airmata
membuka genangan luka
Matahari pun gigir ke alenia tenggara
mengingkari janji, menghitamkan tatapan
di antara gerak cuaca. Seperti kau:
Perempuan kuyup menembus kegelisahan
demi kegelisahan yang ruyup
sambil menanggalkan percakapan
di kiblat pertemuan. Seperti aku:
Yang tak mengerti tanda lahir di tubuhku
juga garis tanganmu yang tak pernah bersatu
menerjemahkan setiap kecupan
Sedang musim telah sempurna
menghantarkan kembali riwayat mata angin
bersama sunyi dan keraguan
Padangbatu, 2008
Peta Kesunyian
-pani
Sudah lama kiranya aku memandang hati sendiri
Disergap berkali-kali oleh rasa cemas
ketika langkah demi langkah menepi dari arah barat
mengembangkan wajah tak tegas
Maka seperti ditusuk-tusuk rindu
aku pun lari membawa resah
menabur gelisah. Menghindari matahari
yang hendak memanggang pandangku
dan melipatnya dalam peta kesunyian
Musim pun berubah. Kecuali musim di dadaku
yang selalu gugur dan kembali kubur
sedang tatapan itu belum kuterjemahkan:
Tentang keningmu yang basah dan tangan tengadah
yang kusebut sebagai nurani
Sehingga musim mengerti bahwa ia tak harus diam
oleh hati yang menyergah pergi
Maka, haruskah kubuang tanya
hingga airmata hanya berita menjelma doa?
Padangbatu, 2008
Selimut Waktu
-pani
Selain malam yang membentang
awan-awan kembali ke sarang
tak ada lagi gelak yang kauhantar
bersama rimbun daun-daun
Kau pun terseduh bersama kabut
Menggenggam jari sendiri jadi selimut
Selimut yang dulu mendekap kesendirianku
bersama waktu yang kupapah namun terluka
sebelum rebah sebagai air mata
Maka seperti pulang yang telah menjadi kawan
kau melangkah lagi ke arah entah
tanpa mengucap salam
Meninggalkanku bersama pilu dan gamang
Padangbatu, 2008
Impresi Rindu
-pani
Malam melepaskan gaibnya bersama sembilu
Air mengukir waktu di antara wajah yang mesti diseka
bersama kebekuan yang lesap di dekap buku jari
Jiwa dibawa lari disergah matahari yang masih berjanji
Suara parau seakan masih akrab menerjemahkan risau
sedang bagi tatapan mata adalah nikmat dan langkah
adalah ibu yang melahirkan kata-kata dalam untaian kalimat
walau kita tahu bahwa rebah adalah tempat semua kiblat
Padangbatu, 2008
Musim Kelima
-pani
Pagi adalah bibirmu yang ruyup di antara musim kuyup
Langkah telah pulang ke sarang ke puputan
Seperti engkau yang selalu menyimpan kerinduan tatapan
bersama malam ditinggal sekawanan mega
Maka bergeraklah pintaku ke arah barat
setelah berita menumpahkan cakap
Sedang pagi masih saja melesapkan jejak
di luruh kerudungmu yang teduh
Siang bagai miang di depan gelas kacaku
Bulir hening diam semati karang
Kau gigir di tubir dzikir sambil berkaca pada tanya
dan menanam kembali musim
yang kau sendiri tak tahu apa namanya
Padangbatu, 2008
Firman Nugraha, lahir di Purwakarta, 24 Maret 1984. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI.
Syal Kesaksian
-pani
Mungkin syal ini paling lirih dengan bisunya
mendapatimu duduk bersama senja. Aku cemburu
Tapi gerimis masih saja berbaris menguncupkan bunga
Padahal ia tak pernah berjanji pada bumi yang ingin basah
juga nurani yang hendak menorehkan sejarah
Fajar memerah, namun syalku tak lantas marah
Diredamnya deru darahku. Dihempasnya harum namamu
Kuterduduk membaca hujan, meminang alam, menggemakan bisu
tentang langit yang selalu mengaku beratap satu
Padangbatu, 2008
Kiblat Pertemuan
-pani
Hujan ikhlaskan perjalanan awan
menapaki jejak dengan basahnya
Bulir air menjelma jadi airmata
membuka genangan luka
Matahari pun gigir ke alenia tenggara
mengingkari janji, menghitamkan tatapan
di antara gerak cuaca. Seperti kau:
Perempuan kuyup menembus kegelisahan
demi kegelisahan yang ruyup
sambil menanggalkan percakapan
di kiblat pertemuan. Seperti aku:
Yang tak mengerti tanda lahir di tubuhku
juga garis tanganmu yang tak pernah bersatu
menerjemahkan setiap kecupan
Sedang musim telah sempurna
menghantarkan kembali riwayat mata angin
bersama sunyi dan keraguan
Padangbatu, 2008
Peta Kesunyian
-pani
Sudah lama kiranya aku memandang hati sendiri
Disergap berkali-kali oleh rasa cemas
ketika langkah demi langkah menepi dari arah barat
mengembangkan wajah tak tegas
Maka seperti ditusuk-tusuk rindu
aku pun lari membawa resah
menabur gelisah. Menghindari matahari
yang hendak memanggang pandangku
dan melipatnya dalam peta kesunyian
Musim pun berubah. Kecuali musim di dadaku
yang selalu gugur dan kembali kubur
sedang tatapan itu belum kuterjemahkan:
Tentang keningmu yang basah dan tangan tengadah
yang kusebut sebagai nurani
Sehingga musim mengerti bahwa ia tak harus diam
oleh hati yang menyergah pergi
Maka, haruskah kubuang tanya
hingga airmata hanya berita menjelma doa?
Padangbatu, 2008
Selimut Waktu
-pani
Selain malam yang membentang
awan-awan kembali ke sarang
tak ada lagi gelak yang kauhantar
bersama rimbun daun-daun
Kau pun terseduh bersama kabut
Menggenggam jari sendiri jadi selimut
Selimut yang dulu mendekap kesendirianku
bersama waktu yang kupapah namun terluka
sebelum rebah sebagai air mata
Maka seperti pulang yang telah menjadi kawan
kau melangkah lagi ke arah entah
tanpa mengucap salam
Meninggalkanku bersama pilu dan gamang
Padangbatu, 2008
Impresi Rindu
-pani
Malam melepaskan gaibnya bersama sembilu
Air mengukir waktu di antara wajah yang mesti diseka
bersama kebekuan yang lesap di dekap buku jari
Jiwa dibawa lari disergah matahari yang masih berjanji
Suara parau seakan masih akrab menerjemahkan risau
sedang bagi tatapan mata adalah nikmat dan langkah
adalah ibu yang melahirkan kata-kata dalam untaian kalimat
walau kita tahu bahwa rebah adalah tempat semua kiblat
Padangbatu, 2008
Musim Kelima
-pani
Pagi adalah bibirmu yang ruyup di antara musim kuyup
Langkah telah pulang ke sarang ke puputan
Seperti engkau yang selalu menyimpan kerinduan tatapan
bersama malam ditinggal sekawanan mega
Maka bergeraklah pintaku ke arah barat
setelah berita menumpahkan cakap
Sedang pagi masih saja melesapkan jejak
di luruh kerudungmu yang teduh
Siang bagai miang di depan gelas kacaku
Bulir hening diam semati karang
Kau gigir di tubir dzikir sambil berkaca pada tanya
dan menanam kembali musim
yang kau sendiri tak tahu apa namanya
Padangbatu, 2008
Firman Nugraha, lahir di Purwakarta, 24 Maret 1984. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI.
Sajak-Sajak Inggit Putria Marga
Kompas, 29 Maret 2009
Pembawa Kincir
rambutmu meriap seperti garis-garis petir, ketika kemarin senja
kulihat kau melayang di atas tubuhku sambil membawa kincir
tapi mataku yang berbinar memandangmu saat itu, membuatmu tahu
lidi-lidi dupa yang kubakar tiap senja adalah mantra
yang akan menyihirmu jadi kuda
mungkin murka mungkin bangga
seiring putaran kincir yang tiada berawal-akhir, dari tatapanku kau menyingkir
lenyap sekejap peluh terserap pasir. aku menggigit bibir, terasa sisa putaran kincir
mengapung di angin sepoi semilir. di hatiku sesuatu berdesir, berkata:
pertemuan belum berakhir
pandanganku mencarimu di angkasa
ribuan burung gereja terhambur di bawah awan yang menyusun diri jadi tangga
menuju atap cakrawala. barangkali kau telah di sana, rebah sambil berpikir
mengapa aku hendak menyihirmu jadi kuda. di bumi, aku yang tak merasa dosa,
menutup mata. sisa senja telah mengubah planet ini jadi makam yang jarang
ditaburi bunga
hingga malam hilang hitam
kutunggu kau di padang mimpiku yang hijau, yang terhampar bagi domba-domba
beraroma kacau. namun kau tak lagi terjangkau, pergantian jam pun cuma persalinan
risau. apakah kau tersinggung dan berpikir aku tak serius menganggapmu agung?
sungguh, terlalu lama perjalananku terhenti. jutaan kilometer, padang api, laut duri,
hutan siluman sesak penghuni, membuatku getir meneruskan langkah mencapai asal
diri. sungguh, terlampau panjang waktu kau habiskan untuk memutar kincir
di ruang tersembunyi, menghindari para pencari, menghilang bahkan dari makna
terdalam sebuah puisi
senja ini kubakar lagi untukmu beberapa lidi dupa
datanglah. jika mantraku berhasil menyihirmu jadi kuda, kau akan lebih berguna
perjalananku mencapai asal diri yang lama terhenti pun
kembali bermula
2009
Bola Kristal
padahal sebelum sangkar hidup mengurungmu
aku telah menegurmu:
di telaga keruh, takkan membayang bulan meski separuh
bila genderang angin puyuh masih tertabuh
tiada mungkin tegak si gubuk rapuh
tapi umpama lampu penyepele kegelapan
betapa ringan kata-kataku kau silaukan
kau pergi sepergi asap meninggalkan api
di bara, aku sunyi pemeluk api
berwajah pucat terigu, setelah lima ribu malam bergerak
sepelan sayap debu, sore ini kau datang lagi padaku
kerut tangan, kabur pengelihatan, samar pendengaran
bukti sangkar hidup belum melepas statusmu sebagai tawanan
garis tubuh dan rambutmu mengaku
kini kau hantu labirin batu
labirin hasrat yang membuat anganmu terhempas
pada pemilik cinta yang sesempurna hawa dingin
pemilik cinta yang paling angin di antara semua angin
penujum, andai dulu kau bukan lampu penyepele kegelapan
maka kini di antara angin lebat pemutar roda musim
kujadikan kau selembar telaga jernih
tempat beragam bentuk bulan membayang
ratusan lotus mekar takzim menyarang
2009
Roda Sunyi
delapan butir telur embun
pecah di jalan batu
sembilan bulir air waktu
menitik ke kereta abu
di tanganku terbakar kamu:
cakram duri
roda sunyi
energi yang merebutku kembali
dari kurungan debu abadi:
hidup-mati
datang-pergi
membuat kepalaku
berdenyut dihutani ilusi
2008
Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung.
Pembawa Kincir
rambutmu meriap seperti garis-garis petir, ketika kemarin senja
kulihat kau melayang di atas tubuhku sambil membawa kincir
tapi mataku yang berbinar memandangmu saat itu, membuatmu tahu
lidi-lidi dupa yang kubakar tiap senja adalah mantra
yang akan menyihirmu jadi kuda
mungkin murka mungkin bangga
seiring putaran kincir yang tiada berawal-akhir, dari tatapanku kau menyingkir
lenyap sekejap peluh terserap pasir. aku menggigit bibir, terasa sisa putaran kincir
mengapung di angin sepoi semilir. di hatiku sesuatu berdesir, berkata:
pertemuan belum berakhir
pandanganku mencarimu di angkasa
ribuan burung gereja terhambur di bawah awan yang menyusun diri jadi tangga
menuju atap cakrawala. barangkali kau telah di sana, rebah sambil berpikir
mengapa aku hendak menyihirmu jadi kuda. di bumi, aku yang tak merasa dosa,
menutup mata. sisa senja telah mengubah planet ini jadi makam yang jarang
ditaburi bunga
hingga malam hilang hitam
kutunggu kau di padang mimpiku yang hijau, yang terhampar bagi domba-domba
beraroma kacau. namun kau tak lagi terjangkau, pergantian jam pun cuma persalinan
risau. apakah kau tersinggung dan berpikir aku tak serius menganggapmu agung?
sungguh, terlalu lama perjalananku terhenti. jutaan kilometer, padang api, laut duri,
hutan siluman sesak penghuni, membuatku getir meneruskan langkah mencapai asal
diri. sungguh, terlampau panjang waktu kau habiskan untuk memutar kincir
di ruang tersembunyi, menghindari para pencari, menghilang bahkan dari makna
terdalam sebuah puisi
senja ini kubakar lagi untukmu beberapa lidi dupa
datanglah. jika mantraku berhasil menyihirmu jadi kuda, kau akan lebih berguna
perjalananku mencapai asal diri yang lama terhenti pun
kembali bermula
2009
Bola Kristal
padahal sebelum sangkar hidup mengurungmu
aku telah menegurmu:
di telaga keruh, takkan membayang bulan meski separuh
bila genderang angin puyuh masih tertabuh
tiada mungkin tegak si gubuk rapuh
tapi umpama lampu penyepele kegelapan
betapa ringan kata-kataku kau silaukan
kau pergi sepergi asap meninggalkan api
di bara, aku sunyi pemeluk api
berwajah pucat terigu, setelah lima ribu malam bergerak
sepelan sayap debu, sore ini kau datang lagi padaku
kerut tangan, kabur pengelihatan, samar pendengaran
bukti sangkar hidup belum melepas statusmu sebagai tawanan
garis tubuh dan rambutmu mengaku
kini kau hantu labirin batu
labirin hasrat yang membuat anganmu terhempas
pada pemilik cinta yang sesempurna hawa dingin
pemilik cinta yang paling angin di antara semua angin
penujum, andai dulu kau bukan lampu penyepele kegelapan
maka kini di antara angin lebat pemutar roda musim
kujadikan kau selembar telaga jernih
tempat beragam bentuk bulan membayang
ratusan lotus mekar takzim menyarang
2009
Roda Sunyi
delapan butir telur embun
pecah di jalan batu
sembilan bulir air waktu
menitik ke kereta abu
di tanganku terbakar kamu:
cakram duri
roda sunyi
energi yang merebutku kembali
dari kurungan debu abadi:
hidup-mati
datang-pergi
membuat kepalaku
berdenyut dihutani ilusi
2008
Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung.
Sabtu, 19 Maret 2011
Sajak-Sajak Isbedy Stiawan Z.S.
http://www.lampungpost.com/
Pertemuan
setelah siang berlalu
kau datang tanpa sepatu
lalu kau beri peluk
aku lempar dekap
sesungguhnya langit telah terbuka
kita susuri hingga terkatup mata
taman-taman yang mekar
suara-suara hewan gemetar
kau tersenyum
aku mengulum
kau berikan sejumput pipi
aku sambut sehalaman kecup
“ah, sudah berapa percakapan
menutup lembar halaman?” tanyaku
sebelum kau benar-benar lalu
ke balik rimbun pohon mengkudu
“tapi halaman selalu terbuka
setiap kau habisi dengan kata-kata
seperti laut itu tak pernah kering
meski berjutakali dilalui kapal
dan gelombang hilang di pantai,” jawabmu
kemudian taman
jadi hening
sesepi hati!
041010
Zikir Sakit
jika ada sakit lebih dari sakit kepalaku
berilah padaku, sekiranya aku akan
lempang menuju halaman-Mu
bahkan sakit yang lebih berat
Kaulimpahkan kepada seorang nabi
dipenuhi koreng seluruh tubuhnya
tetap pasrah dan menyebut nama-Mu
tatkala nabi-Mu dilahap seekor ikan
dan bertahun-tahun di dalam perut
makin ingat kepada-Mu dan tahu
kalau ia telah berbuat dosa
meninggalkan umatnya
lelaki yang dilempar ke laut
dan disantap ikan besar itu
setiap waktu hanya berzikir:
“la ilah haillah anta
wa subhannaka inni
kuntu minazzalimin…”
maka aku, lelaki lain, yang hanya
hamba-Mu ketika menerima sakit
mungkin karena aku masih pelit
bersedekah demi-Mu
beribadah karena-Mu
berzikir untuk menadah cinta-Mu
bertadarus bagi menghafal ayatayat-Mu
karenanya aku nikmati sakit dari-Mu
sampai aku pulas karena letih
agar aku tak mengeluh
menambah-nambah dosaku
“aku ingin sakit
kalau itu karena cinta-Mu..”
–dan aku mau sehat
di dalam kasih-Mu–
23.0810; 01.09
Seperti Malam di Kota Lain
hilang matahari ke balik tembok itu
di sini seperti malam di kota lain
saat kau ajak aku, dan tanganmu menuntunku
memburu kelam: jalan-jalan yang terasa remang
dan di wajahmu berkilau kekuningan
wajah yang dulu, dulu sekali, pernah
kusimpan di saku di dinding kota
alangkah jauh malam mendatang
di kota yang tak pernah diam
(penjahit pun memburu
hingga ke gang buntu)
*pm, 25 agustus 2010
Ninabobo
“tidurlah tidur, sayang
esok pagi kau akan menanak
untuk sarapan abang…”
apakah masih disebut malam
jika mata belum terpejam
apakah bisa kupanggil larut
bila tubuh masih jauh dari selimut
adakah ini waktu sudah pagi
apabila kantuk pun setia berlari-lari
setiap malam
seperti bermain dalam siang
seperti tiada habis-habis
meronce waktu!
10112010; 01.46
————
Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di berbagai media Jakarta dan daerah. Dia telah memiliki lebih dari sepuluh buku kumpulan cerpen dan puisi. Terakhir buku puisinya adalah Perempuan Berpayung Merah [di Kota Petuah] (2010).
Pertemuan
setelah siang berlalu
kau datang tanpa sepatu
lalu kau beri peluk
aku lempar dekap
sesungguhnya langit telah terbuka
kita susuri hingga terkatup mata
taman-taman yang mekar
suara-suara hewan gemetar
kau tersenyum
aku mengulum
kau berikan sejumput pipi
aku sambut sehalaman kecup
“ah, sudah berapa percakapan
menutup lembar halaman?” tanyaku
sebelum kau benar-benar lalu
ke balik rimbun pohon mengkudu
“tapi halaman selalu terbuka
setiap kau habisi dengan kata-kata
seperti laut itu tak pernah kering
meski berjutakali dilalui kapal
dan gelombang hilang di pantai,” jawabmu
kemudian taman
jadi hening
sesepi hati!
041010
Zikir Sakit
jika ada sakit lebih dari sakit kepalaku
berilah padaku, sekiranya aku akan
lempang menuju halaman-Mu
bahkan sakit yang lebih berat
Kaulimpahkan kepada seorang nabi
dipenuhi koreng seluruh tubuhnya
tetap pasrah dan menyebut nama-Mu
tatkala nabi-Mu dilahap seekor ikan
dan bertahun-tahun di dalam perut
makin ingat kepada-Mu dan tahu
kalau ia telah berbuat dosa
meninggalkan umatnya
lelaki yang dilempar ke laut
dan disantap ikan besar itu
setiap waktu hanya berzikir:
“la ilah haillah anta
wa subhannaka inni
kuntu minazzalimin…”
maka aku, lelaki lain, yang hanya
hamba-Mu ketika menerima sakit
mungkin karena aku masih pelit
bersedekah demi-Mu
beribadah karena-Mu
berzikir untuk menadah cinta-Mu
bertadarus bagi menghafal ayatayat-Mu
karenanya aku nikmati sakit dari-Mu
sampai aku pulas karena letih
agar aku tak mengeluh
menambah-nambah dosaku
“aku ingin sakit
kalau itu karena cinta-Mu..”
–dan aku mau sehat
di dalam kasih-Mu–
23.0810; 01.09
Seperti Malam di Kota Lain
hilang matahari ke balik tembok itu
di sini seperti malam di kota lain
saat kau ajak aku, dan tanganmu menuntunku
memburu kelam: jalan-jalan yang terasa remang
dan di wajahmu berkilau kekuningan
wajah yang dulu, dulu sekali, pernah
kusimpan di saku di dinding kota
alangkah jauh malam mendatang
di kota yang tak pernah diam
(penjahit pun memburu
hingga ke gang buntu)
*pm, 25 agustus 2010
Ninabobo
“tidurlah tidur, sayang
esok pagi kau akan menanak
untuk sarapan abang…”
apakah masih disebut malam
jika mata belum terpejam
apakah bisa kupanggil larut
bila tubuh masih jauh dari selimut
adakah ini waktu sudah pagi
apabila kantuk pun setia berlari-lari
setiap malam
seperti bermain dalam siang
seperti tiada habis-habis
meronce waktu!
10112010; 01.46
————
Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di berbagai media Jakarta dan daerah. Dia telah memiliki lebih dari sepuluh buku kumpulan cerpen dan puisi. Terakhir buku puisinya adalah Perempuan Berpayung Merah [di Kota Petuah] (2010).
Sajak-Sajak Agit Yogi Subandi
http://www.lampungpost.com/
Lorong
aku berjalan
menuju lorong
yang semakin hari
semakin menyempit
namun,
ketika aku berjalan
orang-orang menuju
ke arahku
menuju lorong
yang lebih sempit lagi.
(Bandar Lampung, 2010)
Di Meja Makan
puan,
di matamu yang cerlang
seperti ujung pisau
tamatkanlah
seluruh hasrat
di dadaku
dengan menusukkannya
ke lubuk jantungku
agar kau tahu,
di kedalamannya
ada dirimu.
(Bandar Lampung, 2009)
Sebait Pantun Bujang
akasia,
hijau tersepuh
bunganya,
cemara kering rapuh
mengapa
bunga
tak kunjung jatuh
hingga angan
berubah keluh.
(Bandarlampung, 2010)
Berjalan
seperti dugaanmu, aku telah menempuh jalan ini: berjalan dalam bimbang dan tetap sadar di dalam malam, meski akhirnya, kita memahami bahwa kata “sampai” akan tersuruk pula ke dalam makna yang selama ini acap kita cari-cari. seperti katamu dulu, jalanan ini memang begitu kedap. tak terhitung teriakan yang lesap ke dinding dan beton-beton di pinggir jalan, bahkan lorong-lorong, yang seharusnya memiliki gema di kala malam, telah mengecoh logika bahwa gema itu kosong. teriaklah sekuatmu, tak ada yang mendengar, karena setiap orang telah disibukkan dengan teriakan masing-masing. orang-orang hanya dapat melihat rautmu yang mengerut dan memancar. tak ada yang perduli, tak kan ada.
seperti katamu pula, menuju sebuah tempat yang dicita-citakan dengan menempuh jalan ini, kita jadi mengerti siapa yang pulang dan yang pergi dan siapa yang tak memiliki tempat kembali dan tempat untuk pergi. kini aku bersaksi, tentang jutaan debar di jalan ini yang hilang begitu saja, ada resah yang tak sempat sampai kepada gelisah, ada gelisah yang tak sempat termaktub ke dalam kisah. dan seperti katamu pula, bahwa di jalan ini, banyak orang menghiba pada sesuatu yang tak terduga. dan aku selalu mengingat kata-katamu, “berjalanlah, seperti orang yang benar-benar sedang berjalan.”
(Tanjungkarang, 2009)
——-
Agit Yogi Subandi, lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Dibesarkan di Lampung. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bergiat di Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung.
Lorong
aku berjalan
menuju lorong
yang semakin hari
semakin menyempit
namun,
ketika aku berjalan
orang-orang menuju
ke arahku
menuju lorong
yang lebih sempit lagi.
(Bandar Lampung, 2010)
Di Meja Makan
puan,
di matamu yang cerlang
seperti ujung pisau
tamatkanlah
seluruh hasrat
di dadaku
dengan menusukkannya
ke lubuk jantungku
agar kau tahu,
di kedalamannya
ada dirimu.
(Bandar Lampung, 2009)
Sebait Pantun Bujang
akasia,
hijau tersepuh
bunganya,
cemara kering rapuh
mengapa
bunga
tak kunjung jatuh
hingga angan
berubah keluh.
(Bandarlampung, 2010)
Berjalan
seperti dugaanmu, aku telah menempuh jalan ini: berjalan dalam bimbang dan tetap sadar di dalam malam, meski akhirnya, kita memahami bahwa kata “sampai” akan tersuruk pula ke dalam makna yang selama ini acap kita cari-cari. seperti katamu dulu, jalanan ini memang begitu kedap. tak terhitung teriakan yang lesap ke dinding dan beton-beton di pinggir jalan, bahkan lorong-lorong, yang seharusnya memiliki gema di kala malam, telah mengecoh logika bahwa gema itu kosong. teriaklah sekuatmu, tak ada yang mendengar, karena setiap orang telah disibukkan dengan teriakan masing-masing. orang-orang hanya dapat melihat rautmu yang mengerut dan memancar. tak ada yang perduli, tak kan ada.
seperti katamu pula, menuju sebuah tempat yang dicita-citakan dengan menempuh jalan ini, kita jadi mengerti siapa yang pulang dan yang pergi dan siapa yang tak memiliki tempat kembali dan tempat untuk pergi. kini aku bersaksi, tentang jutaan debar di jalan ini yang hilang begitu saja, ada resah yang tak sempat sampai kepada gelisah, ada gelisah yang tak sempat termaktub ke dalam kisah. dan seperti katamu pula, bahwa di jalan ini, banyak orang menghiba pada sesuatu yang tak terduga. dan aku selalu mengingat kata-katamu, “berjalanlah, seperti orang yang benar-benar sedang berjalan.”
(Tanjungkarang, 2009)
——-
Agit Yogi Subandi, lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Dibesarkan di Lampung. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bergiat di Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung.
Sajak-Sajak Heri Maja Kelana
http://www.lampungpost.com/
Kampung Daun
kampung daun, aku datang
membaca garis wajahmu
serta seruling mistik
dan perempuan yang mandi di kali
kau ajak aku berkelana lewat mata bocah
mata yang polos seperti kampung daun
di sini, aku tak perlu membaca buku filsafat
atau koran pagi
di sini, aku tak perlu komputer atau handpone
di sini, aku hanya butuh ubi dan semacamnya
aku tak bisa berkata
sedang langit menuju senja
menemu asonansi pada kepulangan bapak desa
aku tak pernah tahu siapa kau
kami tak bertegur sapa
namun kami lahir dengan cara yang sama
kami lahir dari rahim ibu
rahim kenangan yang selanjutnya menjadi tanah
di kampung daun, aku seperti bukan manusia
bukan siapa-siapa
sebab kau bapak desa
atau orang-orang kampung tak pernah baca buku filsafat
dan tak pernah pegang handpone
Sunia, 2009-2010
Kidung Sundamala
siapa yang percaya dengan batu
semua hening dan diam
apakah ada lingga atau yoni
dalam kidung sundamala
mereka misteri seperti batu
seperti juga kelahiran kita
Bandung, 2009
Januari: Potret Jalan Cikapayang
berbahagialah. sebuah kota telah berganti baju
orang-orang mengejar bayangan
bayangan yang mereka cipta dari sebuah rantau yang jauh
sejauh hati kita di puncak gelisah.
siang. juga malam aku tidak mendengar deru angin
atau teriakan anak-anak yang permain petak umpet
juga tidak melihat anak-anak belajar berhitung dengan sempoa
semua sudah seperti mimpi buruk yang panjang
sepanjang langkahku di jalan cikapayang
ingin rasanya aku kembali
berjalan tanpa asap karbon dan nikotin
seperti dulu ketika fajar melingkar membentuk pagar
kemudian aku berlari mencari jamur di bawah pohon-pohon
dan rumput dengan sisa embun payau
Bandung, 2010
Pagi: Potret Jalan Setiabudi
ri kita menyamakan arloji
agar bisa berangkat di waktu yang sama
seperti eksodus burung-burung)
masih ada lingkaran di kepalku
lingkaran yang tercipta dari gelisah
serta amarah yang membuat cintaku kandas
atau surat kabar palsu. seperti kepalsuan calon-calon legislatif
seperti juga resah sopir angkot. atau gerobak sayuran
menyalurkan keringat di dada
membuat hatiku seperti kapas. melayang seperti layang-layang
di tarik ke sana ke mari
pagi. tepat jam tujuh, kepalku menjadi selokan
darah mengalir sebagai penebusan dosa
penebusan yang sekian lama telah kunantikan
seseorang telah mencintaku, mencintai langkah pengembara
pengembara yang lahir dari kota sungsang
kota dengan sejuta perkelahian
(belajar pada kepal sendiri
atau suara lonceng, atau suara ambulan
hingga waktu akan kembali
seperti kelahiran)
bunga-bunga warna kuning melilit lengan
wajah ovalmu membakar ekor kenangan
ekor yang mempertemukan kita
mempersatukan dua simpangan
bagai eksodus burung yang menemukan tempat kedua
kota kita penuh perkelahian
seandainya kita tidak saling mencinta
biarlah itu terjadi. karena kulihat dirimu telah mencintai yang lain
mencintai yang seharusnya kau cintai
seandainya kita tak pernah bersama lagi
biarlah itu terjadi. karena kulihat dirimu telah bersama yang lain
karena kita terlahir sebagai pengembara
kita terlahir dari kobaran api
kobaran cinta pada kota yang penuh perkelahian
kobaran cinta pada persinggahan terahir
seperti upacara pembakaran mayat
dengan tegas orang-orang membuat kehilangan
pratiwi, bulan-bulan ini kulihat dirimu seperti kehilangan sesuatu
kehilangan lagu pagi dan potret jalan setiabudhi
Bandung, 2010
———–
Heri Maja Kelana, kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI. Mantan Ketua Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI 2008-2009, sekarang menjadi ketua Pusat Kajian Sasta Institut Cikalong. Tulisan berupa puisi, esei, resensi film dipublikasikan di berbagai media dan antologi bersama.
Kampung Daun
kampung daun, aku datang
membaca garis wajahmu
serta seruling mistik
dan perempuan yang mandi di kali
kau ajak aku berkelana lewat mata bocah
mata yang polos seperti kampung daun
di sini, aku tak perlu membaca buku filsafat
atau koran pagi
di sini, aku tak perlu komputer atau handpone
di sini, aku hanya butuh ubi dan semacamnya
aku tak bisa berkata
sedang langit menuju senja
menemu asonansi pada kepulangan bapak desa
aku tak pernah tahu siapa kau
kami tak bertegur sapa
namun kami lahir dengan cara yang sama
kami lahir dari rahim ibu
rahim kenangan yang selanjutnya menjadi tanah
di kampung daun, aku seperti bukan manusia
bukan siapa-siapa
sebab kau bapak desa
atau orang-orang kampung tak pernah baca buku filsafat
dan tak pernah pegang handpone
Sunia, 2009-2010
Kidung Sundamala
siapa yang percaya dengan batu
semua hening dan diam
apakah ada lingga atau yoni
dalam kidung sundamala
mereka misteri seperti batu
seperti juga kelahiran kita
Bandung, 2009
Januari: Potret Jalan Cikapayang
berbahagialah. sebuah kota telah berganti baju
orang-orang mengejar bayangan
bayangan yang mereka cipta dari sebuah rantau yang jauh
sejauh hati kita di puncak gelisah.
siang. juga malam aku tidak mendengar deru angin
atau teriakan anak-anak yang permain petak umpet
juga tidak melihat anak-anak belajar berhitung dengan sempoa
semua sudah seperti mimpi buruk yang panjang
sepanjang langkahku di jalan cikapayang
ingin rasanya aku kembali
berjalan tanpa asap karbon dan nikotin
seperti dulu ketika fajar melingkar membentuk pagar
kemudian aku berlari mencari jamur di bawah pohon-pohon
dan rumput dengan sisa embun payau
Bandung, 2010
Pagi: Potret Jalan Setiabudi
ri kita menyamakan arloji
agar bisa berangkat di waktu yang sama
seperti eksodus burung-burung)
masih ada lingkaran di kepalku
lingkaran yang tercipta dari gelisah
serta amarah yang membuat cintaku kandas
atau surat kabar palsu. seperti kepalsuan calon-calon legislatif
seperti juga resah sopir angkot. atau gerobak sayuran
menyalurkan keringat di dada
membuat hatiku seperti kapas. melayang seperti layang-layang
di tarik ke sana ke mari
pagi. tepat jam tujuh, kepalku menjadi selokan
darah mengalir sebagai penebusan dosa
penebusan yang sekian lama telah kunantikan
seseorang telah mencintaku, mencintai langkah pengembara
pengembara yang lahir dari kota sungsang
kota dengan sejuta perkelahian
(belajar pada kepal sendiri
atau suara lonceng, atau suara ambulan
hingga waktu akan kembali
seperti kelahiran)
bunga-bunga warna kuning melilit lengan
wajah ovalmu membakar ekor kenangan
ekor yang mempertemukan kita
mempersatukan dua simpangan
bagai eksodus burung yang menemukan tempat kedua
kota kita penuh perkelahian
seandainya kita tidak saling mencinta
biarlah itu terjadi. karena kulihat dirimu telah mencintai yang lain
mencintai yang seharusnya kau cintai
seandainya kita tak pernah bersama lagi
biarlah itu terjadi. karena kulihat dirimu telah bersama yang lain
karena kita terlahir sebagai pengembara
kita terlahir dari kobaran api
kobaran cinta pada kota yang penuh perkelahian
kobaran cinta pada persinggahan terahir
seperti upacara pembakaran mayat
dengan tegas orang-orang membuat kehilangan
pratiwi, bulan-bulan ini kulihat dirimu seperti kehilangan sesuatu
kehilangan lagu pagi dan potret jalan setiabudhi
Bandung, 2010
———–
Heri Maja Kelana, kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI. Mantan Ketua Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI 2008-2009, sekarang menjadi ketua Pusat Kajian Sasta Institut Cikalong. Tulisan berupa puisi, esei, resensi film dipublikasikan di berbagai media dan antologi bersama.
Sajak-Sajak Endang Supriadi
http://www.lampungpost.com/
Mengarungi Lautan di Tubuhmu
aku mengarungi lautan di dalam tubuhmu
menjaring pekikan yang bertahun-tahun sangat
kuhafal bunyinya. tak ada batu atau lumpur
tempat jejak singgah. tapi di rambutmu gerimis
bergelayutan, menjauh dari dinding yang selama ini
jadi keranjang bagi para pelukis kacangan
aku berperahu dengan sebatang cahaya. menyulam
segala bentuk dendam dengan serat angin
memotret luka dari pepohon yang tumbang. tapi
aku penikmat sepi, maka kuarungkan segala raung
yang meloloskan diri dari kisi jendela. di sana,
bayangmu jadi kuas, menyapu kerontang mimpi
jadi awan di antara batas siang dan malam.
Sudah Kalah Aku
sudah kalah aku. percuma atap kubangun
pintu kupasang, roda kuputar, payung
kubuka. aku renta, tumbuh langsung tua
dagingmu dagingku beda. aku berdarah
awan, engkau berdarah kawah
benar-benar jauh panggang dari api
sukmaku menggelontor seperti air bah
yang tak berakar, namun justru
mengepung seluruh tempat persembunyianmu
ini aku, cemara yang bergoyang
rantingku tempat senggama burung-burung
langit membungkusnya berabad-abad,
tapi engkau begitu rela membakarnya.
sudah kalau aku. percuma kuberi nama manis
pada pisau, kuberi nama salju pada batu
kuberi nama rindu pada badai, kuberi nama
sorga pada kubur. kereta kepedihan ini,
terus melangsir di sendi-sendi pikiranku.
Menolak Bayang-Bayang
ada lapisan langit yang menyimpan
wangi hujan, katamu dibalik kerudung
pagi. ada malam yang tak pernah gelap
karena cahaya embun yang rimbun
memantul sepanjang dusun
aku ingin berbagi rasa seperti karat
pada besi. maka jangan pergi, lelangit
akan kuyup digetar tanganmu. juga
jangan ada bayangan ketika kita beradu
pandang. suhu ini, memekarkan seluruh
rumah kerang di lautan
ada gemuruh yang tak terdengar
di dalam dadamu. aku tahu sejak kau
dilahirkan untukku, katamu. seperti apa
gerhana ketika kita tertidur? mungkinkah
semua pintu yang ada di surga terbuka?
aku ingin berkata jujur padamu. seperti
pelangi pada warnanya. sungai akan
mengalir membawa cahaya ketika dunia ini
terbenam. tapi sekali lagi, jangan ada
bayangan ketika kita beradu pandang.
Tak Ada Garis Batas
tak ada garis batas pada rindu ini
juga kota yang disepuh cahaya napsu
siapapun boleh datang atau begadang.
aku melihat seekor anjing di gang
rumahmu. seperti menjaga tulang
di atas piring dihias bunyi denting beling
seseorang beranjak ke muda terus ke tua
tak melalui jalan tol. tapi kau,
memintaku sekepal nasi jadi bubur
agar ada isi dalam satu mangkok
cinta tak tumbuh dari kedip semata
kecuali sapu tangan yang jatuh dikembalikan
oleh si penemu. ah, itupun masih sangsi, katamu
aku akan datang lalu pergi lagi
seperti bulan yang ditakdirkan, seperti
matahari yang ditugaskan. anak-anak
adalah pelangi bagi rumah tangga. maka
jangan menciptakan awan dari perapian
sebab udara dingin tak harus muncul dari angin.
Melihatmu
aku melihatmu duduk di antara
laut dan darat. di laut kaumelihat
matahari merosot ke bumi, di darat
kau melihat kegelapan tersungkur
ke dalam kabut
kau memilih buih ombak
sebagai penghapus jejak kekasihmu
di batin. selongsong waktu kau isi dengan
benci dan rindu. tapi kau tak tahu
kapan buih itu menjelma kata-kata
untuk menyapanya
burung camar turun ke tiang kapal
sedang angin memainkan kain-kain layar
gelombang tak henti menampar
di atas geladak hatimu memar
aku melihatmu duduk di antara
laut dan darat. pada laut kau pasrah
pada darat kau berserah. aku tak tahu
dibagian mana hatimu terbelah?
——-
Endang Supriadi, lahir di Bogor 1 Agustus 1960. Menulis puisi dan cerpen sejak 1983 di pelbagai media dan antologi bersama. Buku puisinya, Tontonan Dalam Jam.
Mengarungi Lautan di Tubuhmu
aku mengarungi lautan di dalam tubuhmu
menjaring pekikan yang bertahun-tahun sangat
kuhafal bunyinya. tak ada batu atau lumpur
tempat jejak singgah. tapi di rambutmu gerimis
bergelayutan, menjauh dari dinding yang selama ini
jadi keranjang bagi para pelukis kacangan
aku berperahu dengan sebatang cahaya. menyulam
segala bentuk dendam dengan serat angin
memotret luka dari pepohon yang tumbang. tapi
aku penikmat sepi, maka kuarungkan segala raung
yang meloloskan diri dari kisi jendela. di sana,
bayangmu jadi kuas, menyapu kerontang mimpi
jadi awan di antara batas siang dan malam.
Sudah Kalah Aku
sudah kalah aku. percuma atap kubangun
pintu kupasang, roda kuputar, payung
kubuka. aku renta, tumbuh langsung tua
dagingmu dagingku beda. aku berdarah
awan, engkau berdarah kawah
benar-benar jauh panggang dari api
sukmaku menggelontor seperti air bah
yang tak berakar, namun justru
mengepung seluruh tempat persembunyianmu
ini aku, cemara yang bergoyang
rantingku tempat senggama burung-burung
langit membungkusnya berabad-abad,
tapi engkau begitu rela membakarnya.
sudah kalau aku. percuma kuberi nama manis
pada pisau, kuberi nama salju pada batu
kuberi nama rindu pada badai, kuberi nama
sorga pada kubur. kereta kepedihan ini,
terus melangsir di sendi-sendi pikiranku.
Menolak Bayang-Bayang
ada lapisan langit yang menyimpan
wangi hujan, katamu dibalik kerudung
pagi. ada malam yang tak pernah gelap
karena cahaya embun yang rimbun
memantul sepanjang dusun
aku ingin berbagi rasa seperti karat
pada besi. maka jangan pergi, lelangit
akan kuyup digetar tanganmu. juga
jangan ada bayangan ketika kita beradu
pandang. suhu ini, memekarkan seluruh
rumah kerang di lautan
ada gemuruh yang tak terdengar
di dalam dadamu. aku tahu sejak kau
dilahirkan untukku, katamu. seperti apa
gerhana ketika kita tertidur? mungkinkah
semua pintu yang ada di surga terbuka?
aku ingin berkata jujur padamu. seperti
pelangi pada warnanya. sungai akan
mengalir membawa cahaya ketika dunia ini
terbenam. tapi sekali lagi, jangan ada
bayangan ketika kita beradu pandang.
Tak Ada Garis Batas
tak ada garis batas pada rindu ini
juga kota yang disepuh cahaya napsu
siapapun boleh datang atau begadang.
aku melihat seekor anjing di gang
rumahmu. seperti menjaga tulang
di atas piring dihias bunyi denting beling
seseorang beranjak ke muda terus ke tua
tak melalui jalan tol. tapi kau,
memintaku sekepal nasi jadi bubur
agar ada isi dalam satu mangkok
cinta tak tumbuh dari kedip semata
kecuali sapu tangan yang jatuh dikembalikan
oleh si penemu. ah, itupun masih sangsi, katamu
aku akan datang lalu pergi lagi
seperti bulan yang ditakdirkan, seperti
matahari yang ditugaskan. anak-anak
adalah pelangi bagi rumah tangga. maka
jangan menciptakan awan dari perapian
sebab udara dingin tak harus muncul dari angin.
Melihatmu
aku melihatmu duduk di antara
laut dan darat. di laut kaumelihat
matahari merosot ke bumi, di darat
kau melihat kegelapan tersungkur
ke dalam kabut
kau memilih buih ombak
sebagai penghapus jejak kekasihmu
di batin. selongsong waktu kau isi dengan
benci dan rindu. tapi kau tak tahu
kapan buih itu menjelma kata-kata
untuk menyapanya
burung camar turun ke tiang kapal
sedang angin memainkan kain-kain layar
gelombang tak henti menampar
di atas geladak hatimu memar
aku melihatmu duduk di antara
laut dan darat. pada laut kau pasrah
pada darat kau berserah. aku tak tahu
dibagian mana hatimu terbelah?
——-
Endang Supriadi, lahir di Bogor 1 Agustus 1960. Menulis puisi dan cerpen sejak 1983 di pelbagai media dan antologi bersama. Buku puisinya, Tontonan Dalam Jam.
Sajak-Sajak Edi Purwanto
http://www.lampungpost.com/
Pulau Pisang
Di manakah
cerita tentang kilau emas
cengkih-cengkih itu?
Tembakak
bawalah mereka kembali
pada kami
dan menjadi sekuel cerita
pulau ini!
Lampung Barat, Maret 2010
Yang Hilang di Atas Pesisir
tanah ini tak lagi damai untukmu
batang-batang damar
menangislah
menangislah dengan suara tenor begitu rupa
sebab terlalu berat beban yang kauderita
ucap salam bagi laut, pantai, dan angin senja
bahwa kau tak lagi ada
Lemong, 2010
Sajak Rumah Panggung Tua
masuklah ke dalam rumah panggung
surga tempat menyemai benih kasih
dengan lukisan berlatar pelangi
di sinilah lima penerus silsilah hadir
teruskan sisa hidup dunia
masuklah ke dalam rumah panggung
meja, kursi, dan dindingnya yang setia
adalah saksi perjalanan waktu yang semakin letih
sedang pintu dan jendela
masih terbuka
bagi burung-burung dan angin senja
Lemong, 2009
Lelaki Penikmat Senja
Adalah lelaki yang setia nikmati senja
sebab hanya padanya aku dapat belajar menjadi setia
serupa kedatangannya yang tak pernah alpa
Tak seperti engkau yang selalu lupa pada ikrar dan kata
Semisal dulu pernah kaukata
“Kita adalah sepasang kupu-kupu bersayap indah
yang mengisi taman nirwana
hingga senja tiba
dan maut memisahkan kita.”
Way Tenong, 24 Maret 2010
Jika Hujan adalah Amsal
sebaris hujan yang turun mengasah rindunya
pada bumi sore ini
dapatkah kau memaknainya?
ia adalah serupa bunda yang rindu
pada anaknya yang lama berlayar
serupa bayi yang menghiba pada puting
yang lama tak singgah di mulutnya
serupa gadis yang kasmaran pada lelakinya
ataukah
serupa pula dengan aku yang selalu ingin bercinta dengan-Mu
Way Tenong, Maret 2009
Kehilangan Silsilah
ke manakah mesti kucari silsilah?
setelah para leluhur tinggalkan nama
di atas nisan
kata-kata sapaan: tamong, kajjong, andung, datuk
hanyalah nostalgi sejarah
yang masih tercatat dalam kitab-kitab
dan mungkin kan mati
malam nanti
Lampung Barat, April 2010
——–
Edi Purwanto, lahir di Sindangsari, Natar. Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Lampung. Saat ini mengajar di SMAN 1 Way Tenong, Lampung Barat, dan bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung.
Pulau Pisang
Di manakah
cerita tentang kilau emas
cengkih-cengkih itu?
Tembakak
bawalah mereka kembali
pada kami
dan menjadi sekuel cerita
pulau ini!
Lampung Barat, Maret 2010
Yang Hilang di Atas Pesisir
tanah ini tak lagi damai untukmu
batang-batang damar
menangislah
menangislah dengan suara tenor begitu rupa
sebab terlalu berat beban yang kauderita
ucap salam bagi laut, pantai, dan angin senja
bahwa kau tak lagi ada
Lemong, 2010
Sajak Rumah Panggung Tua
masuklah ke dalam rumah panggung
surga tempat menyemai benih kasih
dengan lukisan berlatar pelangi
di sinilah lima penerus silsilah hadir
teruskan sisa hidup dunia
masuklah ke dalam rumah panggung
meja, kursi, dan dindingnya yang setia
adalah saksi perjalanan waktu yang semakin letih
sedang pintu dan jendela
masih terbuka
bagi burung-burung dan angin senja
Lemong, 2009
Lelaki Penikmat Senja
Adalah lelaki yang setia nikmati senja
sebab hanya padanya aku dapat belajar menjadi setia
serupa kedatangannya yang tak pernah alpa
Tak seperti engkau yang selalu lupa pada ikrar dan kata
Semisal dulu pernah kaukata
“Kita adalah sepasang kupu-kupu bersayap indah
yang mengisi taman nirwana
hingga senja tiba
dan maut memisahkan kita.”
Way Tenong, 24 Maret 2010
Jika Hujan adalah Amsal
sebaris hujan yang turun mengasah rindunya
pada bumi sore ini
dapatkah kau memaknainya?
ia adalah serupa bunda yang rindu
pada anaknya yang lama berlayar
serupa bayi yang menghiba pada puting
yang lama tak singgah di mulutnya
serupa gadis yang kasmaran pada lelakinya
ataukah
serupa pula dengan aku yang selalu ingin bercinta dengan-Mu
Way Tenong, Maret 2009
Kehilangan Silsilah
ke manakah mesti kucari silsilah?
setelah para leluhur tinggalkan nama
di atas nisan
kata-kata sapaan: tamong, kajjong, andung, datuk
hanyalah nostalgi sejarah
yang masih tercatat dalam kitab-kitab
dan mungkin kan mati
malam nanti
Lampung Barat, April 2010
——–
Edi Purwanto, lahir di Sindangsari, Natar. Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Lampung. Saat ini mengajar di SMAN 1 Way Tenong, Lampung Barat, dan bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung.
Sajak-Sajak Hudan Nur
lampungpost.com
Pujangga Megalit
: Raja Ali Haji
akhirnya ia menambal ingatan yang pernah karam
di dermaga bintan tanjungpinang
tetapi malam semakin gelap
hingga aku tak melihat sorbanmu
ayahku pernah berkata
Pujangga Megalit
: Raja Ali Haji
akhirnya ia menambal ingatan yang pernah karam
di dermaga bintan tanjungpinang
tetapi malam semakin gelap
hingga aku tak melihat sorbanmu
ayahku pernah berkata
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae