http://www.lampungpost.com/
Hujan yang Senyap
Hujan di Palembang mungkin sama dengan hujan di tempatmu, rama
tapi entah mengapa aku begitu yakin ini hujan yang berbeda
tak ada tanganmu yang terulur menjangkau titik-titik hujan yang jatuh dari atap rumah
tak ada matamu yang sayu menatapku dalam diam
tak ada kebisuan yang kau hadirkan untuk memasung rasaku dalam ruang rindumu
yang ada hanya ruang tak berdinding
senyap dan dingin
Palembang, 10 Juli 2010
Hujan yang Tak Bisa Aku Lakukan
: rama
Apakah kau masih mengingat hujan ini, rama?
hujan yang kita beri nama hujan kenangan
kau ingat ketika tangan-tangan kita membentang menengadah hujan?
mencoba menampung titik-titik air yang berebut turun dari langit
apakah kau masih mengingat hujan ini, rama?
aku masih mengingatnya
selalu mengingatnya, dan mungkin tak akan pernah lupa
meski esok akan turun hujan-hujan yang lain, yang mungkin kuberi nama lain
bagaimana aku bisa melupakannya, rama?
jika setiap hujan datang
aromanya selalu menggigilkan hatiku
ada getar yang mungkin kau tak pernah tahu itu getar dari hatimu
pernahkah kau berpikir, rama?
setiap hujan tak akan pernah sama
tapi bagiku,
hujan selalu sama seperti hujan ketika kita saling menyapa
dengan bahasa yang sama
apakah kau masih mengingat hujan ini, rama?
aku, masih ingat
selalu
Palembang, 4 Februari 2011
Hujan dalam Keranjangmu
Aku sering menunggu hujan datang di beranda rumah
sebab, kau pernah datang dengan sekeranjang derainya sore itu
aku mencoba meyakini hadirmu bukan imajinasi semata
tapi entah mengapa, kenyataan begitu membuatku ragu akan keyakinan itu
hujan tak pernah datang dalam keranjangmu
ia datang dari langit dengan sejuta lagu:
tembang yang selalu bercerita tentang kisahku,
juga kisahmu
Natar, Maret 2010
Hujan Lagi
Atap yang diam
Langit yang muram
Tidakkah meniru hujan yang riang?
Mengapa begitu lengang?
Bukankah keberkahan telah datang?
Natar, 11 Mei 2009
——–
Laela Awalia, lahir di Natar, Lampung Selatan, 5 April 1986. Tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 27 April 2011
Sajak-Sajak Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/
Secangkir Kopi Dingin
kaulihat malam hitam langit hitam
menetes-netes di keheningan
sehelai rambut yang direntangkan
sejuntai anggur di lekuk dagumu
kausesap aroma tembakau di sisa
raut malam menghela dingin mengeja detak
berlayar dalam aliran darah
yang harum mawar basah
kaudengar denting hujan beradu
di sesela jendela terbuka
dan malam hampir tandas
di haribaanmu mengaduh
terkelupas serupa kulit jangat yang terbakar
di atas tungku batu sedingin pualam
kaulihat kupu yang sekarat jadi abu
apa yang orang-orang lakukan di ruang tunggu?
Kemiling, 140211
Puan Tanjung
sungai ini membawaku berlayar
tanpa lubuk tanpa muara
batu kerikil di dasarnya
dan ruhmu mengendap di sana
sungai ini begitu panjang
terbentang tak ada ujung
mulut perahuku bercakap dengan udara
dan insang ikan
“di mana hulu
di mana hilir?” suaramu di buih air
sungai ini takkan mebawaku ke mana-mana
karena ruhmu masih di dasarnya
antara kerikil dan pasir
Kemiling, 170211
Kunang-kunang
ada kunang-kunang di matamu
yang berpendar cahayanya melingkupi hati
serupa bintang tujuh rupa
dan kita berlari di atasnya
kunang-kunang yang kepayang
mabuk anggur matamu
mengerlip mengejang
ditinggalkan gelap malam
Kemiling, 160211
Batu-batu yang Berdiam di Keheningan
yang berdiam dalam ceruk dadamu sungsang
burung-burung kepayang
setelah berabad pelayaran yang
tak membuatnya abadi
cerukmu lubuk sungai yang
nyaman disinggahi ikan-ikan
sepucuk daun luruh dari tangkai
berenang hingga kedalaman
menjumpa batu-batu yang
berdiam di keheningan
Kemiling, 200211
Ingatan Tentang Sebuah Rindu
Kenapa rindu ini pecah ditelan
debur-ombak galaumu?
Laut ini merekam jejak dari
Retakan mawar yang hanyut basah
Lambung karang yang berdenyut
Hikayat ombak dan rompak
Laut ini…
Telah lama menanti
Bidukmu belum jua tiba di teluk semaka
——–
Muhammad Amin, lahir di Kotaagung, Lampung, 31 Juli 1990. Mulai menulis sejak di bangku SMA. Karya berupa cerpen pernah dimuat beberapa media dan puisi dimuat majalah sastra Kakilangit-Horison dan dalam antologi bersama Memburu Matahari (2011).
Secangkir Kopi Dingin
kaulihat malam hitam langit hitam
menetes-netes di keheningan
sehelai rambut yang direntangkan
sejuntai anggur di lekuk dagumu
kausesap aroma tembakau di sisa
raut malam menghela dingin mengeja detak
berlayar dalam aliran darah
yang harum mawar basah
kaudengar denting hujan beradu
di sesela jendela terbuka
dan malam hampir tandas
di haribaanmu mengaduh
terkelupas serupa kulit jangat yang terbakar
di atas tungku batu sedingin pualam
kaulihat kupu yang sekarat jadi abu
apa yang orang-orang lakukan di ruang tunggu?
Kemiling, 140211
Puan Tanjung
sungai ini membawaku berlayar
tanpa lubuk tanpa muara
batu kerikil di dasarnya
dan ruhmu mengendap di sana
sungai ini begitu panjang
terbentang tak ada ujung
mulut perahuku bercakap dengan udara
dan insang ikan
“di mana hulu
di mana hilir?” suaramu di buih air
sungai ini takkan mebawaku ke mana-mana
karena ruhmu masih di dasarnya
antara kerikil dan pasir
Kemiling, 170211
Kunang-kunang
ada kunang-kunang di matamu
yang berpendar cahayanya melingkupi hati
serupa bintang tujuh rupa
dan kita berlari di atasnya
kunang-kunang yang kepayang
mabuk anggur matamu
mengerlip mengejang
ditinggalkan gelap malam
Kemiling, 160211
Batu-batu yang Berdiam di Keheningan
yang berdiam dalam ceruk dadamu sungsang
burung-burung kepayang
setelah berabad pelayaran yang
tak membuatnya abadi
cerukmu lubuk sungai yang
nyaman disinggahi ikan-ikan
sepucuk daun luruh dari tangkai
berenang hingga kedalaman
menjumpa batu-batu yang
berdiam di keheningan
Kemiling, 200211
Ingatan Tentang Sebuah Rindu
Kenapa rindu ini pecah ditelan
debur-ombak galaumu?
Laut ini merekam jejak dari
Retakan mawar yang hanyut basah
Lambung karang yang berdenyut
Hikayat ombak dan rompak
Laut ini…
Telah lama menanti
Bidukmu belum jua tiba di teluk semaka
——–
Muhammad Amin, lahir di Kotaagung, Lampung, 31 Juli 1990. Mulai menulis sejak di bangku SMA. Karya berupa cerpen pernah dimuat beberapa media dan puisi dimuat majalah sastra Kakilangit-Horison dan dalam antologi bersama Memburu Matahari (2011).
Sajak-Sajak Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/
Apakah Tuhan Pernah Salah
~ untuk antok ~
pagi yang mendung seolah menjadi murung ketika aku mendengar suara-suara yang bukan hanya sekedar kabar burung bahwa tadi malam engkau kehilangan jantung.
jantung yang telah menjadikan engkau bergairah dalam mencari nafkah. jantung yang memacu engkau bergelora dalam berkata-kata. jantung yang membuat engkau berderai dalam tawa. jantung yang tak menyurutkan langkah meski engkau dalam lelah. jantung yang terkadang juga memamah rasa cemas di dadamu.
apakah suatu ketika Tuhan pernah salah dalam memilih menikam jantung hamba-Nya yang lebih tabah dalam setiap sembah melintasi lekuk-liku jalan perbukitan kehidupan.
Pondok Permata Suci, 25 Maret 2011
Menari
kami ingin gerak kami semarak dan gemulainya menjadi laku kami sehari-hari, bukan hanya sekedar banyak lisan dan sedikit perbuatan yang menjadi pedoman kehidupan kami sehingga ketika besar kami menjadi sabar dan tak kasar kepada setiap orang, bahkan kepada orang-orang yang meskipun mereka sebut-sebut, apalagi bukan Engkau yang menyebut, sebagai yang mungkar.
kami ingin setiap liukan tubuh kami menuntun kami agar kami tak gagap oleh gempita kuasa dan silau kilau rupa benda seperti mereka yang seringkali telah gemakan suara dengan gegap gempita dan busungkan dada namun selalu membuat mereka menjadi pelupa ketika telah di atas kursi suara.
kami ingin tarian kami membahana menyihir setiap pasang mata menjadi kasih tatapnya dan gemulainya menggerakkan setiap raga dalam alunan madah cinta yang berkumandang dan bersemayam dalam setiap dada.
Sidomor, 8 Maret 2011
Bawel
ingin aku pergi begitu saja
meninggalkan tanah neraka
para makhluknya bawel seperti
para nabi yang bersabda
tentang kebenaran dan dusta
pada umatnya
tetapi, di tanah itu tegak berdiri
tebing terjal tinggi
di puncaknya tersimpan gerbang
menuju ketinggian jiwa
bukankah kelak takkan dapat kita
bercengkerama
bila kita tak pernah jumpa
di tanah ini dengan-Nya
memang susah sungguh
jalan yang aku tempuh
memilah persimpangan
menuju yang berpagar duri
atau berhias roti
Gresik, 2010
Neraca
kami menyebutnya sebagai NERACA sebuah goresan tempat kami mencatat hasil penjumlahan dan pembilangan atau bahkan seringkali sebuah kelipatan atas perniagaan hidup yang kami lakukan. sebuah catatan yang tidak harus sesuai dengan perhitungan di lapangan namun dengan hasil sesuai dengan yang kami angan-pesankan.
kami menyebutnya sebagai NERACA sebuah simbol keseimbangan balasan bagi yang benar atau yang dusta, yang cinta atau yang alpa, yang bersih atau yang noda namun telah terbiasa menjadi sebuah tempat untuk mengabarkan, mengaburkan, dan menguburkan fakta-fakta sehingga yang dusta dan yang alpa yang noda dan yang cela masih dapat berlenggang melanjutkan hidup istimewa.
Engkau menyebutnya sebagai NERAKA sebuah tempat berkumpulnya segala dusta segala alpa segala noda segala cela dan segala yang sia-sia namun kami yakin bahwa Engkau hanya bermaksud membuat hati kami jerih dan jera karena sungguh kami percaya bahwa Mahakasih-Mu melebihi luasnya samudera.
Sidomoro, 18 Februari 2011
Rusun
waktu demi waktu kami hanya bisa menimbun petak-petak angan, menyesali petak-petak masa silam bermimpi tentang petak-petak masa depan yang semakin meluas mengembang, petak-petak angan seperti menjadi tuhan kehidupan yang menjadi satu-satunya tujuan
di sini kami saling berhimpitan dan berjejalan sambil mengibarkan bendera-bendera warna kelam tentang rasa getir dan khawatir tentang perjalanan hari-hari muakhir yang kami jejak tiada hari tanpa memeras pikir seolah tanpa akhir.
kami sangat yakin bahwa sang langit tak pernah memejamkan mata dan menutup telinganya terhadap kami oleh sebab itulah kepada langit yang maha indah seringkali kami dongakkan wajah-wajah dalam tangan-tangan tengadah berharap hidup kami tak seperti masa yang sudah-sudah.
kami juga sangat yakin bahwa sang langit selalu menjawab dongakan wajah dan tangan tengadah kami meski tetua-tetua kami hanya sesekali mendengar dan menampung keluh kisah kami.
bahkan kami sering mendengar jerit langit yang semakin tak di indahkan oleh tetua-tetua negeri kami yang seharusnya melalui tangan-tangan mereka sang langit mencurahkan karunianya bagi kegembiraan hati kami.
kegembiraan yang tak kunjung tiba itu merintikkan air dari mata-mata sembab kami lalu mengalir bak air bah dan pedihnya mata-mata kami membakar debu-debu menjadikannya bara yang menerjang segala yang ada dan akhirnya menjelma dalam berbagai wisata luka.
Gresik, 2010
Apakah Tuhan Pernah Salah
~ untuk antok ~
pagi yang mendung seolah menjadi murung ketika aku mendengar suara-suara yang bukan hanya sekedar kabar burung bahwa tadi malam engkau kehilangan jantung.
jantung yang telah menjadikan engkau bergairah dalam mencari nafkah. jantung yang memacu engkau bergelora dalam berkata-kata. jantung yang membuat engkau berderai dalam tawa. jantung yang tak menyurutkan langkah meski engkau dalam lelah. jantung yang terkadang juga memamah rasa cemas di dadamu.
apakah suatu ketika Tuhan pernah salah dalam memilih menikam jantung hamba-Nya yang lebih tabah dalam setiap sembah melintasi lekuk-liku jalan perbukitan kehidupan.
Pondok Permata Suci, 25 Maret 2011
Menari
kami ingin gerak kami semarak dan gemulainya menjadi laku kami sehari-hari, bukan hanya sekedar banyak lisan dan sedikit perbuatan yang menjadi pedoman kehidupan kami sehingga ketika besar kami menjadi sabar dan tak kasar kepada setiap orang, bahkan kepada orang-orang yang meskipun mereka sebut-sebut, apalagi bukan Engkau yang menyebut, sebagai yang mungkar.
kami ingin setiap liukan tubuh kami menuntun kami agar kami tak gagap oleh gempita kuasa dan silau kilau rupa benda seperti mereka yang seringkali telah gemakan suara dengan gegap gempita dan busungkan dada namun selalu membuat mereka menjadi pelupa ketika telah di atas kursi suara.
kami ingin tarian kami membahana menyihir setiap pasang mata menjadi kasih tatapnya dan gemulainya menggerakkan setiap raga dalam alunan madah cinta yang berkumandang dan bersemayam dalam setiap dada.
Sidomor, 8 Maret 2011
Bawel
ingin aku pergi begitu saja
meninggalkan tanah neraka
para makhluknya bawel seperti
para nabi yang bersabda
tentang kebenaran dan dusta
pada umatnya
tetapi, di tanah itu tegak berdiri
tebing terjal tinggi
di puncaknya tersimpan gerbang
menuju ketinggian jiwa
bukankah kelak takkan dapat kita
bercengkerama
bila kita tak pernah jumpa
di tanah ini dengan-Nya
memang susah sungguh
jalan yang aku tempuh
memilah persimpangan
menuju yang berpagar duri
atau berhias roti
Gresik, 2010
Neraca
kami menyebutnya sebagai NERACA sebuah goresan tempat kami mencatat hasil penjumlahan dan pembilangan atau bahkan seringkali sebuah kelipatan atas perniagaan hidup yang kami lakukan. sebuah catatan yang tidak harus sesuai dengan perhitungan di lapangan namun dengan hasil sesuai dengan yang kami angan-pesankan.
kami menyebutnya sebagai NERACA sebuah simbol keseimbangan balasan bagi yang benar atau yang dusta, yang cinta atau yang alpa, yang bersih atau yang noda namun telah terbiasa menjadi sebuah tempat untuk mengabarkan, mengaburkan, dan menguburkan fakta-fakta sehingga yang dusta dan yang alpa yang noda dan yang cela masih dapat berlenggang melanjutkan hidup istimewa.
Engkau menyebutnya sebagai NERAKA sebuah tempat berkumpulnya segala dusta segala alpa segala noda segala cela dan segala yang sia-sia namun kami yakin bahwa Engkau hanya bermaksud membuat hati kami jerih dan jera karena sungguh kami percaya bahwa Mahakasih-Mu melebihi luasnya samudera.
Sidomoro, 18 Februari 2011
Rusun
waktu demi waktu kami hanya bisa menimbun petak-petak angan, menyesali petak-petak masa silam bermimpi tentang petak-petak masa depan yang semakin meluas mengembang, petak-petak angan seperti menjadi tuhan kehidupan yang menjadi satu-satunya tujuan
di sini kami saling berhimpitan dan berjejalan sambil mengibarkan bendera-bendera warna kelam tentang rasa getir dan khawatir tentang perjalanan hari-hari muakhir yang kami jejak tiada hari tanpa memeras pikir seolah tanpa akhir.
kami sangat yakin bahwa sang langit tak pernah memejamkan mata dan menutup telinganya terhadap kami oleh sebab itulah kepada langit yang maha indah seringkali kami dongakkan wajah-wajah dalam tangan-tangan tengadah berharap hidup kami tak seperti masa yang sudah-sudah.
kami juga sangat yakin bahwa sang langit selalu menjawab dongakan wajah dan tangan tengadah kami meski tetua-tetua kami hanya sesekali mendengar dan menampung keluh kisah kami.
bahkan kami sering mendengar jerit langit yang semakin tak di indahkan oleh tetua-tetua negeri kami yang seharusnya melalui tangan-tangan mereka sang langit mencurahkan karunianya bagi kegembiraan hati kami.
kegembiraan yang tak kunjung tiba itu merintikkan air dari mata-mata sembab kami lalu mengalir bak air bah dan pedihnya mata-mata kami membakar debu-debu menjadikannya bara yang menerjang segala yang ada dan akhirnya menjelma dalam berbagai wisata luka.
Gresik, 2010
Sajak-Sajak Udo Z. Karzi
http://sastra-indonesia.com/
Ajari Kami Bahasa Cinta
ajari kami bahasa cinta
bukan kekerasan telanjang yang dipertontonkan
bukan unjuk kekuatan yang menggersangkan jiwa
bukan otot lengan bertato preman
yang tak kenal nilai kemanusiaan
yang tenggelam dalam kebiadaban
: di simpangpematang pencuri ayam
dibakar massa sambil menari-nari
ajari kami bahasa cinta
bukan kekuasaan membelenggu kemerdekaan
bukan piil yang diumbar sekadar mempertaruhkan harga diri
sebab, barang ini sudah lama tergadaikan
sejak berjuta-juta abad silam ketika air tanah,
hutan, kopi, lada menjadi milik orang-orang mabuk harta
bukan pisau badik haus darah yang menangis
saat dikembalikan ke sarungnya
bukan pedang berlumur dosa yang siap menebas
leher siapa pun yang menyimpan kesumat
kemarin seseorang mengancamku: kupagas niku kanah
hari ini aku mendengar ia mati tertikam belati
seorang pendendam tak dikenal sudah lama mengincarnya
besok entah siapa lagi yang akan mati sia-sia
ajari kami bahasa cinta
bukan bahasa anak jalanan yang penuh luka
yang tak pernah merasakan lembutnya belaian tangan ibu
yang tak pernah mendengar manisnya tutur kata wanita
yang tak biasa berbagi bahagia dan duka dengan sesama
yang hanya akrab dengan kebuasan terminal, pasar, jalan raya
gang-gang kumuh di pelosok kota
yang tak lagi ramah bagi kaum papa
: seorang bocah mati digilas kereta api
tak ada yang peduli
ajari kami bahasa cinta
bukan perang antardesa yang meledak di mana-mana
ketika keadilan, hukum, adat tak lagi jadi patokan
ketika kemanusiaan diganti dengan kebinatangan
bukan moncong pistol-senapan panas bau mesiu yang baru saja menyambar
leher para demontran yang menuntut undang-undang drakula
: dua pasang mahasiswa mati dibunuh tentara harus darah!
bandar lampung, oktober 2000
Catatan:
fiil (bahasa Lampung) = harga diri
kupagas niku kanah (bahasa Lampung) = aku tusuk kau nanti
Sumber: cybersastra.net, 4 Desember 2001
Kukejar Bayangmu
kukejar bayangmu
di ketinggian bukit-bukit
di kedalaman laut-laut
di kehijauan hutan-hutan
di kejejauhan utara-selatan
di mana-mana
tanah merah kubangan
hujan gempa banjir
tak kurasa tak kupeduli
kalaupun harimau
setan iblis sekalipun
kutinju kuterjang
tapi
aku takut
kau sudah
menjelma batu
Sumber: Lampung Post, 15 Mei 2005; fordisastra.com, 21 Maret 2006
Tak Siang Tak Malam
tak siang tak malam
koran masih saja menuturkan
banjir gempa topan
bencana di segala pelosok
– musim tambah panas, tetapi kadang hujan
seorang lelaki berteriak-teriak
belati hampir menembus usus
aku terkesima
terduduk
ah, ternyata kejahatan menyebar
dalam setiap detak kehidupan
menelusuri negarabatin suatu malam
malam tak sesunyi yang terpikirkan
malam menyembunyikan rahasia
tapi malam jujur mengaku sering resah
sedikit gelisah menyembul dari sisi malam
lampu terlampau remang menelusuri gelap
tak siang tak malam
aku gelisah
kita masih menunggu
kelanjutan fragmen hidup
kita ternyata hanya menjalani
entah. apa bakal terjadi
membelah kesunyian negarabatin
radio masih mendendangkan
: tak siang tak malam
2004
Sumber: fordisastra.com, 2 Maret 2006; puitika.net, 18 Mei 2006
Bila Bumi Diguncangkan
bila bumi diguncangkan
langit mengelam
jalan raya terbelah
gedung-gedung bersujud
jiwa-jiwa berkalang
bencana datang di pagi hari
kesunyian menyebar cekam
ngeri nyeri menganga
: adakah yang bisa menahan
bukan. ini bukan perang
tapi bumi yang diguncangkan
buat apa menghunus pedang
tak kan guna kejumawaan
bila bumi diguncangkan
kita takkan sempat berbenah
la haula wala quwata illa billah
hentikan segala silang sengketa
tak ada seteru di antara kita
manusia itu terlalu kecil
bila bumi diguncangkan
: masihkah kita tak berpikir
27-05-2006
* Q.S. Al Qiyamah
Sumber: Lampung Post, 28 Mei 2006; fordisastra.com, 29 Mei 2006
Ajari Kami Bahasa Cinta
ajari kami bahasa cinta
bukan kekerasan telanjang yang dipertontonkan
bukan unjuk kekuatan yang menggersangkan jiwa
bukan otot lengan bertato preman
yang tak kenal nilai kemanusiaan
yang tenggelam dalam kebiadaban
: di simpangpematang pencuri ayam
dibakar massa sambil menari-nari
ajari kami bahasa cinta
bukan kekuasaan membelenggu kemerdekaan
bukan piil yang diumbar sekadar mempertaruhkan harga diri
sebab, barang ini sudah lama tergadaikan
sejak berjuta-juta abad silam ketika air tanah,
hutan, kopi, lada menjadi milik orang-orang mabuk harta
bukan pisau badik haus darah yang menangis
saat dikembalikan ke sarungnya
bukan pedang berlumur dosa yang siap menebas
leher siapa pun yang menyimpan kesumat
kemarin seseorang mengancamku: kupagas niku kanah
hari ini aku mendengar ia mati tertikam belati
seorang pendendam tak dikenal sudah lama mengincarnya
besok entah siapa lagi yang akan mati sia-sia
ajari kami bahasa cinta
bukan bahasa anak jalanan yang penuh luka
yang tak pernah merasakan lembutnya belaian tangan ibu
yang tak pernah mendengar manisnya tutur kata wanita
yang tak biasa berbagi bahagia dan duka dengan sesama
yang hanya akrab dengan kebuasan terminal, pasar, jalan raya
gang-gang kumuh di pelosok kota
yang tak lagi ramah bagi kaum papa
: seorang bocah mati digilas kereta api
tak ada yang peduli
ajari kami bahasa cinta
bukan perang antardesa yang meledak di mana-mana
ketika keadilan, hukum, adat tak lagi jadi patokan
ketika kemanusiaan diganti dengan kebinatangan
bukan moncong pistol-senapan panas bau mesiu yang baru saja menyambar
leher para demontran yang menuntut undang-undang drakula
: dua pasang mahasiswa mati dibunuh tentara harus darah!
bandar lampung, oktober 2000
Catatan:
fiil (bahasa Lampung) = harga diri
kupagas niku kanah (bahasa Lampung) = aku tusuk kau nanti
Sumber: cybersastra.net, 4 Desember 2001
Kukejar Bayangmu
kukejar bayangmu
di ketinggian bukit-bukit
di kedalaman laut-laut
di kehijauan hutan-hutan
di kejejauhan utara-selatan
di mana-mana
tanah merah kubangan
hujan gempa banjir
tak kurasa tak kupeduli
kalaupun harimau
setan iblis sekalipun
kutinju kuterjang
tapi
aku takut
kau sudah
menjelma batu
Sumber: Lampung Post, 15 Mei 2005; fordisastra.com, 21 Maret 2006
Tak Siang Tak Malam
tak siang tak malam
koran masih saja menuturkan
banjir gempa topan
bencana di segala pelosok
– musim tambah panas, tetapi kadang hujan
seorang lelaki berteriak-teriak
belati hampir menembus usus
aku terkesima
terduduk
ah, ternyata kejahatan menyebar
dalam setiap detak kehidupan
menelusuri negarabatin suatu malam
malam tak sesunyi yang terpikirkan
malam menyembunyikan rahasia
tapi malam jujur mengaku sering resah
sedikit gelisah menyembul dari sisi malam
lampu terlampau remang menelusuri gelap
tak siang tak malam
aku gelisah
kita masih menunggu
kelanjutan fragmen hidup
kita ternyata hanya menjalani
entah. apa bakal terjadi
membelah kesunyian negarabatin
radio masih mendendangkan
: tak siang tak malam
2004
Sumber: fordisastra.com, 2 Maret 2006; puitika.net, 18 Mei 2006
Bila Bumi Diguncangkan
bila bumi diguncangkan
langit mengelam
jalan raya terbelah
gedung-gedung bersujud
jiwa-jiwa berkalang
bencana datang di pagi hari
kesunyian menyebar cekam
ngeri nyeri menganga
: adakah yang bisa menahan
bukan. ini bukan perang
tapi bumi yang diguncangkan
buat apa menghunus pedang
tak kan guna kejumawaan
bila bumi diguncangkan
kita takkan sempat berbenah
la haula wala quwata illa billah
hentikan segala silang sengketa
tak ada seteru di antara kita
manusia itu terlalu kecil
bila bumi diguncangkan
: masihkah kita tak berpikir
27-05-2006
* Q.S. Al Qiyamah
Sumber: Lampung Post, 28 Mei 2006; fordisastra.com, 29 Mei 2006
Sajak-Sajak Matroni el-Moezany
http://oase.kompas.com/
Sakitnya Melahirkan Kesadaran
Aku berlari di hatimu Karena takut kata-kataku mengering Kegersangan, kedangkalan, dan kebingungan
Di pantai ketiadaan Hidup dari tubuhku yang berwaktu Walau masa lalu kejam Kekinianku lebih kejam
Baru sekarang aku kesakitan Melihat kematian kesadaran
Padahal sadar itu milikku Menyadari juga milikku Mengapa dibiarkan Tersandung kekinian
Hidupku menjadi sampah Mati dan terlempar Aku tak ingin terbunuh oleh diriku
Malam Tak berdetak melihat di tepi rindu Kesunyian yang mengitari tradisi Hidup di ruang waktu Akan hampa Jika kita tak mampu memberi roh pada mereka
Yogya, 2010
Rancak Gelisah
Rancak gelisah, Menunggu jawaban Di tengah suburnya buah ranum sarjana-sarjana Sementara atap kita masih rumit Sementara kulihat di dalam kamar Sepasang songkok hitam di dua sayap garuda Menoleh kekanan tak melihat apa-apa Dengan berbagai kegelisahan tak selesai Diam tak menghiraukan duri bangsa Ia tak seperti taring-taring penguasa yang tak memiliki makna
Kututup pintu samudera Namun, sang waktu, diharap menutup luka-luka Akibat kekalahan melawan kebiadaban bangsa
Agustus-September 2010
Parodiden
Sungguh rumit mengurai ketakmengertian gelombang yang bergerak merayu Mendekati rumah kata, ranum, berbunga di halaman mata Besi, kayu, tubuh, air, imaji, semesta, atau apa pun Parodithen[1] mampu merubah menjadi debu, tanah dan semangat kekinian Kebingungan, kegelisahan dan kerenyuhan Jika parodithen susah dicari
Gas, minyak tanah, tak mampu merubah Semangat tradisi, yang kini masih menjadi spiritual, substansial, dan kata
Tiap pagi berangkat mencari, mengambil Untuk memasak, mendukung kekeluargaan atau apa saja Tapi, kekinian juga tak mau kalah Mengular waktu, bermain teori Mengigit tubuh-tubuh parodithen Membunuh nafas tradisi Entah apa yang harus kita beri Untuk menjaga eksistensi
Kekinian benar-benar melawan tradisi Mengulari semangat kemewaktuan, tapi Parodithen masih sadar, menyadari dan jadi tradisi kesadaran Dalam menyimak arti kehidupan ibu, kita dan mereka
Yogyakarta, 2010
Nyanyian Kesunyian
sebab jendela terbuka dan wajahmu menemuiku di dua jarak di luar hujan terus menyampaikan kata dalam luka kekinian pada kalender yang terlepas di waktu kehilangan itu terus menempel pada dinding. menyisakan jejak kebersamaan musim amis tercium permainan
yang terbayang dari kini keramaian gelisah. kematian rasa. menjadi bahasa yang tak sempurna tak kubiarkan buram kelam di jalanan pulang menjadi basah pada gambargambar itu di dalamnya: terlukis parodiden terpanjang
Yogyakarta, 2010
*Penyair yang lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura, ini adalah alumni Al-In’Am dan MA Al-Karimiyyah. Ia aktif menulis di media lokal dan nasional. Kini, ia menjadi koordinator Ikatan Keluarga Alumni Al-In’Am Yogyakarta (IKA Al-In’Am Yogya). Penyair yang tinggal di Yogyakarta menulis dalam buku puisi antologi bersamanya, “Puisi Menolak Lupa” (Obsessi Press, 2010) dan “Madzhab Kutub (Pustaka Pujangga, 2010).
Sakitnya Melahirkan Kesadaran
Aku berlari di hatimu Karena takut kata-kataku mengering Kegersangan, kedangkalan, dan kebingungan
Di pantai ketiadaan Hidup dari tubuhku yang berwaktu Walau masa lalu kejam Kekinianku lebih kejam
Baru sekarang aku kesakitan Melihat kematian kesadaran
Padahal sadar itu milikku Menyadari juga milikku Mengapa dibiarkan Tersandung kekinian
Hidupku menjadi sampah Mati dan terlempar Aku tak ingin terbunuh oleh diriku
Malam Tak berdetak melihat di tepi rindu Kesunyian yang mengitari tradisi Hidup di ruang waktu Akan hampa Jika kita tak mampu memberi roh pada mereka
Yogya, 2010
Rancak Gelisah
Rancak gelisah, Menunggu jawaban Di tengah suburnya buah ranum sarjana-sarjana Sementara atap kita masih rumit Sementara kulihat di dalam kamar Sepasang songkok hitam di dua sayap garuda Menoleh kekanan tak melihat apa-apa Dengan berbagai kegelisahan tak selesai Diam tak menghiraukan duri bangsa Ia tak seperti taring-taring penguasa yang tak memiliki makna
Kututup pintu samudera Namun, sang waktu, diharap menutup luka-luka Akibat kekalahan melawan kebiadaban bangsa
Agustus-September 2010
Parodiden
Sungguh rumit mengurai ketakmengertian gelombang yang bergerak merayu Mendekati rumah kata, ranum, berbunga di halaman mata Besi, kayu, tubuh, air, imaji, semesta, atau apa pun Parodithen[1] mampu merubah menjadi debu, tanah dan semangat kekinian Kebingungan, kegelisahan dan kerenyuhan Jika parodithen susah dicari
Gas, minyak tanah, tak mampu merubah Semangat tradisi, yang kini masih menjadi spiritual, substansial, dan kata
Tiap pagi berangkat mencari, mengambil Untuk memasak, mendukung kekeluargaan atau apa saja Tapi, kekinian juga tak mau kalah Mengular waktu, bermain teori Mengigit tubuh-tubuh parodithen Membunuh nafas tradisi Entah apa yang harus kita beri Untuk menjaga eksistensi
Kekinian benar-benar melawan tradisi Mengulari semangat kemewaktuan, tapi Parodithen masih sadar, menyadari dan jadi tradisi kesadaran Dalam menyimak arti kehidupan ibu, kita dan mereka
Yogyakarta, 2010
Nyanyian Kesunyian
sebab jendela terbuka dan wajahmu menemuiku di dua jarak di luar hujan terus menyampaikan kata dalam luka kekinian pada kalender yang terlepas di waktu kehilangan itu terus menempel pada dinding. menyisakan jejak kebersamaan musim amis tercium permainan
yang terbayang dari kini keramaian gelisah. kematian rasa. menjadi bahasa yang tak sempurna tak kubiarkan buram kelam di jalanan pulang menjadi basah pada gambargambar itu di dalamnya: terlukis parodiden terpanjang
Yogyakarta, 2010
*Penyair yang lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura, ini adalah alumni Al-In’Am dan MA Al-Karimiyyah. Ia aktif menulis di media lokal dan nasional. Kini, ia menjadi koordinator Ikatan Keluarga Alumni Al-In’Am Yogyakarta (IKA Al-In’Am Yogya). Penyair yang tinggal di Yogyakarta menulis dalam buku puisi antologi bersamanya, “Puisi Menolak Lupa” (Obsessi Press, 2010) dan “Madzhab Kutub (Pustaka Pujangga, 2010).
Sajak-Sajak Fikri MS
http://sastra-indonesia.com/
Sajak Lawan
Sajak para penyair
Menggebu-gebu mengetuk hati sang pujaan
Mengutuk kezaliman dan yang mereka anggap dosa
Mengetuk pintu kekuasaan dan kesadaran derita manusia
Tetapi bagiku
Sajak ini kutulis untuk menghantam, mendobrak pintu kekuasaan yang terkunci rapat
Biar mereka kaget terkejut
Dan lalu membelalakkan mata menyerangku dengan ribuan serdadu
Sekali titah
Dan aku akan menghadang mereka hanya dengan satu kata
Yang lebih hebat daripada seribu tentara
Sebab kata adalah senjata
Lawan!
Kenapa?
Kenapa mereka bicara tentang kemanusiaan di ujung bumi sana
Sementara kemanusiaan di sampinya sedang menganga mulutnya
Kehausan.
Branda-cafe , februari 2011
Majalah, Koran, dan Televisi
Penjual koran mungkin tak sadar, propaganda yang ia teriakkan menggigit kulit
Rakyat terjepit
Penjual majalah remaja mungkin juga tak sadar sepenuhnya
Ketika anak sekolah menjadi pencuri karna melihat arloji di tangan model di sampul majalah
Sementara tak ada waktu untuk menawar.
Pembaca berita di televisi sepertinya lupa
Setelah mendengar berita yang ia bacakan
Pemerintah makin buas rakyat makin beringas
Dan televise yang paling merasa tak berdosa
Sebab ia hanya menjadi kotak saran
Yang menyarankan kita untuk segera!
Mengganti kulkas, mobil, hand phone, bumbu dapur,
Dan atau dan atau yang lain
Yang lain-lain.
Branda, Februari 2011
Ophellia
Ophellia, kau nampak membisu saja membatu seperti batu-batu
Terinjak seperti batu-batu
Pecah seperti batu-batu
Ophellia
Bangunlah, bicara!
Permainan sudah usai jangan kau diam
Sebab diammu seperti kematian yang kutakutkan
Bicaralah!
Kenapa kau seperti terkutuk
Seperti Malin Kundang yang menjadi batu.
Ophellia!!
Bicaralah! Apa kau ingin minum air dari pegunungan?
Sementara kemarau sedang di perjalanan.
Ophellia …
Apa kau ingin anggur?
Anggur tak ada di sini, Ophellia!
Ophellia.
Februari 2011
——–
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.
Sajak Lawan
Sajak para penyair
Menggebu-gebu mengetuk hati sang pujaan
Mengutuk kezaliman dan yang mereka anggap dosa
Mengetuk pintu kekuasaan dan kesadaran derita manusia
Tetapi bagiku
Sajak ini kutulis untuk menghantam, mendobrak pintu kekuasaan yang terkunci rapat
Biar mereka kaget terkejut
Dan lalu membelalakkan mata menyerangku dengan ribuan serdadu
Sekali titah
Dan aku akan menghadang mereka hanya dengan satu kata
Yang lebih hebat daripada seribu tentara
Sebab kata adalah senjata
Lawan!
Kenapa?
Kenapa mereka bicara tentang kemanusiaan di ujung bumi sana
Sementara kemanusiaan di sampinya sedang menganga mulutnya
Kehausan.
Branda-cafe , februari 2011
Majalah, Koran, dan Televisi
Penjual koran mungkin tak sadar, propaganda yang ia teriakkan menggigit kulit
Rakyat terjepit
Penjual majalah remaja mungkin juga tak sadar sepenuhnya
Ketika anak sekolah menjadi pencuri karna melihat arloji di tangan model di sampul majalah
Sementara tak ada waktu untuk menawar.
Pembaca berita di televisi sepertinya lupa
Setelah mendengar berita yang ia bacakan
Pemerintah makin buas rakyat makin beringas
Dan televise yang paling merasa tak berdosa
Sebab ia hanya menjadi kotak saran
Yang menyarankan kita untuk segera!
Mengganti kulkas, mobil, hand phone, bumbu dapur,
Dan atau dan atau yang lain
Yang lain-lain.
Branda, Februari 2011
Ophellia
Ophellia, kau nampak membisu saja membatu seperti batu-batu
Terinjak seperti batu-batu
Pecah seperti batu-batu
Ophellia
Bangunlah, bicara!
Permainan sudah usai jangan kau diam
Sebab diammu seperti kematian yang kutakutkan
Bicaralah!
Kenapa kau seperti terkutuk
Seperti Malin Kundang yang menjadi batu.
Ophellia!!
Bicaralah! Apa kau ingin minum air dari pegunungan?
Sementara kemarau sedang di perjalanan.
Ophellia …
Apa kau ingin anggur?
Anggur tak ada di sini, Ophellia!
Ophellia.
Februari 2011
——–
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.
Sajak Y. Wibowo
Lampung Post, 29 Mei 2005
Mamak Kenut di Rembang Petang
: Udo Z. Karzi
Mamak Kenut menuturkan seseorang
(dua atau tiga orang) atau peristiwa-peristiwa
yang menghadang–si pencari pintu pulang
hari-harinya resah
; hidup mengaji diri mengaji yang absurd
dan kenyataan
Tapi tetap saja ia gundah
Menjura seribu bintang
menengadah pada langit di rembang petang
ia susun rencana
–malam-malam mimpi tercipta
; buah pergulatan dan laku-kerja
sekalipun sewujud petaka
Mamak Kenut meramu saripati kehidupan
seseorang (dua atau tiga orang) atau tentang lain kemungkinan
sehingga ia putuskan; menjelma kanak-kanak pada dunia
dengan rasa sepenuh riang
Tapi masih saja ia resah
Menghablur di puncak-puncak ketinggian
menyisa perih kenyataan
lalu ia lipat sejarah
–masa lalu adalah kenangan
; ingatan tentang denyar persetubuhan
dalam catatan getir
nyinyir dan sumir
selamat malam
Karang Anyar-Jati Agung, Lampung, Maret 2005
Mamak Kenut di Rembang Petang
: Udo Z. Karzi
Mamak Kenut menuturkan seseorang
(dua atau tiga orang) atau peristiwa-peristiwa
yang menghadang–si pencari pintu pulang
hari-harinya resah
; hidup mengaji diri mengaji yang absurd
dan kenyataan
Tapi tetap saja ia gundah
Menjura seribu bintang
menengadah pada langit di rembang petang
ia susun rencana
–malam-malam mimpi tercipta
; buah pergulatan dan laku-kerja
sekalipun sewujud petaka
Mamak Kenut meramu saripati kehidupan
seseorang (dua atau tiga orang) atau tentang lain kemungkinan
sehingga ia putuskan; menjelma kanak-kanak pada dunia
dengan rasa sepenuh riang
Tapi masih saja ia resah
Menghablur di puncak-puncak ketinggian
menyisa perih kenyataan
lalu ia lipat sejarah
–masa lalu adalah kenangan
; ingatan tentang denyar persetubuhan
dalam catatan getir
nyinyir dan sumir
selamat malam
Karang Anyar-Jati Agung, Lampung, Maret 2005
Sajak-Sajak Gampang Prawoto
Duapuluhtigamantra
kau
berlayar dari tetes
tetes tebu
sebab
basah yang kau arungi
adalah madu
kau
berlayar dari tetes
tetes tebu
sebab
basah yang kau arungi
adalah madu
Sajak-Sajak Salman Rusydie Anwar
http://sastra-indonesia.com/
Laut Menyimpan Bau Tubuhmu
Berdiri di tepi laut, gemuruhmu mengalir
membangun lempengan-lempengan rindu terbakar
Bersama senja membasuh kaki-kakinya diujung riak
kudayung doa ini meniti gelombang
Kutatap wajah pantai murung, dan karang hitam
berlompatan ke dalam gigil
Berikan sisa bau tubuhmu agar mampu
mengasinkan perjalanan rasaku
Mengecap segala renyah keringat nelayan
yang melepas sauh hingga ke ujung malam
Meski mungkin hanya laut yang mampu
mendebarkan ombak di dadaku
meredakan sisa sakit
yang mengukir dirinya di tubuh-tubuh karang berlumut
Namun di bau tubuhmu
aku dapat menemukan tempat untuk berlabuh
Kebumen, 2011.
Usai Cinta Membaca Gerimis
Apa yang kau temukan pada kaki-kaki gerimis
di wajah jendela, usai kita mengurai cinta?
Malam seperti menyusun lolongan panjang
memperdengarkan riuh ricuh mulut si gelandang
yang tak mampu melabuhkan secuilpun kecupan
pada bibir kekasihnya pucat gemetar
Dari balik kamar yang menyimpan parfum kesukaanmu
aku melihat gerimis seperti ujung jarum ditabur
menancap telak pada sekepal otak mereka
yang tak sanggup berpikir apakah dunia masih memiliki cinta
Sisa bau anggur dibibirmu pun telah mengering
mengalirkan gersang kemarau
pada rumah-rumah kardus berlantai tanah
menyisakan mimpi-mimpi semakin renggas
diliku-luka mereka yang terus bernanah
Ingin kutuntaskan gelut geliat cinta
agar keringat ini menghanyutkan doa
ke resah risau mulut mereka
Kebumen, 2011.
Tebing Hujan
Telah kubangun sebuah tebing
dengan hujan yang berlari dari mataku
Tangan-tangan waktu merayap di atasnya
meninggalkan sejarah demi sejarah
langkah demi langkah
Kau menyangka tebing ini adalah sebuah perhentian
sedang aku meyakini ia adalah sebuah hunian
tempat luka dan doa, nyanyi dan harapan
menempa dirinya menjadi akar
yang sulurnya merambat hingga matahari
Dan ketika matahari menusukkan sinarnya
ke ubun waktu dalam diammu
kau pun menjadi bagian dari tebingku
yang harus sedia menanggung perih cuaca
Kebumen, 2011
Geretan
akan kunyalakan lagi sebatang usiamu
dengan geretan matahari dan
ruas rusukku
lalu bara
menyala
melerai kantuk yang meringkuk
dipojok saku celana
masih ada abu didadaku
menari-nari nirukan liuk angsa yang terpana
pada semburan api dibola matamu
hari masih bersarang didasar benua
menyusui ikan-ikan yang berenang
ke sunyi dermaga
menyerahkan siripnya pada usia matahari
yang semakin renta dan penuh luka
2011
Laut Menyimpan Bau Tubuhmu
Berdiri di tepi laut, gemuruhmu mengalir
membangun lempengan-lempengan rindu terbakar
Bersama senja membasuh kaki-kakinya diujung riak
kudayung doa ini meniti gelombang
Kutatap wajah pantai murung, dan karang hitam
berlompatan ke dalam gigil
Berikan sisa bau tubuhmu agar mampu
mengasinkan perjalanan rasaku
Mengecap segala renyah keringat nelayan
yang melepas sauh hingga ke ujung malam
Meski mungkin hanya laut yang mampu
mendebarkan ombak di dadaku
meredakan sisa sakit
yang mengukir dirinya di tubuh-tubuh karang berlumut
Namun di bau tubuhmu
aku dapat menemukan tempat untuk berlabuh
Kebumen, 2011.
Usai Cinta Membaca Gerimis
Apa yang kau temukan pada kaki-kaki gerimis
di wajah jendela, usai kita mengurai cinta?
Malam seperti menyusun lolongan panjang
memperdengarkan riuh ricuh mulut si gelandang
yang tak mampu melabuhkan secuilpun kecupan
pada bibir kekasihnya pucat gemetar
Dari balik kamar yang menyimpan parfum kesukaanmu
aku melihat gerimis seperti ujung jarum ditabur
menancap telak pada sekepal otak mereka
yang tak sanggup berpikir apakah dunia masih memiliki cinta
Sisa bau anggur dibibirmu pun telah mengering
mengalirkan gersang kemarau
pada rumah-rumah kardus berlantai tanah
menyisakan mimpi-mimpi semakin renggas
diliku-luka mereka yang terus bernanah
Ingin kutuntaskan gelut geliat cinta
agar keringat ini menghanyutkan doa
ke resah risau mulut mereka
Kebumen, 2011.
Tebing Hujan
Telah kubangun sebuah tebing
dengan hujan yang berlari dari mataku
Tangan-tangan waktu merayap di atasnya
meninggalkan sejarah demi sejarah
langkah demi langkah
Kau menyangka tebing ini adalah sebuah perhentian
sedang aku meyakini ia adalah sebuah hunian
tempat luka dan doa, nyanyi dan harapan
menempa dirinya menjadi akar
yang sulurnya merambat hingga matahari
Dan ketika matahari menusukkan sinarnya
ke ubun waktu dalam diammu
kau pun menjadi bagian dari tebingku
yang harus sedia menanggung perih cuaca
Kebumen, 2011
Geretan
akan kunyalakan lagi sebatang usiamu
dengan geretan matahari dan
ruas rusukku
lalu bara
menyala
melerai kantuk yang meringkuk
dipojok saku celana
masih ada abu didadaku
menari-nari nirukan liuk angsa yang terpana
pada semburan api dibola matamu
hari masih bersarang didasar benua
menyusui ikan-ikan yang berenang
ke sunyi dermaga
menyerahkan siripnya pada usia matahari
yang semakin renta dan penuh luka
2011
Sajak-Sajak Ahmad Syauqi Sumbawi
http://sastra-indonesia.com/
Satu-satunya Dosa adalah Beda
-kaum t.
seorang menyuluh perhelai waktu, lalu
mengasah senjata dengan santan darah
dan mengentalkan tajam di dadanya
memanahkan aksara
dalam wilayah yang membuta mata
tuhan, cinta, negara, manusia, agama
meringkukkan makna logika
mampat dalam kelindan kening hitam
menyembah tuhan
yang berkaku mengerek waktu, lalu
seorang memandang kata dengan lup
dan telah cukup, makna bahasa melampui hidup
bersama mata menggaris sinis
mengadili wajah-wajah bopeng penuh mimis
satu-satunya dosa adalah beda, katanya.
setan gentayangan
sungguh, kebenaran maha tunggal, kataku
dan tentu, tidak bersekutu denganmu
Lamongan, 2010
Warna Terindah
mungkin aku salah, tapi laiknya
dia telah merampok surga dan neraka
dari tangan tuhan
dengan membawa pentungan dan
suara lantang berkobar-kobar, membakar semua
dengan namanya yang mencipta getar
mungkin dia benar, tapi laiknya
dia telah berkehendak semena-mena melebihi tuhan
dengan tanpa tawar-menawar memakukan dosa
pada hitam, kuning, putih, coklat, dan sawo matang
akulah warna terindah, an sich
ah, mungkin dia benar-benar memalsu ayat-ayat tuhan
dengan mengabaikan
jenisnya yang laki-laki dan perempuan
jenisnya yang bersekutu membentuk suku-suku
jenisnya yang bernegara bangsa-bangsa
dan tiap-tiap warna yang mampu menjadi warna terindah
mungkin aku salah, tapi saudara kembarku berkata
bahwa dia hanya makhluk tuhan, tapi, sepertinya
dia telah mencuri dan memakai jubahnya
dan telah membangun surga dan neraka
pun hanya s-u-r-g-a dan n-e-r-a-k-a
Lamongan, 2010
Bercakap dalam Rahim
-k
aku mengetuk pintumu dengan sejahtera
meski masih tertutup inderamu atas cakrawala
—yah, rungu kuat menembus buntu, ibu—
bukankah dia telah kalam padamu,
dan bersaksi atas diri sendiri
dan kau telah mengikat hati
pada janji azali ini
dan kau mengembang dalam darah,
daging, tulang, sumsum, otot, kulit, dan bulu
dalam bentuk sempurna atas sebuah tanda
lantas menggeliatkan tangis tanpa airmata
atas bercampurnya dunia yang kelabu
maka, ingat janji azali ini
jangan terampas lupa
karena bagi para kekasih, lupa adalah dosa
—yah, rungu kuat menembus buntu, ibu—
benar, pun aku harus menggenggam janji sendiri
menjaga kata-kata yang menembus ibu
dalam rungu lewat liang udara
menulis pelajaran mula
menjaga segala tingkah,
karena segalanya, tak pernah membekaskan sirna
yang tak ‘kan berpisah di muara
karena hanya mata yang tak sanggup membaca
—yah, rungu kuat menembus buntu, ibu—
yah, aku mengetuk pintumu dengan sejahtera selalu
dan tak akan menutupnya,
lantaran tak pernah mampu, membuntu
Lamongan, 2010
Ahmad Syauqi Sumbawi, sebagian tulisannya (cerpen dan puisi) dipublikasikan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Juga terantologi bersama dalam Dian Sastro For President; End of Trilogy (2005), Malam Sastra Surabaya (2005), Absurditas Rindu (2006), Sepasang Bekicot Muda (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Gemuruh Ruh (Pustaka Pujangga, 2008), Laki-laki Tak Bernama (DKL, 2008).
Sementara bukunya antara lain Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen, 2006), #2 (cerpen, 2007). Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (Novel, 2007, PUstaka puJAngga), dan Waktu; Di Pesisir Utara (Novel, 2008).
Satu-satunya Dosa adalah Beda
-kaum t.
seorang menyuluh perhelai waktu, lalu
mengasah senjata dengan santan darah
dan mengentalkan tajam di dadanya
memanahkan aksara
dalam wilayah yang membuta mata
tuhan, cinta, negara, manusia, agama
meringkukkan makna logika
mampat dalam kelindan kening hitam
menyembah tuhan
yang berkaku mengerek waktu, lalu
seorang memandang kata dengan lup
dan telah cukup, makna bahasa melampui hidup
bersama mata menggaris sinis
mengadili wajah-wajah bopeng penuh mimis
satu-satunya dosa adalah beda, katanya.
setan gentayangan
sungguh, kebenaran maha tunggal, kataku
dan tentu, tidak bersekutu denganmu
Lamongan, 2010
Warna Terindah
mungkin aku salah, tapi laiknya
dia telah merampok surga dan neraka
dari tangan tuhan
dengan membawa pentungan dan
suara lantang berkobar-kobar, membakar semua
dengan namanya yang mencipta getar
mungkin dia benar, tapi laiknya
dia telah berkehendak semena-mena melebihi tuhan
dengan tanpa tawar-menawar memakukan dosa
pada hitam, kuning, putih, coklat, dan sawo matang
akulah warna terindah, an sich
ah, mungkin dia benar-benar memalsu ayat-ayat tuhan
dengan mengabaikan
jenisnya yang laki-laki dan perempuan
jenisnya yang bersekutu membentuk suku-suku
jenisnya yang bernegara bangsa-bangsa
dan tiap-tiap warna yang mampu menjadi warna terindah
mungkin aku salah, tapi saudara kembarku berkata
bahwa dia hanya makhluk tuhan, tapi, sepertinya
dia telah mencuri dan memakai jubahnya
dan telah membangun surga dan neraka
pun hanya s-u-r-g-a dan n-e-r-a-k-a
Lamongan, 2010
Bercakap dalam Rahim
-k
aku mengetuk pintumu dengan sejahtera
meski masih tertutup inderamu atas cakrawala
—yah, rungu kuat menembus buntu, ibu—
bukankah dia telah kalam padamu,
dan bersaksi atas diri sendiri
dan kau telah mengikat hati
pada janji azali ini
dan kau mengembang dalam darah,
daging, tulang, sumsum, otot, kulit, dan bulu
dalam bentuk sempurna atas sebuah tanda
lantas menggeliatkan tangis tanpa airmata
atas bercampurnya dunia yang kelabu
maka, ingat janji azali ini
jangan terampas lupa
karena bagi para kekasih, lupa adalah dosa
—yah, rungu kuat menembus buntu, ibu—
benar, pun aku harus menggenggam janji sendiri
menjaga kata-kata yang menembus ibu
dalam rungu lewat liang udara
menulis pelajaran mula
menjaga segala tingkah,
karena segalanya, tak pernah membekaskan sirna
yang tak ‘kan berpisah di muara
karena hanya mata yang tak sanggup membaca
—yah, rungu kuat menembus buntu, ibu—
yah, aku mengetuk pintumu dengan sejahtera selalu
dan tak akan menutupnya,
lantaran tak pernah mampu, membuntu
Lamongan, 2010
Ahmad Syauqi Sumbawi, sebagian tulisannya (cerpen dan puisi) dipublikasikan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional. Juga terantologi bersama dalam Dian Sastro For President; End of Trilogy (2005), Malam Sastra Surabaya (2005), Absurditas Rindu (2006), Sepasang Bekicot Muda (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Gemuruh Ruh (Pustaka Pujangga, 2008), Laki-laki Tak Bernama (DKL, 2008).
Sementara bukunya antara lain Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen, 2006), #2 (cerpen, 2007). Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (Novel, 2007, PUstaka puJAngga), dan Waktu; Di Pesisir Utara (Novel, 2008).
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
Sajak-Sajak Pertiwi
Nurel Javissyarqi
Fikri. MS
Imamuddin SA
Mardi Luhung
Denny Mizhar
Isbedy Stiawan ZS
Raudal Tanjung Banua
Sunlie Thomas Alexander
Beni Setia
Budhi Setyawan
Dahta Gautama
Dimas Arika Mihardja
Dody Kristianto
Esha Tegar Putra
Heri Latief
Imron Tohari
Indrian Koto
Inggit Putria Marga
M. Aan Mansyur
Oky Sanjaya
W.S. Rendra
Zawawi Se
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Agit Yogi Subandi
Ahmad David Kholilurrahman
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Muhaimin Azzet
Alex R. Nainggolan
Alfiyan Harfi
Amien Wangsitalaja
Anis Ceha
Anton Kurniawan
Benny Arnas
Binhad Nurrohmat
Dina Oktaviani
Endang Supriadi
Fajar Alayubi
Fitri Yani
Gampang Prawoto
Heri Listianto
Hudan Nur
Indra Tjahyadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Jimmy Maruli Alfian
Joko Pinurbo
Kurniawan Yunianto
Liza Wahyuninto
Mashuri
Matroni el-Moezany
Mega Vristian
Mujtahidin Billah
Mutia Sukma
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Rukmi Wisnu Wardani
S Yoga
Salman Rusydie Anwar
Sapardi Djoko Damono
Saut Situmorang
Sihar Ramses Simatupang
Sri Wintala Achmad
Suryanto Sastroatmodjo
Syaifuddin Gani
Syifa Aulia
TS Pinang
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Tjahjono Widijanto
Usman Arrumy
W Haryanto
Y. Wibowo
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah el Khalieqy
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Nurullah
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Alunk Estohank
Alya Salaisha-Sinta
Amir Hamzah
Arif Junianto
Ariffin Noor Hasby
Arina Habaidillah
Arsyad Indradi
Arther Panther Olii
Asa Jatmiko
Asrina Novianti
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Baban Banita
Badruddin Emce
Bakdi Sumanto
Bambang Kempling
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sujibto
Budi Palopo
Chavchay Syaifullah
D. Zawawi Imron
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Dian Hardiana
Dian Hartati
Djoko Saryono
Doel CP Allisah
Dwi S. Wibowo
Edi Purwanto
Eimond Esya
Emha Ainun Nadjib
Enung Nur Laila
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Moses
Fahmi Faqih
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fatah Yasin Noor
Firman Nugraha
Firman Venayaksa
Firman Wally
Fitra Yanti
Fitrah Anugrah
Galih M. Rosyadi
Gde Artawan
Goenawan Mohamad
Gus tf Sakai
Hamdy Salad
Hang Kafrawi
Haris del Hakim
Hasan Aspahani
Hasnan Bachtiar
Herasani
Heri Kurniawan
Heri Maja Kelana
Herry Lamongan
Husnul Khuluqi
Idrus F Shihab
Ira Puspitaningsih
Irwan Syahputra
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jafar Fakhrurozi
Johan Khoirul Zaman
Juan Kromen
Jun Noenggara
Kafiyatun Hasya
Kazzaini Ks
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Krisandi Dewi
Kurniawan Junaedhie
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Leon Agusta
Leonowens SP
M. Harya Ramdhoni
M. Raudah Jambakm
Mahmud Jauhari Ali
Maman S Mahayana
Marhalim Zaini
Misbahus Surur
Mochtar Pabottingi
Mugya Syahreza Santosa
Muhajir Arifin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Yasir
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Nirwan Dewanto
Nunung S. Sutrisno
Nur Wahida Idris
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Oka Rusmini
Pandapotan M.T. Siallagan
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Petrus Nandi
Pranita Dewi
Pringadi AS
Pringgo HR
Putri Sarinande
Putu Fajar Arcana
Raedu Basha
Remmy Novaris D.M.
Rey Baliate
Ria Octaviansari
Ridwan Rachid
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Robin Dos Santos Soares
Rozi Kembara
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Samsudin Adlawi
Satmoko Budi Santoso
Sindu Putra
Sitok Srengenge
Skylashtar Maryam
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sunaryono Basuki Ks
Sungging Raga
Susi Susanti
Sutan Iwan Soekri Munaf
Suyadi San
Syukur A. Mirhan
Tan Lioe Ie
Tarpin A. Nasri
Taufik Hidayat
Taufik Ikram Jamil
Teguh Ranusastra Asmara
Thoib Soebhanto
Tia Setiadi
Timur Sinar Suprabana
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Toni Lesmana
Tosa Poetra
Triyanto Triwikromo
Udo Z. Karzi
Ulfatin Ch
Umar Fauzi Ballah
Wahyu Heriyadi
Wahyu Prasetya
Wayan Sunarta
Widya Karima
Wiji Thukul
Wing Kardjo
Y. Thendra BP
Yopi Setia Umbara
Yusuf Susilo Hartono
Yuswan Taufiq
Zeffry J Alkatiri
Zehan Zareez
Zen Hae